A.
Hijrahnya
Rasulullah Sebagai Awal Mula Pendirian Negara Madinah
Hijrahnya Rasulullah SAW beserta umatnya dari
Mekkah menuju Madinah, Merupakan awal tonggak sejarah dunia baru Islam, yang
kemudian ditetapkanlah peristiwa hijrah ini sebagai awal tahun Hijriyah, atau
yang kita kenal sebagai tahun Islam. Pada Peristiwa Hijrah ini banyak terjadi
berbagai kejadian yang luar biasa yang membuat orang berdecak kagum. Betapa
seorang yang terlahir sebagai yatim dan buta huruf mampu mengerakkan sejumlah
orang berhijrah, ke suatu tempat dengan jarak kurang lebih 500 KM, dalam
kondisi yang amat kritis dan mengkhawatirkan karena intimidasi dari pihak Musyrikin
Quraisy. Mereka berhijrah dengan meninggalkan harta benda, keluarga dan semua
yang mereka miliki demi menjunjung tinggi keyakinan mereka. [1]
Proses Hijrah itu sendiri tidaklah mudah,
penuh dengan pengorbanan. Khususnya ketika Sang Nabi, beserta salah seorang
sahabat karibnya Abu Bakr berhijrah menyusul umatnya yang telah terlebih dahulu
berada di kota Madinah. Dengan kecerdasan beliau yang juga dibantu dengan
wahyu, beliau berhasil menyusun strategi untuk menghindar dari pengejaran kaum Musyrikin
Quraisy yang bertujuan unuk menggagalkan keberangakatan beliau ke Madinah,
bahkan berniat membunuhnya. Bahkan seorang ‘Aliy Bin Abi Thalib, rela mempertaruhkan
nyawanya dengan tidur di tempat Nabi SAW, yang sudah diincar untuk dibunuh oleh
kaum Musyrikin Quraisy. Betapa sebuah bukti keimanan yang mencengangkan dan
patut dijadikan contoh bagi umat-umat setelahnya. [2]
B.
Asal
Mula Kota Madinah
Kota
Madinah yang sebelumnya bernama kota Yathrib adalah sebuah daerah yang subur
dan berkebun dan merupakan kumpulan dari oase-oase yang tersebar mengikuti dari
gugusan bukit Al-Madinah, yang diapit dua dua dataran tinggi Al-Bazilt
(krikil-krikil hitam). [3]
Penduduk
kota Madinah, terdiri dari beberapa kelompok diantaranya adalah warga Yahudi.
Dahulu semasa mendapat tekanan dari bangsa Asyur dan Romawi, mereka berpihak
kepada orang-orang Hijaz, walaupun sebenarnya mereka adalah orang Ibrani. Namun
setelah mereka bergabung dengan orang-orang Hijaz, mereka hidup dengan ala
Arab, berbahasa Arab dan berpakaian Arab pada umumnya, sehingga nama kabilah
dan nama-nama mereka juga menggunakan nama Arab, serta mereka pun kawin dengan
orang-orang Arab. Dengan kebiasaan mereka bertani dan beternak menjadikan kota
Madinah sebagai kota pertanian yang menghasilkan kurma, anggur, dan delima
juga peternakan serta kerajinan tangan,
Mereka mengambil mengambil keuntungan sekian kali lipat dari orang-orang Arab
secara keseluruhan dan juga menerapkan riba.
Di
Madinah mereka mempunyai tiga kabilah yang terkenal yaitu: 1) Bani Qainuqa’.
Yang menjadi sekutu Khajraj 2) Bani Nadhir 3) Bani Quraizhah, yang menjadi
sekutu Aus bersama dengan Bani Nadhir yang menetap di pinggir kota Madinah. Sedangkan
warga lain yang menduduki kota Madinah adalah warga Arab yang berasal dari
Yaman. Mereka terdiri dari dua kabilah, yaitu kabilah Aus dan kabilah Khajraj.
Karena jumlah warga Arab dikhawatirkan berkembang, warga Yahudi melakukan
politik adu domba agar mereka tidak bersatu. Bani Quraidhah dan Bani Nadhir
mendukung kabilah Aus, sedangkan Bani Qainuqa mendukung kabilah Khajraj. Antara
keduanya selalu berseteru. Perseteruan terakhir adalah Perang Buath, lima tahun
sebelum hijrah Rasulullah SAW.
Perdamaian
tercapai dengan diangkatnya Abdullah bin Ubay bin Salul sebagai pemimpin
mereka. Tetapi, dengan hijrahnya Rasulullah SAW. kepemimpinan Bin Salul
tergeser, dan akhirnya dia memusuhi Rasulullah SAW. dan memelopori kaum
munafikun.
[4]
C.
Praktik
Kenegaraan pada masa Nabi Muhammad SAW
Di
kota Mekkah, kota tempat lahirnya Islam, ajaran-ajaran wahyu ilahi yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW belum begitu efektif berjalan di
tengah-tengah hegemoni politik dan ekonomi kaum terkemuka Musyrikin Quraisy. Umat Islam pada periode Makkah sebagian besar
hanya terdiri dari orang-orang yang tertindas dan mengalami ketidakadilan dalam
tatanan masyarakat kala itu. Sehingga mereka masih minoritas dan belum dapat
tampil sebagai komunitas yang bisa berdakwah dan merubah tatanan masyarakat
Qurasiy Makkah yang timpang tersebut. Oleh karena itu kita melihat beberapa
surat Makkiyah hanya berkisar pada masalah dasar-dasar Islam, syari’at-syari’at
yang pengamalannya bisa dilaksanakan masing-masing individu, anjuran kepada
kebaikkan, kebajikan, akhlak yang mulia, penjauhan keburukan dan kehinaan. [5]
Berbeda
dengan keadaan umat Islam setelah berada di Madinah, setelah hijrahnya Muhammad
SAW bersama umatnya pada 622 Masehi. Keberadaan Nabi dan ajaran Islam yang
dibawanya sudah mendapat tempat dan simpati. Hal ini dibuktikan dengan
peristiwa Bay’at al-‘Aqabah setahun sebelum beliau hijrah. Yang dimulai
ketika musim haji tahun ke sebelas dari Nubuwah, tepatnya bulan Juli 620 M,
enam orang penduduk Yathrib yang kemudian melihat seorang Muhammad, sebagai
Utusan Allah, akan lebih bisa berbuat adil dari pada seorang Ubbay, yang akan
diangkat sebagai pemimpin kota Madinah. Mereka tidak kaget dengan ajaran Nabi
Muhammad tentang keesaan Tuhan, karena mereka terbiasa hidup bersama
orang-orang Yahudi, yang memang memiliki keyakinan akan keesaan Tuhan.
Hasilnya, sebanyak 12 orang penduduk Yathrib (nama kota Madinah sebelum diganti),
pada musim haji berikutnya menyatakan keislamannya. Dalam Bai’at Al-‘Aqabah,
mereka menyatakan bahwa mereka hanya akan menyembah Allah, meninggalkan segala
perbuatan jahat dan menaati Nabi Muhammad SAW. Kedua belas orang penduduk
tersebut menurut catatan Ibn Hisyam, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad
Iqbal adalah: (1) As’ad ibn Zura’ah, (2) ‘Awf ibn Harts, (3) Mu’adz ibn Harts,
(ketiganya berasal dari Bani Najjar), (4) ‘Ubadah ibn Shamit, dan (7)
Yazid ibn Tsa’labah, (keduanya dari Bani ‘Awf), (8) ‘Abbas ibn ‘Ubadah
dari Bani Salim, (9)’Uqabah ibn ‘Amir, (10) Quthbah ibn ‘Amir, (kedua
bersaudara ini berasal dari Bani Salamah), (11) Malik Abu al-Haitsam ibn
al-Taihan dari Bani ‘Abd al-Asykal, serta (12) ‘Uwain ibn Sa’idah dari Bani
‘Amr ibn ‘Awf. [6]
Pada
tahun berikutnya, yaitu tahun ke tiga belas dari Nubuwah, sebanyak 73 orang
Yathrib yang sudah memeluk Islam datang kembali ke Makkah mempertegas pengakuan
keislaman mereka dan pembelaan kepada Nabi Muhammad. Dalam kesempatan ini
mereka mengajak Nabi untuk berhijrah ke Madinah yang selanjutnya dikenal dengan
Bai’ah al-‘Aqabah kedua.
Peristiwa-peristiwa
bersejarah inilah yang kemudian merubah kondisi Nabi Muhammad beserta umat Islam dari kelompok tertindas menjadi
kekuatan politik yang kokoh, solid dan disegani. Peristiwa-peristiwa ini pula
yang menjadikan titik awal pendirian Negara
Madinah. Di kota yang baru ini Nabi Muhammad baru bisa secara efektif
menerapkan syari’at dan ajaran Islam yang berdimensi sosial untuk menciptakan
komunitas masyarakat baru yang beradab, yang didukung penuh penduduk Madinah
sendiri yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj. Maka dengan tatanan masyarakat
yang baru dan stabil inilah Nabi Muhammad mulai menyusun suatu kekuatan
sosial-politik dalam sebuah Negara Madinah. [7]
Hijrah dari Makkah ke Madinah bukan hanya
sekedar berpindah dan menghindarkan diri dari ancaman dan tekanan orang kafir
Quraisy dan penduduk Makkah yang tidak menghendaki pembaharuan terhadap ajaran
nenek moyang mereka, tetapi juga mengandung maksud untuk mengatur potensi dan
menyusun srategi dalam menghadapi tantangan lebih lanjut, sehingga nanti
terbentuk masyarakat baru yang didalamnya bersinar kembali mutiara tauhid
warisan Ibrahim yang akan disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW melalui wahyu
Allah SWT. Islam mendapat lingkungan baru di kota Madinah. Lingkungan yang
memungkinkan bagi Nabi Muhammad SAW untuk meneruskan dakwahnya, menyampaikan
ajaran Islam dan menjabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Setelah tiba dan
diterima penduduk Yathrib, Nabi diangkat menjadi pemimpin penduduk Madinah.
Sehingga disamping sebagai pemimpin
agama, Nabi SAW juga menjabat sebagai kepala pemerintahan negara Islam.
Kemudian, tidak beberapa lama orang-orang
Madinah non Muslim berbondong-bondong masuk agama Islam. Untuk memperkokoh
masyarakat baru tersebut mulailah Nabi meletakkan dasar-dasar untuk suatu
masyarakat yang besar, mengingat penduduk yang tinggal di Madinah bukan hanya
kaum muslimin, tapi juga golongan masyarakat Yahudi dan orang Arab yang masih
menganut agama nenek moyang. Maka agar stabilitas masyarakat dapat terwujudkan
Nabi mengadakan perjanjian dengan mereka, yaitu suatu piagam yang menjamin
kebebasan beragama bagi kaum Yahudi. Setiap golongan masyarakat memiliki
hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Di sanping itu setiap
masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri dari serangan musuh.
Beberapa langkah penting yang dilakukan Nabi
Muhammad SAW ketika pertama kali berada di Madinah diantaranya adalah dengan
mendirikan tempat peribadatan dan pertemuan yang berupa Masjid. Dengan adanya Masjid
itu, selain dijadikan sebagai tempat peribadatan penduduk madinah juga memanfaatkannya
sebagai pusat kegiatan untuk berbagai hal, seperti belajar-mengajar, mengadili
perkara-perkara yang muncul dalam masyarakat, musyawarah, dan transaksi dagang..
Nabi muhammad sendiri yang merencanakan pembangunan masjid itu dan langsung
ikut membangun bersama-sama kaum muslimin. Masjid yang dibangun ini kemudian
dikenal sebagai Masjid Nabawi. Ukurannya cukup besar, dibangun di atas sebidang
tanah dekat rumah Abu Ayyub al-Anshari. Dindingnya terbuat dari tanah liat,
sedangkan atapnya dari daun-daun dan pelepah kurma, yang pada waktu itu, masih
berkiblat ke Bayt A-Muqaddas, dan berpindah kiblat ke Ka’bah pada Tahun kedua
Hijriyah tepatnya pada Sholat Dhuhr, hari selasa pertengahan Sya’ban. Di dekat
masjid itu dibangun pula tempat tinggal Nabi SAW dan keluarganya. [8]
Para pengikut Nabi Muhammad SAW yang
berhijrah dari Makkah ke Madinah yang
dikenal sebagai Orang-orang Muhajirin, adalah orang-orang yang memiliki keyakinan
terhadap apa yang mereka anut, yaitu ajaran Islam. Hanya itu bekal mereka. Dan
dengan bekal itu pula Nabi mempersatukan golongan Muhajirin dan Anshor dalam
suatu persaudaraan dibawah satu keyakinan yaitu bendera Islam. Salah satu
contohnya, Nabi Muhammad SAW mempersaudarakan Abu Bakar dengan Kharijah bin
Zaid, Ja'far bin Abi Thalib dengan Mu'az bin Jabal. Dengan demikian diharapkan
masing-masing orang akan terikat dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan.
Dengan persaudaraan yang semacam ini pula, Rasulullah telah menciptakan suatu
persaudaraan baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan
persaudaraan berdasarkan keturunan. [9]
Setelah Nabi SAW resmi menjadi penduduk
Madinah, Beliau langsung mengadakan perjanjian untuk saling bantu-membantu
atau toleransi antara orang Islam dengan orang non Islam. Selain itu Nabi SAW
mengadakan perjanjian yang intinya memberikan kebebasan menjalankan agama dan
memutar kekayaan, tidak boleh saling menyerang dan memusuhi.
Dengan terbentuknya masyarakat baru Islam di
Madinah, orang-orang kafir Quraisy bertambah marah, maka terjadi peperangan
yang pertama yaitu perang Badar yang berjarak kurang lebih 85 mil dari kota
Madinah, pada tanggal 8 Ramadlan, tahun ke dua Hijriyah, atau 624 M, dengan
jumlah Muslim yang terjun ke medan perang 300 orang melawan kurang lebih seribu
musuh dari kaum musyrikin Quraisy, yang apabila dilihat dari jumlah amatlah
tidak seimbang, namun dengan pertolongan Allah dan kepemimpin seorang Nabi
Muhammad SAW, Islam pun meraih kemenangan. [10]
Selain menyatukan
jalinan hubungan dengan sesama muslim, antara kaum Muhajirin dan Anshor, Nabi
Muhammad SAW juga menyatukan jalinan hubungan persahabatan
dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, disamping
orang-orang Arab Islam juga masih terdapat golongan masyarakat Yahudi dan
orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas
masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad SAW mengadakan ikatan perjanjian
dengan mereka.
Perjanjian
tersebut diwujudkan melalui sebuah piagam yang disebut dengan Mîsâq Madînah
atau Piagam Madinah. Piagam yang berisi 47 pasal ini memuat peraturan-peraturan
dan hubungan antara berbagai komunitas dalam masyarakat Madinah yang majemuk,
dimana bergabung di dalamnya 3 kelompok masyarakat, yaitu umat Islam sendiri yang
terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, orang-orang Yahudi (dari suku
Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa’; dan sisanya suku Arab yang
masih menyembah berhala dan juga mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam
menjaga keamanan dan ketertiban negerinya, kehidupan sosial, persamaan derajat,
dan disebutkan bahwa Rasulullah SAW menjadi kepala pemerintahan di Madinah.[11]
Masyarakat yang
dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah setelah hijrah itu sudah dapat
dikatakan sebagai sebuah negara, dengan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala
negaranya. Dengan terbentuknya Negara Madinah, Islam makin bertambah kuat.
Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang Mekah menjadi resah.
Mereka takut kalau-kalau umat Islam memukul mereka dan membalas kekejaman yang
pernah mereka lakukan. Mereka juga khawatir kafilah dagang mereka ke Suriah
akan diganggu atau dikuasai oleh kaum muslimin.
Untuk memperkokoh dan
mempertahankan keberadaan negara yang baru didirikan itu, Nabi SAW mengadakan
beberapa ekspedisi ke luar kota, baik langsung di bawah pimpinannya maupun
tidak. Hamzah bin Abdul Muttalib membawa 30 orang berpatroli ke pesisir Laut
Merah. Ubaidah bin Haris membawa 60 orang menuju Wadi Rabiah. Sa'ad bin Abi
Waqqas ke Hedzjaz dengan 8 orang Muhajirin. Nabi SAW sendiri membawa pasukan ke
Abwa dan disana berhasil mengikat perjanjian dengan Bani Damra, kemudian ke
Buwat dengan membawa 200 orang Muhajirin dan Anshar, dan ke Usyairiah. Di sini
Nabi SAW mengadakan perjanjian dengan Bani Mudij.
Ekspedisi-ekspedisi
tersebut sengaja digerakkan Nabi SAW sebagai aksi-aksi siaga dan melatih
kemampuan calon pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan
mempertahankan negara yang baru dibentuk. Perjanjian perdamaian dengan kabilah
dimaksudkan sebagai usaha memperkuat kedudukan Madinah.
Seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk Madinah semakin bertambah pula persoalan yang
muncul, diantaranya adalah Rongrongan
dari orang Yahudi yang pada awal hijrahnya belaiu Ke Madinah. Orang
Yahudi menerima kehadiran Nabi dan kaum Muslimin dengan baik. Mereka dapat
bersahabat dan menjalin hubungan dengan kaum Muslimin dengan penuh
kekeluargaan. Tetapi setelah mereka mengetahui bahwa Muhammad adalah Nabi yang
terakhir yang bukan berasal dari golongan mereka (Bani Israil) sebagaimana yang
tertulis dalam kitab Taurat dan berpindahnya kiblat dari Masjidil Aqsa ke
Ka’bah serta berhasilnya rasulullah memegang kekuasaan dan peranan tinggi
di Madinah, maka orang-orang Yahudi mulai mengadakan rongrongan dari dalam
misalnya mengadu domba kaum Aus dan Khazraj, yang merupakan dua suku besar yang
ada di Madinah. Disamping itu, mereka membuat keonaran dikalangan penduduk
Madinah dan melanggar perjanjian yang telah disepakati.
Rongrongan terhadap kaum Muslimin di
Madinah juga dilakukan oleh kaum Munafik. Yaitu kelompok yang meskipun mengaku
beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, akan tetapi mereka secara rahasia
mengadakan tipu daya terhadap kaum muslimin. Kelompok ini dipimpim oleh
Abdullah bin Ubay dengan cara menghasut dan memprovokasi diantara kaum
Muslimin.
Rongrongan juga dilakukan oleh orang Quraisy
yang tidak ingin melihat Islam semakin berkembang dan menjadi kuat. Oleh karena
itu mereka berusaha mengadakan serangan dan tekanan terhadap umat Islam.
Terhadap kelomppok ini, Rasulullah bersikap tegas, karena pada waktu itu ayat
mengenai peperangan telah turun. Umat Islam di izinkan berperang dalam dua
hal:
a. Untuk
mempertahankan diri dan melindungi hak–hak miliknya.
b. Menjaga
keselamatan dalam penyebaran kepercayaan dan mempertahankannya dari orang-orang
yang menghalang–halangi.
Pada tahun 9 Hijriyah dan 10 Hijriyah
(630–632 M) banyak suku dari berbagai pelosok mengirim Utusan kepada Nabi bahwa
mereka tunduk kepada Beliau serta menganut agama Islam, yang hal tersebut
mengantarkan kepada persatuan orang Arab
pada saat itu. Dan ketika menunaikan haji yang terakhir atau disebut dengan
Haji Wada tahun 10 Hijriyah (631 M) Nabi menyampaikan khotbahnya yang dikenal
dengan Khutbatu al-Wada’ tentang kesempurnaan Agama Islam. Setelah itu
Nabi kembali ke Madinah, yang kemudian beliau mengatur organisasi kemasyarakatan,
petugas keamanan dan mengirim para Da’i ke berbagai daerah dan
menyempurnakan beberapa hal. Lalu 2 bulan kemudian Nabi jatuh sakit, kemudian
ia meninggal pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal 11 H atau 8 Juni 632 M. [12]
D.
Bentuk
Negara Yang Dibentuk Oleh Rasulullah SAW
Negara
Madinah bila dilihat dari system ketatanegaraan sudah dapat dikategorikan sebuah
Negara, karena mengandung unsur-unsur konstitutif, yakni; 1)Ada wilayah
teritorial 2)Ada rakyatnya 3)Ada pemerintahannya Juga Undang-undang dalam
bentuk Piagam Madinah.[13] sebagaimana
dikutip oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya “Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi
Doktrin Politik Islam” bahwa Piagam Madinah sebagai konstitusi
Negara Madinah memberi landasan bagi kehidupan bernegara dalam masyarakat yang
majemuk di Madinah.
Landasan
tersebut adalah: semua umat Islam adalah satu kesatuan, walaupun berasal dari
berbagai suku dan golongan. Hubungan intern komunitas muslim dan hubungan
ekstern antara komunitas muslim dengan non-muslim didasarkan pada prinsip
bertetangga baik, saling membantu menghadapi musuh bersama, membela orang yang
teraniaya, saling menasehati dan menghormati kebebasan beragama.
Menurut
Dedi Ismatullah dalam bukunya Ilmu Negara Mutakhir, Menyebutkan Bahwa
Konstitusi Madinah yang baru dibuat tersebut berfungsi sebagai sebuah
konstitusi tertulis yang member landasan yuridis dan sosiologis bagi kehidupan
bernegara. Terwujudnya Piagam Madinah membuktikan bahwa Nabi Muhammad memiliki sifat
kenegaraan. Tidak hanya umat Islam, tetapi juga Non Islam yaitu orang-orang
Yahudi, bisa terakomodir semua kepentingannya, sehingga umat Islam dan Yahudi
bisa bersatu, bertetangga di bawah kepemimpinannya. Bagi umat Islam, Nabi
Muhammad berhasil menciptakan persatuan dan kesatuan serta persaudaraan di
antara kaum muhajirin dan anshar, juga antara suku-suku di kalangan anshar
sendiri. Di kalangan anshar, Nabi diakui telah merekat kembali hubungan
antarsuku yang sebelumnya selalu bermusuhan.[14]
Terhadap
orang Yahudi, Nabi membangun persahabatan dan menghormati keberadaan mereka.
Karena bagaimanapun, kaum Yahudi adalah penduduk Madinah juga yang telah
tinggal sejak abad pertama dan kedua Masehi, jauh sebelum Nabi berhijrah ke
sini. Sehingga tak heran bila kaum Yahudi diberikan kebebasan untuk menjalankan
agama mereka. Ditambah lagi kaum Yahudi pun mengakui kepemimpinan Nabi
Muhammad. Hal ini tercermin dari kesediaan mereka untuk meminta putusan atas
berbagai perkara kepada Nabi Muhammad SAW. [15]
Di
dalam menjalankan roda pemerintahan sebagai kepala negara dalam arti yang
sesungguhnya, Nabi Muhammad dibantu oleh para sahabat dalam melindungi dan
mengayomi rakyatnya. Termasuk melakukan berbagai diplomasi politik di luar
negeri. Nabi SAW selaku penerima kekuasaan senantiasa melindungi rakyatnya,
memenuhi kebutuhan mereka dan membawa mereka ke dalam kesejahteraan. Adapun
acuan yang diterapkan Nabi SAW dalam perannya sebagai kepala Negara Madinah
adalah berdasarkan perjanjian yang ada dalam konteks bai’at al-‘aqabah,
di mana dalam perjanjian tersebut ada hak dan kewajiban secara berimbang antara
kedua belah pihak.
Dalam
praktiknya, Nabi Muhammad SAW menjalankan pemerintahan yang yang berazaskan
Musyawarah dalam mengambil suatu keputusan politik, misalnya, dalam beberapa
kasus Nabi melakukan konsultasi dengan pemuka-pemuka masyarakat. Ada 4 cara
yang ditempuh Nabi dalam mengambil keputusan politik, yaitu:
1.
Mengadakan musyawarah
dengan sahabat senior. Dalam konteks ini misalnya bagaimana Nabi SAW
dengan sahabat senior bermusyawarah mengenai tawanan Perang Badar. Abu Bakar
meminta agar tawanan tersebut dibebaskan dengan syarat meminta tebusan dari
mereka, sedangkan Umar menyarankan supaya mereka dibunuh saja.
2.
Meminta pertimbangan
kalangan profesional. Dalam hal ini misalnya, Nabi menerima
usulan Salman al-Farisi untuk membuat benteng pertahanan dalam perang Ahzab
menghadapi tentara Quraisy dan sekutu-sekutunya dengan menggali parit-parit di
sekitar Madinah.
3.
Melemparkan
masalah-masalah tertentu yang biasanya berdampak luas bagi masyarakat ke dalam
forum yang lebih besar. Untuk hal ini dapat dilihat pada
musyawarah Nabi dengan sahabat tentang strategi perang dalam rangka menghadapi
kaum Quraisy Mekkah di Perang Uhud.
4.
Mengambil keputusan
sendiri. Ada beberapa masalah politik yang langsung diputuskan
Nabi SAW dan mengesampingkan keberatan-keberatan para sahabat, seperti yang
terjadi dalam menghadapi delegasi Quraisy ketika ratifikasi Perjanjian Hudaibiyah.
Dalam
menjalankan roda pemerintahan Negara Madinah, nampaknya Nabi Muhammad SAW tidak
memisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di bawah
naungan wahyu Al Qur’an, beliau menyampaikan ketentuan-ketentuan Allah tersebut
kepada masyarakat Madinah. Sehingga tak heran, banyak kebijakan negara yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam menjalankan roda pemerintahan agar tetap
stabil, di antaranya:
1.
Menciptakan persatuan
dan kesatuan di antara komponen masyarakat negara Madinah.
2.
Untuk mengadili
pelanggaran ketertiban umum, Nabi membentuk lembaga hisbah, yang antara
lain bertugas mengadakan penertiban terhadap perdagangan agar tidak terjadi
kecurangan-kecurangan yang dilakukan pedagang di pasar.
3.
Untuk pemerintahan di
daerah, beliau mengangkat beberapa sahabat sebagai gubernur atau hakim.
4.
Mengangkat beberapa
orang sahabat sebagai sekretaris negara.
5.
Menjalankan hubungan
diplomatik dengan negara-negara luar.
6.
Mengangkat duta-duta
ke negara-negara sahabat. Tercatat dalam sejarah bahwa pada tahun ke-2 hijrah, Nabi
Muhammad SAW mengangkat Amr ibn Umasyh al-Damari sebagai duta Islam ke
Abbesinia. Ketika itu Umasyh masih belum masuk Islam.
Kebijakan-kebijakan
yang dilakukan Nabi Muhammad SAW menegaskan kita bahwa beliau telah menjalankan
perannya sebagai kepala Negara dengan baik. Semua yang dilakukannya terhadap
umat kala itu merupakan tugas-tugas seorang sebagai kepala negara dalam
pengertian modern saat ini. Sehingga kita sangat sulit menerima jika ada yang
menyebutkan bahwa Nabi Muhammad hanyalah ditugaskan untuk menjalankan misinya
sebagai Rasul Allah, penyampai wahyu, bukan pemimpin negara. Dan selain sebagai
seorang Rasul dan Negarawan, beliau juga menjadi jenderal dan penakluk yang
handal. Semua itu demi Allah, demi misi kebenaran, yang oleh karenanya ia
diutus. Dalam hal ini semua, sebenarnya dia adalah orang besar, lambang
kesempurnaan insani dalam arti kata yang sebenarnya.
A.
Kemajuan
yang dicapai Nabi Muhammad SAW
Banyak jasa dan kemajuan yang telah berhasil dicapai oleh
Nabi Muhammad SAW dan telah dirasakan oleh umat manusia, baik pada zamannya
maupun sesudahnya hingga pada akhir zaman kelak. Tidak banyak waktu yang
diperlukan Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan ajaran agama, dalam menyebarkan
panjinya ke penjuru dunia. Sebelum wafatnya, Allah telah menyempurnakan agama
ini bagi kaum muslimin. Dalam pada waktu itu pun telah meletakkan landasan
penyebaran agama itu; dikirimnya misi kepada Kisra (Gelar raja-raja Sasani),
kepada Heraklius dan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa lain supaya mereka
sudi menerima Islam.
Tak sampai seratus lima puluh tahun sesudah itu, bendera
Islam pun sudah berkibar sampai ke Andalusia di Eropa sebelah Barat, ke India,
Turkestan, sampai ke Tiongkok di Asia Timur, juga telah sampai ke Syam
[meliputi Suria, Libanon, Yordania dan Palestina sekarang], Irak, Persia dan
Afganistan, yang semuanya sudah menerima Islam. Selanjutnya negeri-negeri Arab
dan kerajaan Arab, sampai ke Mesir, Sirenaika, Tunisia, Aljazair, Marokko,
telah dicapai oleh misi Muhammad SAW.
Dan sejak waktu itu sampai masa kita sekarang ini
panji-panji Islam tetap berkibar di semua daerah itu, kecuali Spanyol yang
kemudian diserang oleh Kristen dan penduduknya disiksa dengan bermacam-macam
cara kekerasan. Tidak tahan lagi mereka hidup. Ada di antara mereka yang
kembali ke Afrika, ada pula yang karena takut dan ancaman berbalik agama
berpindah dari agama asalnya kepada agama kaum tiran yang menyiksanya.
Hanya saja apa yang telah diderita Islam di Andalusia
sebelah barat Eropa itu ada juga gantinya tatkala kaum Utsmani (Turki)
memasukkan dan memperkuat agama Muhammad di Konstantinopel. Dari sanalah ajaran
Islam itu kemudian menyebar ke Balkan, dan memercik pula sinarnya sampai ke
Rusia dan Polandia sehingga berkibarnya panji-panji Islam itu berlipat ganda luasnya
daripada yang di Spanyol.
Sejak dari semula Islam tersebar hingga masa kita
sekarang ini memang belum ada agama-agama lain yang dapat mengalahkannya.
Dan kalaupun ada di antara umat Islam yang ditaklukkan, itu hanya karena adanya
berbagai macaam kekerasan, kekejaman dan despotisma, yang sebenarnya malah
menambah kekuaatan iman mereka kepada Allah, kepada hukum Islam, dengan
memohonkan rahmat dan ampunan daripada-Nya
|
|
B.
Sistem
Pemerintahan
Sesuai
dengan naskh-naskh yang dibawa oleh Rasulullah berdasarkan firman-firman Allah
SWT, maka oleh ulama Islam telah menjabarkan konsep pemerintahan Islam tersebut
sesuai dengan kondisi yang berlaku pada setiap zamannya. Darul Islam ialah
Negeri yang diperintahkan dengan pemerintah Islam dan dipimpin oleh kaum
muslimin. Sedangkan Darul Harb ialah negeri yang tidak tunduk pada
pemerintahan Islam dan kaum muslimin. Dan tanah air muslim ialah Darul Islam,
dimanapun letaknya dan apapun rasnya, tetapi terikat dengan akidah yang
diimaninya.
Adapun
yang termasuk ke dalam golongan Darul Islam tersebut adalah:
1.
Darul ‘Adl,
yaitu negeri yang menegakkan Islam secara utuh dan memelihara sunnah
Rasulullah. Negara ini dikepalai oleh seorang Khalifah.
2.
Darul Bahy,
yaitu satu Negara yang dikuasai para pemberontak terhadap Imam yang hak,
sekalipun diberlakukan hukum Islam.
3.
Darul Bid’ah,
yaitu negeri yang dikuasai dan diperintah para ahli bid’ah dan menegakkan
bid’ahnya.
4.
Darul Riddah,
yaitu Negara yang penduduknya telah murtad dan diperintah oleh orang-orang
murtad, atau yang semula muslimin, kemudian membatalkan perjanjiannya secara
sepihak serta menguasai Negara tersebut.
5.
Darul Maslubah,
yaitu Negara yang dirampas dan diduduki orang kafir, yang pada mulanya Negara
tersebut bagian dari Darul Islam.
Sementara
Darul Harb digolongkan menjadi:
1.
Darul Harb yang
mengikat satu perjanjian, atau disebut juga Darul ‘Ahdi.
2.
Darul Harb yang sama
sekali tidak ada ikatan perjanjian.
Sebagai
seorang negarawan dan pemimpin umat, Rasulullah SAW telah berhasil menciptakan
roda pemerintahan Islam di bawah satu naungan kepemimpinan Islam. Setelah
Rasulullah wafat, kaum muslimin melanjutkan system ini dengan memilih
penggantinya. Pengganti Rasulullah dalam memerintah Negara Islam disebut Khalifah
yang bertugas menegakkan syari’at Allah, memimpin kaum muslimin untuk
menyempurnakan penyebaran syari’at ini dan memberlakukan kepada seluruh kaum
muslimin secara adil dan bijaksana. Hal ini menunjukkan bahwa kaum muslimin
adalah manusia yang diberi kepercayaan oleh Allah SWT untuk mengatur bumi ini.
C.
Sistem
Bermasyarakat
Rasulullah
SAW dalam menjalankan pemerintahan selalu mengutamakan kepentingan umat di atas
kepentingan yang lain. Azaz keadilan, kebebasan dan perdamain selalu diutamakan
dalam menjalani system hidup bermasyarakat. Dan untuk mengokohkan masyarakat
Islam, Rasulullah SAW telah melakukan berbagai hal yang mencakup:
1.
Persatuan dan
kesatuan umat dibawah naungan Aqidah yang benar.
2.
Menciptakan system
ekonomi yang kuat
3.
Melahirkan system
pendidikan dan informasi yang menyeluruh
4.
Memperkuat system
militer untuk mempertahankan Negara dan mengamankan rakyat.
5.
Menetapkan Syariat
dan Undang-Undang bagi masyarakat untuk menciptakan keadilan.
Dan
di antara pilar kekuatan umat Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah adalah tasyri’
atau qanun (hukum dan perundang-undangan) yang bersumber pada
syari’at (tuntunan) ilahi dan memutuskan perkara dengannya. Syari’at adalah
pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan yang Islam
dalam arti yang hakiki sesuai dengan Al Qur’an dan As-Sunnah.
Sebuah
masyarakat tidak bisa dikatakan sebagai masyarakat Islam kecuali apabila
menerapkan syari’at Ilahi dan merujuk kepadanya dalam seluruh aspek
kehidupannya, baik yang bersifat ibadah (ritual) maupun muamalah (sosial).
Sementara hukum dan undang-undang tadi merupakan salah satu kekuasaan utama
bagi masyarakat Islam tersebut.[16]
[1] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,(Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2007). hal. 173
[2] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,(Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2007)hal. 183.
[3] Husein Mu’nis, Prof, Dr, Al-Sirah
Al-Nabawiyah, Upaya Reformulasi Sejarah Pejuangan Nabi Muhammad SAW,(Jakarta:
Adigna Media Utama, 1999), hal. 20.
[4] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,(Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2007), hal. 204.
[5] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,(Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2007), hal. 198.
[6] Ibn Hisyam, Sirah al-Nabi, Juz II,
(Beirut: Darul Fikri 1997), hal. 40-41
[7] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,(Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2007), hal. 200.
[8] الإمام فطب
الدين محمد بن علاء الدين على بن أحمد, تاريخ المدينة, (دار الكتب العلمية:
بيروت, لبنان1997), ص. 77
[9] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,(Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2007), hal.206
[10] Philip Khuri Hitti, History Of Arabs, Revised, 10th Edition
(Pallgrave Macmillan: 6 sept 2002)page. 117
[11]https://hbis.wordpress.com/2010/08/16/sumpah-setia-baiah-aqobah-keduapenduduk-yatsrib-dasar-penbentukan-negara-madinah/
[12] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,(Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2007), hal. 561.
[13] Dr. H.Dedi Ismatullah, SH., Ilmu Negara Mutakhir, Kekuasaan, Hukum dan
Masyarakat,(Bandung: Pustaka Attadbiirr, 2006), hal. 200.
[14] Dr. H.Dedi Ismatullah, SH., Ilmu Negara Mutakhir, Kekuasaan, Hukum dan
Masyarakat,(Bandung: Pustaka Attadbiirr, 2006), hal. 200.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar