A. Pendahuluan
Penelusuran
sejarah, khususnya sejarah mengenai Arab sebelum Islam, merupakan diskursus
yang menarik dan signifikan. Menarik karena studi sejarah tersebut telah
menjadi perhatian khususnya di kalangan intelektual Islam mutakhir untuk
membuktikan apakah Arab Jahiliyyah adalah bodo dalam berbagai aspek? atau
tidak? Signifikan karena studi Sejarah Islam ini merupakan bagian dari strategi
untuk menggugah kembali faktor-faktor kebaikan apa saja yang terdapat pada Arab
Jahiliyah untuk selanjutnya kita contoh dan faktor-faktor keburukan apa saja
yang patut kita jauhi guna mencari ibrah dalam pelaksanaan nilai-nilai ajaran
Islam.
Sangat
wajar dan logis, apabila kita mengkaji sejarah Islam dan Nabi Muhammad SAW dimulai dengan pembahasan masa Jahiliyah
atau Pra Islam. Hal ini untuk mengetahui tempat asal mula tumbuhnya Islam,
reaksi dan perubahan yang dialami lingkungan sekitarnya, dengan mengenal
hakikat Jahiliyah, maka kita akan mengenal hakikat Islam dan peranannya dalam
kehidupan manusia sebagaimana sebuah kaidah menyatakan bahwa “menciptakan
sesuatu dari ketidakadaan adalah mustahil ( al-ijad min al- ‘adam muhal)”.[1]
Keberadaan
Arab sebelum Islam datang, dikenal sebagai suatu daerah yang sudah memiliki kemajuan
dalam bidang ekonomi dan perdagangan serta kemajuan dalam bidang IPTEK dan
kesenian, letak geografisnya yang sangat strategis membuat Islam yang
diturunkan di Mekkah mudah tersebar ke berbagai wilayah. Adapun keadaan sosial
kemasyarakatan mencerminkan suatu masyarakat feodal yang sudah mengenal sistem
perbudakan, masyarakat arab ketika itu cenderung merendahkan wanita, suka
bermusuhan akibat masalah sepele, di samping itu, masyarakat bangsa arab
sebelum Islam datang menganut kepercayaan menyembah berhala, patung atau
benda-benda lain yang dianggap mempunyai kekuatan ghaib[2].
Selanjutnya,
tulisan ini akan mencoba mengungkap secara komprehensif tentang Arab sebelum
Islam datang yang merupakan telaah Arab Jahiliyah, yang menjadi latar belakang Islam lahir di
negeri Arab, di dalamnya meliputi pembahasan Perkembangan Bangsa Arab, Politik
dan Pemerintahan (Imarah), Agama dan kepercayaan, sosial kemasyarakatan,
ekonomi perdagangan, Iptek dan kesenian dan moral bangsa Arab. Secara
metodologis, tulisan ini mencoba mengungkap sejumlah fakta historis, ditambah
dengan asumsi-asumsi normatif yang diperlukan untuk melihat gambaran bangsa
Arab sebelum Islam datang.
B. Perkembangan
Bangsa Arab
Bangsa
Arab berasal dari rumpun bangsa Semit, istilah semit berasal dari
kata syem yang tertera pada Perjanjian Lama melalui bahasa Latin dalam
Vulgate, menurut Phillip K. Hitti, penjelasan tradisional yang menyebutkan
bahwa rumpun bangsa semit adalah keturunan anak Nuh yang tertua, tidak bisa
lagi diterima, melainkan terdapat dua pendapat melalui hipotesanya yaitu asal
mula Bangsa Semit adalah di Afrika sebelah timur, sedangkan pendapat ke dua
adalah asal mula bangsa Semit adalah dari Mesopotamia. Dari ke dua pendapat
ini, maka pendapat ke dua yang tampak lebih masuk akal.[3]
Sebagai tempat kelahiran rumpun Semit, Semenanjung Arab
menjadi tempat menetap orang-orang yang kemudian bermigrasi ke wilayah Bulan
Sabit Subur (Wilayah Timur Tengah yang membentang dari Israel hingga Teluk
Persia, termasuk di dalamnya sungai Tigris dan Efrat di Irak sekarang), yang
kelak dikenal sebagai bangsa Babilonia, Assyiria, Phoenisia, dan Ibrani. Sebagai
tempat munculnya tradisi Semit sejati, wilayah
Gurun Pasir Arab merupakan tempat lahirnya tradisi Yahudi dan Kristen.[4]
Pada abad pertengahan, Semenanjung Arab melahirkan sebuah bangsa yang
menaklukan sebagian besar wilayah dunia yang kelak menjadi pusat-pusat
peradaban dan melahirkan sebuah agama Islam yang dianut oleh sekitar 450 juta
orang, yang mewakili hampir semua ras di berbagai kawasan.[5]
Dilihat
dari kondisi geografis Jazirah Arab, Jazirah Arab bentuknya memanjang dan tidak
parallelogram. Ke sebelah utara Palestina dan Padang Syam, ke sebelah Timur
Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan Teluk Persia, ke sebelah Selatan
Samudra Indonesia dan Teluk Aden, sedangkan ke sebelah barat Laut Merah.[6]
Jika
ditinjau dari letak geografisnya yang tercantum di atas, maka Jazirah Arabia
memang sangat strategis, baik dari segi perekonomian maupun perdagangan,
sebagai contoh, sebelah utara dan selatan dari Jazirah Arab menjadi tempat
berlabuh berbagai bangsa untuk saling tukar-menukar perniagaan, peradaban,
agama dan seni, Dari segi pertahanan pun sangat strategis, karena dibatasi oleh
tiga laut dari tiga jurusan, ditambah lagi dengan ketandusan Jazirah Arab itu
sendiri ,sehingga ke dua faktor itu dapat melindungi Jazirah Arab dari serangan
luar.[8]
Selanjutnya, Philip
K. Hitti dalam bukunya History
of the Arabs, menyebutkan Semenanjung Arab merupakan semenanjung barat
daya Asia, sebuah semenanjung terbesar dalam peta dunia, wilayahnya dengan luas
1.745.900 km2 , dihuni oleh sekitar empat belas juta jiwa. Arab
Saudi dengan luas daratan sekitar 1.014.900 km2 (tidak termasuk
al-Rab al-Khali), berpenduduk sekitar tujuh juta jiwa; Yaman lima juta jiwa,
dan selebihnya tinggal di Kuwait, Qatar, Emirat Arab, Oman dan Masqat serta
Aden.[9]
Dalam
perkembangannya, Bangsa Arab terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu :
1. Arab
Baidah, yaitu
orang Arab yang kini tidak ada lagi dan musnah. Diantaranya adalah ‘Aad,
Tsamud, Thasm, Jadis, Ashab ar-Rass dan penduduk Madyan.[10]
2. Arab
Baqiyah, yaitu
orang Arab yang hingga saat ini masih ada, mereka adalah Bani Qathan dan Bani
Adnan. Banu Qathan adalah Arab Aribah (orang Arab asli) dan tempat
mereka adalah di selatan Jazirah Arab, sedangkan Bani Adnan, meraka adalah
orang-orang Arab Musta’ribah, yakni orang-orang Arab yang mengambil
bahasa Arab sebagai bahasa mereka. Mereka adalah orang-orang Arab bagian Utara,
yang tempat tinggalnya di Makkah al-Mukarramah.[11]
Dari
merekalah kemudian timbul bermacam kaum dan suku Arab, termasuk kaum Quraisy,
yang tumbuh dari induk suku Adnan.
Menurut
Samsul Munir Amin (2009, 55), Jazirah Arabia terbagi menjadi 3 bagian sebagai
berikut :
1. Arabia
Petrix, yaitu
daerah-daerah yang terletak di sebelah Barat Daya Lembah Syiria.
Wilayah Arab Petra (Gunung Batu) berpusat di daratan Sinai dan kerajaan
Nabasia, dengan ibukota Petra.[12]
2. Arabia
Deserta, yaitu
daerah Syiria sendiri. Menurut istilah lain Arab Gurun yang meliputi gurun
pasir Suriah-Mesopotamia (Badiyah).[13]
3. Arabia Felix, yaitu negeri Yaman yang terkenal
dengan nama “Bumi Hijau”
Pembagian tersebut di atas didasarkan atas pembagian wilayah
ke dalam tiga kekuatan politik pada abad pertama Masehi, yaitu kawasan yang
bebas, kawasan yang tunduk pada penguasa Romawi dan kawasan yang secara nominal
berada dalam kendali Persia.[14]
Berdasarkan karakteristik daratan, penduduk Semenanjung
Arab terbagi atas dua kelompok utama, yaitu :
a.
Orang-orang
desa (Badui) yang nomad. Pola budaya orang Badui adalah keragaman, kemajuan,
evolusi bukanlah hikum alam yang siap mereka ikuti, mereka enggan mengikuti
pengaruh dan dan cara hidup asing, memilih untuk bertahan di tenda bulu domba
atau buku onta, aktivitas mereka adalah bertani dan berdagang. Cara berpakaian
orang Badui sangat sederhana yaitu Jubah panjang (tsaub) yang dilengkapi dengan
ikat pinggang dan busana atas (‘aba) yang modelnya telah terkenal luas.
b.
Masyarakt
perkotaan.[15]
C. Keadaan Politik
dan Pemerintahan (Imarah)
Sebelum kelahiran Islam, ada tiga kekuatan politik besar
yang perlu dicatat dalam hubungannya dengan Arab; yaitu Kekaisaran Nasrani
Byzantin dan Kekaisaran Persia yang memeluk agama Zoroaster, serta Dinasti
Himyar yang berkuasa di Arab bagian Selatan. Dalam
catatan Rippin, setidaknya ada dua hal yang bisa dianggap turut mempengaruhi
kondisi politik Jazirah Arab, yaitu interaksi dunia Arab dengan dua adi kuasa
saat itu, yaitu Kekaisaran Byzantin dan Persia serta persaingan antara Yahudi,
beragam sekte dalam agama Nasrani dan para pengikut Zoroaster.[16]
Kondisi
Arab yang terlindung oleh gurun-gurun pasir, serta masyarakatnya yang sebagian
besar hidup nomad, membuat Arab tidak tertaklukkan secara utuh oleh ketiga
kekuatan tersebut. Ditambah lagi adanya beragam suku dengan wilayah dan
pemimpin yang berbeda-beda serta tidak bersatu. tidak mengherankan jika
akhirnya suku-suku terpecah-pecah dan mencari sekutu sendiri-sendiri. Suku Hira
atau Laknhid di Timur Laut misalnya, menjadi bawahan kekaisaran Persia,
sementara suku Ghassan yang tinggal di bagian Barat Laut, menjadi bawahan
kekaisaran Byzantin. Perang antar
suku ini pula yang akhirnya meruntuhkan Dinasti Himyar di Selatan.[17]
Masyarakat Arab pada Zaman Jahiliyah, tidak memiliki
pemerintahan seperti sekarang, namun mereka mempunyai kabilah-kabilah,
suku-suku dan kaum, dimana setiap kabilah, kaum-kaum dan suku-suku memiliki
pimpinan masing-masing yang berdiri sendiri, satu sama lain kadang bermusuhan,
mereka tidak mempunyai rasa nasionalisme, yang ada hanyalah rasa ikatan kabilah
saja.
Dari rasa ikatan kabilah inilah, malahan sampai terjadi
peperangan antar kabilah diantara mereka, misalnya : Perang Busus;
Perang ini terjadi antara kabilah Bakar dengan kabilah Taghlib selama 40 tahun,
hanya disebabkan perselisihan seekor unta; Perang Dahis; perang ini terjadi antara pimpinan suku
Al-Gubhara dan suku Dahis, juga selama 40 tahun; Perang Fujar;
perang ini terjadi kira-kira 268 tahun sebelum Nabi Muhammad diutus Rasul.[18]
Namun demikian, pada masyarakat Arab sebelum Islam datang
berdiri beberapa kerajaan yang
mencerminkan adanya pemerintahan pada saat itu, yang sifat dan bentuknya ada
dua macam, yaitu:
1. Kerajaan yang
berdaulat, tetapi tunduk kepada kerajaan lain (mendapat otonomi dalam negeri).
2. Kerajaan tidak
berdaulat, tetapi mempunyai kemerdekaan penuh, ini lebih tepat disebut Induk
suku dengan kepala sukunya.[19]
Bukti lain dari adanya pemerintahan pada masyarakat Arab
pra Islam adalah adanya jabatan-jabatan penting seperti dipegang oleh Qushayy
Ibn Qilab pada pertengahan abad V M. Dalam memelihara ka’bah, seperti :[20]
No.
|
Jabatan
|
Keterangan
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Hijabat
Siqayat
Rifadat
Nadwat
Liwa’
Qiyadat
|
Penjaga pintu
Ka’bah atau yang memegang kunci
Petugas yang
diharuskan menyediakan air tawar untuk para tamu yang berkunjung ke Ka’bah
serta menyediakan minuman keras yang dibuat dari kurma
Petugas yang
diharuskan memberi makan kepada para pengunjung Ka’bah.
Petugas yang
harus memimpin rapat tahunan
Pemegang panji
yang dipancangkan di tombak kemudian ditancapkan di tanah sebagai lambang
tentara yang sedang menghadapi musuh.
Pemimpin
pasukan apabila hendak berperang.
|
D. Agama dan
Kepercayaan Bangsa Arab Pra Islam
Dilihat
dari aspek agama dan kepercayaan (‘aqa’id), sebelum Islam datang, bangsa Arab
telah menganut agama yang mengakui keberadaan Allah sebagai Tuhan mereka,
sumber kepercayaan tersebut adalah risalah samawiyah yang dikembangkan dan
disebarkan di Jazirah Arab. Agama tersebut diwarisi secara turun temurun dari
Nabi Ibrahim dan anaknya nabi Ismail.[21]
Dalam Al-Quran, ajaran tersebut disebut hanief dan Muslim, sebagaimana
firman-Nya :
$tB tb%x.
ãNÏdºtö/Î) $wÏqåku
wur $|ÏR#uóÇnS
`Å3»s9ur c%x.
$ZÿÏZym $VJÎ=ó¡B
$tBur tb%x.
z`ÏB tûüÏ.Îô³ßJø9$#
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani,
akan tetapi Dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan
sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Ali imran
(3): 67).
Dalam
perkembangan berikutnya kepercayaan tersebut kemudian diselewengkan dan
dicampurbaurkan dengan takhayul dan kemusyrikan menjadi agama watsaniyyat,
yaitu agama yang menyekutukan Allah dengan melakukan penyembahan terhadap
berhala-berhala pohon-pohon, bintang dan jin sebagai penyerta Allah.[22]
Demi kepentingan Ibadah, bangsa Arab pra Islam membuat 360 buah berhala di sekitar Ka’bah karena
setiap kabilah memiliki berhala.[23]
Ada beberapa contoh tradisi dan penyembahan berhala yang
mereka lakukan, seperti :
- Mereka
mengelilingi berhala dan mendatanginya, berkomat-kamit dihadapannya,
meminta pertolongan tatkala kesulitan, berdo’a untuk memenuhi kebutuhan,
dengan penuh keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa memberikan syafaat
disisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka kehendaki.
- Mereka
menunaikan Haji dan Thawaf disekeliling berhala, merunduk dan bersujud
dihadapannya.
- Mereka
mengorbankan hewan sembelihan demi berhala dan menyebut namanya.[24]
Mereka
pada umumnya tidak percaya pada hari kiamat dan tidak percaya kepada
kebangkitan setelah kematian, sebagaimana Firman-Nya :
÷bÎ) }Ïd
wÎ) $oYè?$uym
$u÷R9$# ßNqßJtR
$uøtwUur $tBur
ß`øtwU tûüÏOqãèö7yJÎ/
“kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini,
kita mati dan kita hidup dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi” (
al-Mu’minun (23) : 37)
Namun
sebagian kecil dari masyarakat Arab Jahiliyah tetap pada pendiriannya yang
masih mempertahankan akidah monotheism yang dibawa oleh Nabi Ibrahim dan Nabi
Ismail, diantra mereka adalah Umar Ibn Nufail dan Zuhair Ibn Abi Salma.
Menurut
Jaih Mubarok (2004 : 26)
“Dalam bidang hukum, Bangsa Arab pra
Islam menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuknya. Dalam
perkawinan, mereka mengenal beberapa macam perkawinan, diantaranya adalah : (a)
istibdha, (b) Poliandri, (c) maqthu’, (d) badal
dan (e) Shighar. Dalam bidang mu’amalat, diantara kebiasaan
mereka adalah kebolehan transaksi mubadalat (barter), jual-beli, kerjasama
pertanian (muzara’at) dan riba. Di samping itu, di kalangan mereka juga
terdapat jual beli yang bersifat spekulatif, seperti bay al-munabadat. Di
antara ketentuan hokum keluarga Arab pra Islam adalah kebolehan berpoligami
dengan perempuan dengan jumlah tak terbatas; serta anak kecil dan perempuan
tidak dapat menerima harta pusaka atau harta peninggalan”.
E. Sosio
Kemasyarakatan Arab Pra Islam
Menjelang
era Islam, Jazirah Arab merupakan wilayah pinggiran (terpencil) bagi masyarakat
imperial Timur dalam posisinya sebagai Negara yang perkembangannya sebanding
dengan perkembangan Negara-negara zaman kuno dan tidak
terlibat dengan perkembangan negara-negara zaman kuna dan tidak terlibat dengan
perkembangan negara-negara lainnya di wilayah ini. Arabia merupakan komunitas
besar yang secara khusus tetap mempertahankan pengaruhnya, sementara institusi
perkotaan, keagamaan, dan institusi kerajaan tidak mengalami perkembangan,
sekalipun semua institusi tersebut tetap berlangsung. Jikalau dunia imperial
pada umumnya merupakan masyarakat agricultural, Arabia bertahan sebagai
masyarakat penggembala (pastoral).[25] Kehidupannya berlangsung secara Nomadik
mengikuti tumbuhnya stepa yang tumbuh di sekitar oasis dengan pola kesukuan
yang kuat. Sehingga peperangan antar suku menjadi phenomena yang tidak dapat
dipisahkan dari tradisi masyarakat Arab, terutama suku Badui.
Masyarakat Islam berkembang dalam sebuah lingkungan yang
sejak masa awal sejarah ummat manusia telah menampilkan dua aspek yang fundamental;
Aspek pertama adalah asal-usul yang merupakan organisasi masyarakat
manusia menjadi kelompok-kelompok kecil, bahkan juga kelompok yang bercorak
kekeluargaan. Aspek kedua, merupakan sebuah evolusi kecenderungan yang
mengarah pada pembentukan kesatuan kultur, agama dan wilayah kekuasaan pada
skala yang paling besar. [26]
Hijaz merupakan salah satu daerah di
kawasan tersebut yang sering disebut sebagai “negeri kelahiran Islam”, daerah
dimana terletak dua kota suci umat Islam yang terkenal dan bersejarah yaitu
Makkah dan Madinah. Mekkah merupakan kota transit perdagangan Timur-Barat dan
juga merupakan pusat agama (penyembah berhala) yang selalu didatangi oleh
berbagai suku.[27]
Sedangkan Madinah merupakan nama kota baru bagi Yastrib, sebuah daerah yang
memiliki tanah yang cukup subur dan air yang melimpah. Di Yastrib ini, telah
hidup satu komunitas kecil bangsa Yahudi dan beberapa suku Arab lainnya. Yang
terkenal diantaranya suku Aus dan Khazraj.
Dikalangan
Bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat. Yang kondisinya berbeda antara yang satu dengan yang
lain. Hubungan seorang keluarga dikalangan bangsawan sangat diunggulkan dan
diprioritaskan, dihormati dan dijaga sekalipun harus dengan pedang yang
terhunus dan darah yang tertumpah. Jika seorang ingin dipuji dan menjadi
terpandang di mata Bangsa Arab karena kemuliaan dan keberaniannya, maka dia
harus banyak dibicarakan kaum wanita.[28]
Karena jika seorang wanita menghendaki, maka dia bisa
mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu perdamaian, dan jika wanita itu mau
maka dia bisa menyulutkan api peperangan dan pertempuran diantara mereka.
Sekalipun begitu, seorang laki-laki tetap dianggap sebagai pemimpin ditengah
keluarga, yang tidak boleh dibantah dan setiap perkataannya harus dituruti.
Hubungan laki-laki dan wanita harus melalui persetujuan wali wanita.[29]
Berdasarkan
sosio kemasyarakatan tersebut di atas, bahwa kondisi sosial yang berlaku di
masyarakat Jahiliyah benar-benar rapuh dan dalam kebutaan. Kebodohan mencapai puncaknya dan
khurafat merajalela dimana-mana. Orang-Orang hidup layaknya binatang ternak.
Wanita diperjual belikan bahkan terkadang diperlakukan bak benda mati. Hubungan
antar umat sangat lemah, sementara setiap ada pemerintahan maka ujug-ujugnya
hanyalah untuk mengisi gudang kekayaan mereka yang diambil dari rakyat atau
menggiring mereka untuk berperang melawan musuh-musuh yang mengancam kekuasaan
mereka dan mengikuti hawa nafsu.
F. Ekonomi dan
Perdagangan
Berdasarkan
keberadaan geografis alam yang tandus kering dan gersang, maka pada umumnya
kehidupan orang Arab sebelum Islam datang bersumber dari kegiatan perdagangan
dan peternakan. Sebagian besar masyarakat Timur Tengah telah hidup
dalam perkampungan pertanian atau dalam tenda-tenda pada perkampungan Nomadis.[30] Beberapa kota di Hijaz
seperti Makkah, Madinah, Yaman dan lain-lain merupakan pusat perdagangan,
sehingga dengan demikian Makkah tumbuh menjadi kota dagang antar suku bangsa di
Jazirah Arab. Perdagangan yang paling ramai di kota Mekkah yaitu selam musim
“Pasar Ukaz”, yaitu bulan Zulqaidah, Zulhijjah dan Muharram.[31] Selain
itu di Hijaz pun banyak ditumbuhi pohon kurma, sehingga penduduknya pun
kebanyakan bertani, disamping Hijaz terdapat daerha lain penghasil pertanian
diantaranya Yaman pengahasil Gandum, Oman dan Hasa sebagai pengahsil Padi,
Mahrah pengahasil gaharu dan lain sebagainya.[32]
Orang-orang
Arab di masa Jahiliyah sangat dikenal dengan bisnis dan perdagangannya.
Perdagangan menjadi darah daging orang-orang Quraisy, mereka melakukan
perdagangan ke Yaman pada musim dingin dan perjalanan bisnis ke Syam pada musim
Panas.[33]
Sebagian
besar hasil perindustrian yang ada di kalangan bangsa Arab hanyalah berupa
tenunan, samak kulit binatang dan lainnya. Kegiatan ini ada pada masyarakat
Yaman, Hirah, dan pinggiran kota Syam. Benar, di kawasan domestik Jazirah ada
sedikit industri bercocok tanam, membajak sawah, dan beternak kambing, sapi
serta onta. Kaum wanita rata-rata menekuni seni memintal. Namun barang-barang
tersebut sewaktu-waktu dapat menjadi sasaran peperangan. Kemiskinan, kelaparan
serta kehidupan papa menyelimuti masyarakat.[34]
G. Iptek dan
Kesenian
Sekalipun
Jazirah Arabia, terutama Hijaz dan Najd terpencil dari dunia luar, namun mereka
memiliki daya intelektual yang sangat cerdas, bukti kecerdasan mereka bisa
dilihat dari Ilmu pengetahuan dan seni bahasa. Bukti dalam bidang ilmu
pengetahuan sebagai mana dikemukakan oleh Samsul Munir Amin (2009: 59-60)
adalah :
1. Ilmu
Astronomi. Bangsa
Kaidan (Babilon) adalah guru dunia bagi ilmu astronomi. Mereka telah
menciptakan ilmu astronomi dan membina asas-asasnya. Pada waktu tentara Persia
menyerbu negeri Babilon, sebagian besar dari mereka termasuk ahli ilmu
astronomi mengungsi ke negeri-negeri Arab. Dari merekalah orang Arab
mempelajari ilmu astronomi.
2. Ilmu
Meteorologi. Mereka
menguasai ilmu cuaca atau ilmu iklim (meteorology) yang dalam istilah mereka
waktu itu disebut al-anwa wa mahabburriyah atau istilah Bahasa arab
modern disebut adh-dhawahirul jauwiyah.
3. Ilmu
Mitologi.ini
semacam ilmu mengetahui beberapa kemungkinan terjadinya peristiwa (seperti
perang, damai dan sebagainya), yang didasarkan pada bintang-bintang, seperti
halnya orang-orang Arab Purba, maka merekapun menuhankan bintang-bintang,
matahari dan bulan. Atas pemberitahuan tuhannya maka mereka mengetahui sesuatu.
4. Ilmu tenung. Ilmu tenung juga berkembang pada
mereka dan ilmu ini dibawa oleh bangsa Kaldan (Babilon) ke tanah Arab. Dan
berkembang di kalangan mereka.
5. Ilmu Thib
(Kedokteran). Ilmu Thib
ini berasal dari bangsa Kalda (Babilon). Mereka mengadakan percobaan
penyembuhan orang-orang sakit, yaitu menempatkan orang-orang sakit di tepi
jalan, kemudian mereka menanyakan kepada siapapun yang melalui jalan tersebut
mengenai obatnya, lalu dicatat. Dengan percobaan terus menerus akhirnya mereka
mendapat ilmu pengobatan bagi orang sakit.
Pada
awalnya pengobatan dilakukan oleh para tukang tenung, kemudian dukun (tabib)
hingga akhirnya berkembang. Ilmu kedokteran dari bangsa Babilon diambil oleh
bangsa lain, termasuk oleh orang Arab, sehingga ilmu tersebut menjadi
berkembang di kalangan bangsa Arab.
Dalam
bidang kesenian yang popular dan paling disenangi oleh masyarakat arab sebelum
Islam datang adalah seni sastra. Bangsa Arab dikenal dengan bangsa pengelana
dan penyair. Syair-syair mereka berisi tentang cinta, wanita, khamr, kemegahan
suku dan sebagainya.
Kesusastraan
Arab di jaman Jahiliyah mempunyai ciri ke-araban secara mutlak, jauh dari
segala pengaruh kebudayaan dan pemikiran asing serta isinya sangat sederhana, Dengan
demikian syair yang dihasilkan pada zaman itu lebih indah daripada syair
sesudahnya.[35] Namun,
karaktristik dari sya’ir pada zaman Jahiliyah lebih bersifat golongan atau
kabilah, tidak mencerminkan kebersamaan.[36]
Adapun
contoh dari sya’ir jaman Jahiliyah, sebagaimana dikemukakan oleh Yunus Ali Al-Muhdhar
( 1983: 29) adalah sebagai berikut:
“Pernah
diriwayatkan bahwa dalam suatu ketika
ada seorang Arab sedang dirundung malang di malam hari. Untuk mengisahkan
betapa malangnya pada malam hari itu dia tidak langsung saja mengisahkannya
dalam bentuk prosa atau dengan kata-kata, sebaliknya dia mengatakannya dalam
suatu gubahan syair yang indah sekali seperti di bawah ini:
وليل
كموج البحر ارخى سدوله
علي بانواع الهموم ليبتلى
فقلت
له لما تمطى بصلبه
واردف اعجازا وناء بكلكل
الا
ايها الليل الطويل الا انجلى
بصبح وماالاصباح منك بامثال
“Di kala malam yang segelap lautan,
tengah meliputiku dengan berbagai macam keresahan untuk mencobaku.
Di waktu malam tengah memanjangkan
waktunya, maka aku katakana padanya.
Wahai malam yang panjang! Gerangan
apakah yang menghalangimu untuk bergantian dengan pagi hari? Ya, Walaupun pagi
hari tidak lebih baik daripada kau.”
Sebenarnya penyair itu akan
mengatakan, betapa malang nasibnya, yang mana keresahan itu makin menjadi bila
malam hari”.
Contoh lain dari syair pada Zaman
Jahiliyyah adalah sebagai berikut:
“Ada seorang pemuda Arab yang
termasyhur dalam keberaniannya dan ketangkasannya dalam medan perang. Pemuda
itu bernama Antarah Al-Abshi. Untuk menggambarkan keberaniannya dia menyebutkan
dirinya sebagai maut yang selalu hadir di setiap medan peperangan dan
ketangkasannya diumpamakan sebagai sesuatu yang dapat mendahului ajal.
وانا المنية فى المواطن
كلها
والطعن مني سابق الاجال
“Aku adalah
maut yang hadir di setiap medan juang dan setiap tusukan dariku akan mendahului
ajal”.
Contoh-contoh di atas tadi dapat
dijadikan bukti bahwa karya syair zaman Jahiliyah walaupun sangat sederhana
namun nilai sastranya lebih indah dan lebih halus.
Dalam bidang bahasa dan seni bahasa,
kebudayaan Arab sebelum Islam datang sangat maju, seperti Khithabah
(retorika), disamping pandai menyair, bangsa Arab Jahiliyah pun sangat fashih
berpidato dengan bahasa yang sangat indah dan bersemangat. Ahli pidato mendapat
derajat tinggi dalam masyarakat, sama halnya penyair.[37]
Selain Khithabah,kebiasaan
masyarakat Arab juga adalah Majlis Al-Adab dan Sauqu Ukaz, yaitu mengadakan
Majlis atau Nadwah (klub), di tempat ini mereka mendeklamasikan sajak,
bertanding pidato, tukar menukar berita dan sebagainya. Terkenalah dalam
kalangan mereka “Nadi Quraisy” dan “Darun Nadwah” yang berdiri di samping
Ka’bah.[38]
H. Moral Bangsa
Arab Pra Islam
Masyarakat Jahiliyah
tidak mencerminkan suatu tatanan yang nista, pelacuran dan hina, namun dibalik
itu terdapat suatu akhlak mulia dan terpuji yang amat menawan siapa saja dan
membuatnya terkesima dan takjub. Diantara akhlak tersebut sebagaimana diungkapkan
oleh Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury dalam Kitab
Ar-Rahiqul Makhtum, adalah:
“(1) Kemurahan
Hati, kemurahan hati Bangsa Arab Jahiliyyah terlihat dari Bait-bait
Sya’irnya yang menceritakan kemurahan hati dengan memberikan pujian terhadap
diri sendiri dan orang lain[39],
selain dari Sya’ir, terlihat pula dari pergaulan mereka yaitu ketika seseorang
di antara mereka kedatangan tamu pada musim dingin, sedangkan dia dalam keadaan
lapar dan tidak memiliki harta selain onta betina yang merupakan satu-satunya
sumber hidup keluarganya, tetapi dengan kemurahan hatinya, dia tidak ragu-ragu
untuk mempersembahkan suguhan untuk tamunya dengan menyembelih onta tersebut.
Selanjutnya, pengaruh sifat murah hati mereka tercermin dari rela menanggung
denda demi upaya mencegah pertumpahan darah dan peperangan. Pengaruh lainnya
dari sifat kemurahan hati adalah menyibukan diri dalam bermain judi sebagai
sarana menuju sifat tersebut, karena dari keuntungan yang diraih dalam judi,
mereka persembahkan buat member makan Fakir Miskin atau bisa juga diambil dari
sisa keuntungan yang diraih dari masing-masing pemenang[40];
(2) Menepati janji, Janji dalam tradisi Bangsa Arab
Jahiliyyah seperti halnya memegang teguh terhadap Agama, artinya mereka rela
membunuh anak dan menghancurkan tempat tinggalnya demi memegang sebuah janji; (3)
Kebaggaan pada diri sendiri, sifat pantang menerima pelecehan dan
kedzaliman, implikasi dari sifat ini, tumbuhnya pada diri mereka
keberanian yang sangat hebat dan cepat mengeluarkan emosi. Mereka merupakan
orang yang tidak mau mendengar ucapan yang berbau penghinaan dan pelecehan. Dan
apabila itu terjadi, maka mereka tak segan-segan menghunus pedang dan
mengacungkan tombak serta mengobarkan peperangan yang panjang, merekapun tidak
peduli bila nyawa mereka menjadi taruhannya demi mempertahankan sifat ini; (4)
Tekad yang pantang surut, jika mereka sudah bertekad melakukan sesuatu
kemulyaan dan kebanggaan, maka tak ada satupun yang dapat menyurutkan tekadnya
tersebut, bahkan mereka akan rela menerjang bahaya; (5) Lemah lembut,
tenang dan waspada, Arab Jahiliyyah menyajung sifat-sifat ini, akan
tetapi keberadaannya seakan terhalangi oleh amat berlebihannya sifat pemberani
dan ketergesaan mereka dalam mengambil sikap untuk berperang; (6) Gaya
hidup lugu dan polos ala Badui yang belum terkontaminasi oleh berbagai
peradaban, implikasi dari gaya hidup semacam ini, timbulnya sifat
jujur, amanah serta anti menipu”[41].
I. Kesimpulan
Dari
bahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Arab Pra Islam lebih dikenal dengan Arab Jahiliyah, namun kata Jahiliyah tidak
pernah digunakan dalam syair atau percakapan mereka. Kata ini baru digunakan
pertama kali dalam al-Quran untuk menggambarkan keadaan orang Arab sebelum
Islam. “ jahiliyah bukanlah Jahl yang berarti tiada ilmu, namun jahl
dalam pengertian safah, ghadhab, anfah (sedai, berang, tolol). Jadi
lebih tepatnya, jahiliyah yang dimaksud adalah jahiliyah (bodoh) dalam hal
menerima kebenaran ajaran agama yang lurus dan benar.[42]
2.
Perkembangan IPTEK dan seni sudah
berkembang pada zaman Arab Jahiliyah walaupun sangat sederhana, ini membuktikan
bahwa arab jahiliyah bukan bodo maslah ilmu.
3.
Agama dan kepercayaan yang dianut bangsa Arab ketika itu, sebenarnya sudah
mengikuti agama sebelumnya yang dianut oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, namun
dengan perkembangannya, tercampurlah dengan berbagai tahayyul dan khurafat,
sehingga mereka meninggalkan agama sebelumnya.
4.
Keberadaan Arab jahiliyah tidak identik dengan kenistaan dan tingkah laku yang jelek,
namun terdapat akhlak yang terpuji, diantaranya adalah sikap murah hati,
menepati janji, lemah lembut, tenang dan waspada.
[1]
Jaih Mubaraok, Sejarah Peradaban Islam (Bandung : Pustaka Bani Quraisy.
2004), cet. Ke-1, hlm 23.
[2]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : Amzah. 2009), cet. Ke-1,
hlm. 59
[3]
Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
2006), cet ke-1 , hlm 12
[4]
Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
2006), cet ke-1 , hlm 3.
[5]
Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
2006), cet ke-1 , hlm 3.
[6]
Muhammad Husen Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta : PT. Dunia
Pustaka Jaya. 1979), cet. Ke-3, hlm. 7.
[7]
Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
2006), cet ke-1 , hlm 78.
[8]
Yunus Ali Al-Muhdar, Sejarah Kesusastraan Arab (Surabaya : PT. Bina Ilmu.
1983), cet. Ke-1, hlm. 14.
[9]
Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
2006), cet ke-1 , hlm 16.
[10]
Ahmad Al-‘Usairy, Sejarah Islam (Sejarah Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX)
(Jakarta : Akbar Media. 2009), cet. Ke-7, hlm. 58
[11]
Ahmad Al-‘Usairy, Sejarah Islam (Sejarah Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX)
(Jakarta : Akbar Media. 2009), cet. Ke-7, hlm. 62.
[12]
Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
2006), cet ke-1 , hlm 54
[13]
Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
2006), cet ke-1 , hlm 54
[14]
Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
2006), cet ke-1 , hlm 54
[15]
Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
2006), cet ke-1 , hlm 28
[18]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : Amzah. 2009), cet. Ke-1,
hlm. 58
[19]
Ibid, hlm. 56
[20]
Muhammad Husen Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta : PT. Dunia
Pustaka Jaya. 1979), cet. Ke-3, hlm. 35
[21]
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah:
Ditinjau dari Pandangan Al-Quran (Jakarta : Raja Grapindo Persada, 1994), hlm.
33.
[22]
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah:
Ditinjau dari Pandangan Al-Quran (Jakarta : Raja Grapindo Persada, 1994), hlm.
33.
[23]
Jaih Mubarak, Jaih Mubaraok, Sejarah Peradaban Islam (Bandung : Pustaka
Bani Quraisy. 2004), cet. Ke-1,hlm.25
[25]
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2000), h.15
[26] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat
Islam (Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 2000), h.3-4
[27] Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan
Tanah Suci: Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800-1925 (Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 1999), hlm. 1
[30]
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2000), h.4
[31]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : Amzah. 2009), cet. Ke-1,
hlm 59.
[32]
Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
2006), cet ke-1 , hlm 22
[33]
Ahmad Al-‘Usairy, Sejarah Islam (Sejarah Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX)
(Jakarta : Akbar Media. 2009), cet. Ke-7, hlm. 72.
[34]
Syekh Shafiyy al-Rahman al-Mubarakfury, al-Raiqu al-Makhtum (Bairut: Daar
al-Fikr, 2003), cet ke-1.
.
[35]
Yunus Ali Al-Muhdar, Sejarah Kesusastraan Arab (Surabaya : PT. Bina Ilmu.
1983), cet. Ke-1, hlm. 27.
[36]
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam (Mesir: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah. 1933),
cet. Ke-8, hlm. 17.
[37]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : Amzah. 2009), cet. Ke-1,
hlm 61
[38] Ibid.
[39]
Contoh
Sya’ir yang bertemakan Al-Madih wa al-Fakhr (puji-pujian dan kebanggaan
diri) karangan Antarah bin Syaddad al-Absy dalam Mu’alaqnya, sebagai berikut:
ولقد شربت من المدامة بعدما · ركد
الهواجر بالمشوف المعلم
بزجاجة صفراء ذات أسرة · فرنت بازهار باالشمال
مفدم
فاذا شربت فاننى مستهلك · مالى وعرضى وافر لم
يكلم
واذا ضحوت فمااقصر عن ندى · وكما علمت شمائلى
وتكرمى
“Sungguh aku telah menenggak arak di tempat
mulia sesudah wanita-wanita penghibur ditelantarkan dengan cangkir dari kaca
kuning di atas nampan nan terangkai bunga dalam genggaman tangan dingin saat
aku menenggak, sungguh aku habiskan seluruh hartaku, namun begitu kehormatanku
masih sadarkan kala aku tersadarkan, tak kan lengah menyongsong panggilan,
sebagaimana hal itu melekat pada sifat kemurahan hatiku”.
[40] Al-Quran sendiri tidak mengingkari
manfaat dari Khamr dan Judi (Maisyir), akan tetapi menyatakan:
7tRqè=t«ó¡o
ÇÆtã
ÌôJyø9$#
ÎÅ£÷yJø9$#ur
(
ö@è%
!$yJÎgÏù
ÖNøOÎ)
×Î72
ßìÏÿ»oYtBur
Ĩ$¨Z=Ï9
!$yJßgßJøOÎ)ur
çt9ò2r&
`ÏB
$yJÎgÏèøÿ¯R 3
…
“Mereka bertanya kepadamu
tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang
besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya". ….
[41]
Syekh Shafiyy al-Rahman al-Mubarakfury, al-Raiqu al-Makhtum (Bairut: Daar
al-Fikr, 2003), cet ke-1, hlm. 29-30.
[42]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : Amzah. 2009), cet. Ke-1,
hlm 62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar