A.
Pendahuluan
Umar bin Khattab adalah salah seorang sahabat
terdekat Nabi SAW yang didaulat menjadi Khalifah kedua dalam sejarah peradaban
Islam. Sebelum memeluk Islam, Umar bin Khattab dikenal sebagai seorang
bangsawan Quraisy yang berwatak keras dan berani. Di samping itu, Umar bin
Khattab juga dikenal sebagai orang yang pandai berdiplomasi, sehingga ia
dipercaya menjadi salah seorang diplomat dari kabilah Quraisy. Karena watak dan
bakat yang dimilikinya tersebut, Umar bin Khattab menjadi orang yang disegani
di kalangan suku Arab ketika itu.
Sahabat Nabi yang sebelumnya sangat gigih menentang
ajaran agama yang dibawa oleh Muhammad, akhirnya menyatakan keislamannya dengan
mengucapkan dua kalimat Syahadat di hadapan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat
lain yang telah lebih dahulu memeluk Islam. Rasa takjub Umar bin Khattab akan
ayat-ayat Al-Qur’an yang dilantunkan oleh adiknya, Fatimah yang telah lebih dulu
memeluk Islam, melatarbelakangi pengakuan dan ketetapan hatinya untuk memeluk
agama Islam sebagai pilihan jalan hidupnya yang baru. Dan satu hal yang pasti
tentunya karena ada hidayah dari Allah SWT akhirnya Umar bin Khattab memeluk
Islam, serta didukung oleh do’a Nabi SAW yang meminta kepada Allah supaya Islam
dikuatkan oleh salah seorang di antara Amr Bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar bin
Khattab.
Kharisma dan ketokohan Umar bin Khattab di kalangan
suku Quraisy telah menciutkan nyali orang-orang kafir Quraisy untuk melakukan
gangguan terhadap dakwah Nabi SAW. Kharisma Umar bin Khattab juga terlihat
tatkala ia berani melakukan hijrah ke Yatsrib secara terang-terangan. Umar bin
Khattab adalah satu-satunya orang yang melakukan hijrah secara terang-terangan.
Sambil menghunuskan pedangnya, Umar bin Khattab mengancam dengan mengajak duel
kepada siapapun yang berani menghalangi jalannya untuk berhijrah. Mendengar
ancaman tersebut tidak ada seorang pun dari kafir Quraisy yang berani
menghalangi Umar bin Khatab untuk berhijrah.
Kedekatannya dengan Nabi SAW serta kebrilianannya
dalam memahami syariat Islam mengantarkan Umar bin Khattab menjadi khalifah
kedua menggantikan Khalifah pertama, Abu Bakar. Bila Abu Bakar
mengonsolidasikan Islam dan menyelamatkannya dari kehancuran, maka Umar
menjamin pengembangannya.[1]
Masa kekhalifahan Umar bin Khattab berlangsung selama 10 tahun 6 bulan dan 4
hari,[2]
(13-23 H/634-644 M). Peranan Umar bin Khattab dalam sejarah Islam masa
permulaan merupakan yang paling menonjol karena perluasan wilayahnya, di
samping kebijakan-kebijakan politiknya yang lain. Pada masa kepemimpinannya,
wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria,
sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.[3]
Di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab, Islam menjadi sebuah imperium terbesar
di dunia pada waktu itu.
Adanya penaklukan besar-besaran pada masa
pemerintahan Umar bin Khattab merupakan fakta yang diakui kebenarannya oleh
para sejarawan. Bahkan ada yang mengatakan, kalau tidak karena
penaklukan-penaklukan yang dilakukan pada masa Umar bin Khattab, Islam belum
akan tersebar seperti sekarang.[4]
Tidak diragukan lagi, khalifah Umar bin Khattab
adalah sosok pemimpin umat yang berhasil mengibarkan panji Islam di muka bumi
ini, serta membawa peradaban Islam pada masa kejayaan dan kegemilangan. Umar bin
Khattab diakui oleh para sarjana muslim dan bukan muslim bahwa ia adalah orang
kedua sesudah Nabi yang paling menentukan jalannya kebudayaan Islam.[5]
B.
Biografi Umar bin Khattab
1.
Silsilah Nasab Umar bin Khattab
Silsilah
Nasab Umar yaitu Umar bin al-Khattab bin Nufail bin Abdil ‘Uzza, bin Ribaah,
bin Abdullah, bin Qarth, bin Razaah, bin ‘Adiy, bin Ka’ab.[6] Ibunya ialah
Hantamah binti Hasyim bin al-Mughirah, bin Abdullah, bin Umar bin Makhzum.[7] Silsilah Umar bin Khattab berjumpa dengan silsilah
Nabi Muhammad pada moyang yang ke tujuh.[8] Umar bin Khattab berasal dari Bani ‘Adi, salah
satu keturunan dari suku Quraisy yang terpandang mulia dan mempunyai martabat
tinggi di kalangan Arab ketika itu.
Umar bin
Khattab lahir pada tahun 581 Masehi, atau tiga belas tahun pasca tahun gajah.[9] Umar bin Khattab mempunyai postur tubuh yang tegap
dan kuat, wataknya keras, berani, dan berdisiplin tinggi. Pada masa remajanya,
dia dikenal sebagai pegulat perkasa dan sering menampilkan kemampuannya itu
dalam pesta tahunan pasar Ukaz di Mekah.[10]
2.
Aristokrat dan Diplomat Quraisy
Umar bin
Khattab termasuk salah seorang bangsawan Quraisy,[11] karena ia berasal dari Bani ‘Adi, keturunan yang
terpandang di kalangan bangsa Quraisy. Di kalangan suku Quraisy, Umar bin
Khattab dikenal sebagai orang yang memiliki kecerdasan yang luar biasa, mampu
memprakirakan hal-hal yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Tutur
bahasanya halus dan bicaranya fasih. Kelebihan-kelebihan yang dimilikinya itu
mengantarkannya terpilih menjadi wakil kabilahnya. Ia selalu diberi kepercayaan
sebagai utusan mewakili kabilah Quraisy dalam melakukan perundingan-perundingan
dengan suku-suku lain.[12] Keunggulannya berdiplomasi membuatnya populer di
kalangan berbagai suku Arab.
3.
Umar bin Khattab Memeluk Islam
Nabi SAW
mengakui kelebihan-kelebihan yang dimiliki Umar bin Khattab, pemuda yang gagah
berani, tidak mengenal takut dan gentar, dan mempunyai ketabahan dan kemauan
yang keras. Oleh karena itu, untuk kepentingan perjuangan Islam, Nabi SAW
berdo’a kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Tirmidzi dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi SAW bersabda: “Ya Allah
kuatkanlah Islam oleh salah seorang dari kedua laki-laki ini, yaitu oleh Umar bin
Khattab atau oleh Abu Jahal bin Hisyam.”[13] dan dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Hakim
dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi SAW bersabda: “Ya Allah kuatkanlah Islam,
khususnya oleh Umar bin Khattab.”[14] Do’a Nabi SAW tersebut diperkenankan Allah SWT
dengan Islamnya Umar bin Khattab pada tahun keenam kenabian, ketika ia berumur
27 tahun.[15] Dalam sumber lain disebutkan bahwa Umar bin
Khattab memeluk Islam sekitar tahun 616 Masehi.[16]
Sebelum
memeluk Islam, Umar bin Khattab dikenal sebagai salah seorang tokoh Arab
Quraisy yang paling gigih menentang seruan Nabi SAW, hal tersebut menjadikannya
salah seorang dari kafir Quraisy yang paling ditakuti oleh orang-orang yang
sudah masuk Islam, sehingga mereka melakukan ibadah secara sembunyi-sembunyi.
Hingga suatu hari terjadi peristiwa yang membuatnya berketetapan hati untuk memeluk
Islam. Ketika itu Umar bin Khattab menerima kabar yang menyebutkan bahwa
adiknya, Fatimah, beserta suaminya telah memeluk agama yang sangat dibencinya
itu. Umar bin Khattab menjadi murka dan bergegas mendatangi rumah Fatimah, dan
ketika sampai di sana Umar bin Khattab mendapati adiknya beserta iparnya tengah
mempelajari Al-Qur’an bersama beberapa orang muslim. Dengan emosi yang
meluap-luap Umar bin Khattab menampar adiknya. Suami Fatimah pun tak luput dari
pukulan. Di puncak kemarahannya, mata Umar bin Khattab tertuju pada
lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an, lalu dibacanya isi
lembaran tersebut. Seketika itu jantung Umar bin Khattab mendadak berdegup
kencang dan hatinya menjadi ciut. Setelah membaca ayat-ayat Al-Qur’an, perasaan
Umar bin Khattab menjadi tenang, dan rasa damai menyelinap di hatinya. Menurut
sebagian riwayat, yang tertera dalam lembaran itu adalah beberapa ayat dari
permulaan surat Taha.[17]
Kemukjizatan
Al-Qur’an telah meluluhkan hati Umar bin Khattab yang keras terhadap Islam dan
para pengikutnya. Umar bin Khattab pun berkeinginan untuk menemui Rasulullah
yang ketika itu sedang menyampaikan dakwah secara sembunyi-sembunyi di rumah
al-Arqam. Kedatangan Umar bin Khattab di rumah al-Arqam mengejutkan para
sahabat yang sedang bersama Nabi SAW, namun Nabi SAW tidak merasa terkejut akan
kedatangan Umar bin Khattab, karena memang dia adalah orang yang selalu
dido’akannya agar masuk Islam. Kedatangan Umar bin Khattab disambut dengan baik
oleh Nabi SAW, dan hal tersebut menambah kemantapan Umar bin Khattab untuk
memeluk Islam. Sambil menggenggam leher baju Umar bin Khattab, Nabi SAW berkata
dengan suara keras, “Islamlah engkau, wahai Ibnu Khattab!”[18] Umar bin Khattab pun mengucapkan dua kalimat
syahadat, sebagai tanda ia telah masuk Islam.
Umar bin
Khattab adalah orang kelima puluh dua yang masuk Islam setelah 40 orang
laki-laki dan 11 orang perempuan. Ada juga yang menyebutkan orang keenam puluh
tiga setelah 39 orang laki-laki dan 23 orang perempuan. Dan ada juga yang
menyebutkan orang kelima puluh tujuh setelah 45 orang laki-laki dan 11 orang
perempuan.[19] meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai
orang ke berapakah Umar bin Khattab masuk Islam, namun yang pasti ia adalah
salah seorang yang memeluk Islam pada masa-masa awal, yang sering disebut
dengan istilah “al-Sabiqun al-Awwalun”. Masuk Islamnya Umar bin Khattab segera
diikuti oleh putra sulungnya, Abdullah, dan istrinya, Zainab binti Maz’un.
Selain itu, keislaman Umar bin Khattab membuka jalan bagi tokoh-tokoh arab
lainnya untuk masuk Islam. Sejak saat itu, berbondong-bondonglah orang masuk
Islam sehingga dalam waktu singkat pengikut Islam bertambah dengan pesat.
Islamnya Umar bin Khattab membawa cahaya
terang dalam permulaan perjuangan Islam. Dakwah Islam yang semula dijalankan
secara rahasia dan sembunyi-sembunyi, kini disiarkan secara terang-terangan.
Umar bin Khattab menjadi seorang muslim yang sangat kuat, gigih dan setia dalam
membela Islam. Bahkan ia menjadi salah seorang sahabat yang terkemuka dan
paling dekat dengan Nabi Muhammad SAW.[20] ibnu Asir meriwayatkan bahwa Abdullah bin Mas’ud
berkata: “Islamnya Umar adalah suatu kemenangan, hijrahnya adalah suatu
pertolongan, dan pemerintahannya adalah rahmat. Mulanya kita tidak dapat
mengerjakan sembahyang di rumah kita sendiri, karena takut kepada Quraisy.
Tetapi, sesudah Umar masuk Islam lalu dilawannya kaum Quraisy itu, sehingga
mereka membiarkan kita mengerjakan sembahyang.”[21] Umar bin khattab telah menunjukkan kesetiaan dan
pengabdiannya tanpa pamrih demi kejayaan Islam, seolah-olah ia hendak menebus
segala kesalahan dan dosa yang diperbuatnya pada masa jahiliyah.
4.
Hijrah ke Yatsrib
Ketika Nabi
merasa bahwa Mekah bukan lagi tempat yang kondusif untuk menyebarkan Islam,
Nabi memutuskan untuk berhijrah ke kota yang dinilainya lebih dapat menerima
Islam secara terbuka. Setelah mendapatkan jaminan keamanan dari orang-orang
Yatsrib yang telah memeluk Islam, maka dipilihlah kota yang kemudian berubah
nama menjadi Madinah itu sebagai tempat tujuan Hijrah. Nabi tiba di kota
Yatsrib pada tanggal 2 Juli 622 Masehi.[22]
Pada saat
berlangsungnya hijrah, tidak ada seorang pun yang berani berangkat dari Mekah
ke Yatsrib secara terang-terangan, kecuali Umar bin Khattab.[23] Dengan pedang di pinggang dan busur panah di
tangan, ia pun pergi ke lapangan Ka’bah lalu thawaf tujuh kali dan salat dua
rakaat, kemudian maju ke depan pembesar-pembesar Quraisy lainnya yang tengah
berada di depan Dar al-Nadwa, lalu Umar bin Khattab memegang dagu mereka
satu persatu dan berkata: “Barang siapa yang menginginkan ibunya meratapi
putranya, anaknya menjadi yatim, dan istrinya menjadi janda, silahkan susul
saya ke balik lembah!”[24]. Tidak ada seorang pun dari kaum kafir Quraisy
ataupun para pembesarnya yang berani menjawab tantangan tersebut. Dengan
melenggang bebas Umar bin Khattab pun berangkat ke Yatsrib tanpa ada gangguan
dari kaum kafir Quraisy.
5.
Sahabat Terdekat Nabi SAW yang Terkenal Kritis
Pasca
keislamannya, Umar bin Khattab menjadi salah seorang sahabat terdekat Nabi SAW.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan al-Hakim dari Uqbah bin ‘Amir,
Rasulullah SAW bersabda: “Andaikata masih ada nabi sesudahku, maka orang
tersebut adalah Umar bin Khattab.”[25] Ia digelari oleh Nabi SAW dengan gelar “al-faruq”
yang artinya pembeda atau pemisah. Maksudnya, Allah telah memisahkan dalam
dirinya antara yang hak dan yang batil.[26]
Umar bin
Khattab dikenal sebagai sahabat yang sangat berani mengemukakan pikiran-pikiran
dan pendapatnya di hadapan Nabi SAW, bahkan ia juga tidak segan menyampaikan
kritik untuk kemaslahatan umat Islam. Dalam beberapa hal Umar bin Khattab
berbeda pendapat dengan Rasulullah SAW, yang beberapa pendapatnya kemudian
dibenarkan oleh Al-Qur’an.[27] Diriwayatkan, pada suatu ketika ia bersama Nabi
SAW berada di dekat Ka’bah, Nabi SAW lalu menunjukkan kepadanya makam Ibrahim.
Seketika itu Umar bin Khattab bertanya kepada Nabi SAW, apakah di situ boleh
dilakukan salat? Nabi SAW menjawab bahwa hal itu belum diperintahkan. Lalu hari
itu juga turun wahyu yang membolehkan salat di makam Ibrahim.
Pandangan
Umar bin Khattab yang jauh ke depan, keluwesan, dan keadilannya membuat orang
senang menerima pendapatnya. Hal ini juga terlihat ketika Rasulullah SAW wafat
dan timbul perselisihan antara kaum Ansar dan Muhajirin di Saqifah Bani
Sa’idah mengenai pengganti Rasulullah SAW. Umar bin Khattab dengan
tangkasnya melerai perselisihan tersebut. Ketegasan dan keberanian Umar bin
Khattab merupakan kekuatan besar dalam upaya mengembangkan Islam selanjutnya,
sehingga bukan hanya Nabi SAW yang menaruh simpati dan kepercayaan yang besar
kepadanya, melainkan juga para sahabat, khususnya Abu Bakar.
Pada masa
pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab selalu diangkat sebagai penasihat
sekaligus hakim dalam menangani permasalahan-permasalahan hukum yang timbul
ketika itu. Kemampuan Umar bin Khattab dalam memecahkan berbagai problema hukum
yang dihadapkan kepadanya meyakinkan Abu Bakar untuk mengangkatnya sebagai
khalifah kelak.
6.
Inisiator Pembukuan Al-Qur’an
Umar bin
Khattab adalah orang pertama yang mencetuskan ide tentang perlunya dilakukan
pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an. Ketika itu ayat-ayat Al-Qur’an tersebar di
berbagai lempengan batu, pelepah kurma, tulang-belulang, dan sebagainya.
Tempatnya pun berserakan di tangan para sahabat, tidak terkumpul dalam suatu
tempat.
Pada masa
Nabi SAW cukup banyak sahabat yang menghafal Al-Qur’an seluruhnya, sehingga
mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an belum dirasa perlu. Akan tetapi, pada
masa khalifah Abu Bakar terjadi banyak peperangan yang di dalamnya gugur banyak
sahabat penghafal Al-Qur’an. Dalam perang Yamamah saja terdapat 70 orang
sahabat penghafal Al-Qur’an yang gugur.[28] Oleh karena itu, Umar bin Khattab khawatir para
penghafal Al-Qur’an akan habis. Dengan alasan itu, ia mengusulkan kepada Abu
Bakar agar segera dikumpulkan semua tulisan ayat-ayat Al-Qur’an.
Pada mulanya Abu Bakar keberatan menerima usulan Umar bin Khattab,
karena Nabi SAW tidak pernah melakukan hal yang demikian. Namun atas desakan
Umar bin Khattab, usulan pembukuan Al-Qur’an akhirnya disetujui oleh khalifah
Abu Bakar. Abu Bakar lalu mempercayakan tugas pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an
kepada Zaid bin Tsabit, salah seorang sahabat yang dipercaya dan paling banyak
menulis wahyu pada masa Rasulullah SAW.
C.
KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB
1.
Suksesor Abu Bakar
Abu Bakar
jatuh sakit pada musim panas tahun 634 M, dan selama lima belas hari dia
berbaring di tempat tidur.[29] Sebelum wafat, Abu Bakar memanggil beberapa orang
sahabat besar untuk dimintai pendapatnya tentang rencana penunjukan khalifah
yang akan menggantikannya. Di antara para sahabat yang dipanggil Abu Bakar
untuk dimintai pendapatnya yaitu Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan
Thalhah bin Ubaidillah. Umar bin Khattab ternyata merupakan calon tunggal yang
diajukan oleh Abu Bakar kepada ketiga sahabat tersebut. Setelah mendengarkan
penjelasan dari Abu Bakar tentang alasannya menunjuk Umar bin khattab, ketiga
sahabat tersebut menyatakan ketaatannya kepada Abu Bakar dan menyetujui
pencalonan Umar bin Khattab sebagi khalifah berikutnya.
Khalifah
Abu Bakar meninggal pada tanggal 23 Jumadil Akhir tahun 13 H, bertepatan dengan
bulan Agustus tahun 634 M. Masa pemerintahannya berlangsung selama 2 tahun 3
bulan 13 belas hari. Jasad Abu Bakar dikebumikan di bekas rumah putrinya,
Aisyah binti Abu Bakar, tepatnya di samping makam Rasulullah SAW.[30] Setelah khalifah Abu bakar meninggal, Umar bin
Khattab kemudian dibaiat menjadi khalifah menggantikan Abu bakar. Ketika sudah menjadi Kepala
Negara, Umar bin Khattab diberi
gelar “Khalifatu Khalifati Rasulillah” (pengganti dari pengganti
Rasulullah). Tetapi karena gelar tersebut terasa berat diucapkan, maka kemudian
gelar tersebut dirubah menjadi “Amir al-Mu’minin”,[31] yang berarti komandan orang-orang yang beriman.
2.
Khalifah yang Adil dan Merakyat
Sebagai
khalifah, Umar bin Khattab dikenal sangat adil dalam menjalankan
pemerintahannya. Ia tidak membedakan antara tuan dan budak, kaya dan miskin,
ataupun penguasa dan rakyat jelata. Semua mendapat perlakuan yang sama. Yang
salah dihukum, dan yang benar dibelanya. Banyak didapati riwayat yang
menceritakan tentang keadilan Umar bin Khattab, salah satunya riwayat yang
disampaikan oleh Anas bin Malik, bahwa suatu ketika ia sedang duduk bersama
Umar bin Khattab, lalu datang seorang penduduk Mesir mengadukan perihal
kezaliman Amr bin ‘Ash, yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Mesir. Dengan
serta merta Umar bin Khattab mengirim surat kepada Amr bin ‘Ash agar ia segera
menghadap Umar bin Khattab di Madinah. Setelah Amr bin ‘Ash datang, ia pun diadili dan ternyata
dinyatakan bersalah. Umar bin
Khattab lalu menyuruh penduduk yang teraniaya itu untuk membalas sesuai dengan
perlakuan yang diterimanya.[32]
Meskipun telah menjadi khalifah, Umar bin Khattab tetap dekat dengan rakyatnya. Diceritakan bahwa
setiap malam ia pergi berkeliling mengamati keadaan rakyatnya.[33] Ia khawatir kalau-kalau ada
di antara mereka yang mengalami kesulitan seperti sakit atau kelaparan. Bila
ditemukan, ia tidak segan memberikan bantuan langsung, bahkan sering dijumpai
Umar bin Khattab mengangkat sendiri bahan
makanan untuk orang-orang yang memerlukannya.
Umar bin
Khattab juga sangat takut mengambil harta kaum muslimin tanpa alasan yang kuat. Ia
berpakaian sangat sederhana, bahkan tidak pantas untuk dipakai oleh seorang
pembesar seperti dia. Umar bin
Khattab meneladani perilaku Rasulullah SAW dalam seluruh aspek kehidupannya.
Prinsip hidup sederhana juga diterapkan Umar bin Khattab di lingkungan keluarganya. Istri dan anak-anaknya
dilarang menerima pemberian dalam bentuk apapun dari pembesar maupun dari
rakyatnya. Sejarah mencatat, betapa dia sendiri sering “istaqrada”,[34] yakni melakukan pinjaman kepada Bait al-Mal dan
nanti dipotong dari pendapatan tetapnya. Singkatnya, pada masa pemerintahannya
itu berlangsung pengaturan administrasi pemerintahan yang ketat sesuai dengan
sikap hidupnya yang sederhana.
3.
Mujtahid yang Ulung
Dengan bimbingan Nabi SAW dan pengaruh Al-Qur’an, telah lahir orang-orang pandai. Sahabat dekat Nabi
SAW banyak yang menjadi terkenal
karena kemampuannya, salah satu di antaranya yaitu Umar bin Khattab. Di antara
keempat Khulafau al-Rasyidin, Umar bin Khattab mempunyai kedudukan yang
istimewa. Keistimewaan Umar bin
Khattab terletak pada kemampuannya berpikir kreatif. Kebrilianan beliau dalam
memahami syariat Islam diakui sendiri oleh Nabi.[35]
Kreativitas Umar bin Khattab mulai tampak ketika ia mengkhawatirkan keutuhan Al-Qur’an karena banyaknya sahabat penghafal Al-Qur’an yang mati syahid. Untuk itu
Umar bin Khattab mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar untuk membukukan Al-Qur’an
yang waktu itu masih merupakan catatan-catatan lepas dan hafalan pribadi para
sahabat. Walaupun sekarang bernama Mushaf Utsmani, tetapi gagasan
awalnya berasal dari Umar
bin Khattab.[36] Tidak diragukan lagi bahwa keutuhan Al-Qur’an, yang
gagasan pembukuannya berasal dari Umar bin Khattab, merupakan warisan intelektual Islam yang paling
berharga.
Untuk menghadapi masalah baru yang belum pernah dijumpai
pada masa Rasulullah dan masa Abu Bakar, maka Umar bin Khattab melakukan
ijtihad. Di antara hasil ijtihadnya yaitu:
a.
Menetapkan hukum tentang
masalah-masalah yang baru
Masalah baru yang dihadapi Umar bin Khattab yang kemudian
dipecahkan seperti ini adalah masalah potong tangan bagi pencuri, mengawini
ahli kitab, cerai tiga kali yang diucapkan sekaligus, masalah tentang muallaf
qulubuhum, dan lain-lain.
b.
Memperbaharui organisasi
negara
Pada masa Rasulullah SAW, sesuai dengan keadaannya, organisasi negara masih
sederhana. Tetapi ketika masa khalifah Umar bin Khattab, di mana umat Islam sudah terdiri dari bermacam-macam
bangsa dan urusannya makin meluas, maka disusunlah organisasi negara sebagai
berikut:
1)
Organisasi Politik, yang
terdiri dari:
a)
Al-Khilafat, yaitu Kepala Negara.
b)
Al-Wizarat, sama dengan menteri pada
zaman sekarang.
c)
Al-Kitabat, yaitu Sekretaris Negara.
2)
Administrasi Negara. Sesuai
dengan kebutuhan, khalifah Umar bin Khattab menyusun administrasi negara
menjadi:
a)
Diwan-diwan (departemen-departemen), yang
terdiri dari:
- Diwan al-Jundy atau Diwan al-Harby, yaitu Badan Pertahanan
Keamanan.
- Diwan al-Kharaj (Diwan al-Maaly)/Bait al-Maal, yang mengurusi
keuangan negara, pemasukan dan pengeluaran anggaran belanja negara.
-
Diwan al-Qudhat, yaitu Departemen Kehakiman.
b)
Al-Imarah ‘ala al-Buldan, yaitu Administrasi
Pemerintahan dalam Negeri, yang terdiri dari:
- Negara dibagi menjadi beberapa provinsi yang dipimpin oleh seorang gubernur
(amil).
- Al-Barid, yaitu perhubungan, dengan menggunakan kuda pos
- Al-Syurthah, yaitu polisi penjaga keamanan negara.
-
c.
Mengembangkan Ilmu
Untuk kepentingan pengajaran di luar Jazirah Arab,
khalifah Umar bin Khattab mengirim guru-guru yang terdiri dari sahabat-sahabat
ahli ilmu, yaitu Abdullah bin Mas’ud pergi ke Kufah, Abu Musa al-Asy’ari dan
Anas bin Malik pergi ke Basrah, Muadz, Ubadah, dan Abu darda dikirim ke Syam,
Abdullah bin Amr bin Ash dikirim ke Mesir.[37] Melalui tangan-tangan mereka
berkembang ilmu keislaman di negeri-negeri itu dan menghasilkan ulama (ahli
ilmu) dalam jumlah yang lebih besar.
D.
Pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab
1.
Periode Futuhat
Al-Islamiyyah (Perluasan Wilayah Islam)
Di zaman Umar bin Khattab, gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan)
pertama terjadi, ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M. Dan setahun
kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah
Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam.
Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah
pimpinan Amr bin ‘Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqqash. Iskandaria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M.
Dengan demikian, Mesir Jatuh ke bawah kekuasaan Islam.
Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Irak,
berhasil dikuasai pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota
Persia, Al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Mosul dapat
dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab, wilayah
kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar
wilayah Persia, dan Mesir.[38] Luas keseluruhan wilayah negeri-negeri yang
ditaklukkan oleh Khalifah Umar bin Khattab adalah 2.251.030 mil persegi,
membentang dari Mekah 1.036 mil ke utara, 1.087 mil ke timur dan 483 mil ke
selatan.[39]
2.
Sistem dan Administrasi Pemerintahan
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Umar
bin Khattab menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Hal tersebut dibuktikan
dengan adanya Majelis Permusyawaratan yang terdiri dari para sahabat, seperti
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin ‘Auf, Muadz bin Jabal,
Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit.[40] Setiap
keputusan dan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintahan Umar bin Khattab adalah
berdasarkan hasil Musyawarah antara Khalifah dengan anggota Majelis
Permusyawaratan.
Dengan semakin meluasnya daerah
kekuasaan Islam, maka Khalifah Umar bin Khattab segera mengatur administrasi
negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia.
Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi, yaitu Mekah,
Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir.[41] Kemudian Untuk menunjang
kelancaran administrasi dan operasional tugas-tugas eksekuif, Umar bin Khattab
melengkapinya dengan beberapa jawatan, antara lain:
a)
Dewan Al-Kharraj
(Jawatan Pajak);
b)
Dewan Al-Ahdats
(Jawatan Kepolisian);
c)
Nazarat Al-Nafi’ah
(Jawatan Pekerjaan Umum);
d) Dewan Al-Jund (Jawatan Militer);
Di samping itu, langkah-langkah
yang juga dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab adalah menempa mata
uang, membentuk tentara untuk menjaga dan melindungi tapal batas, mengatur
gaji, mengangkat hakim-hakim, mengatur perjalanan pos, menetapkan tahun
Hijriyah sebagai sistem penanggalan, dan mengadakan hisbah[43] (pengawasan terhadap pasar,
pengontrolan terhadap timbangan dan takaran, penjagaan terhadap tata tertib dan
susila, pengawasan terhadap kebersihan jalan, dan sebagainya).
3.
Kontroversi Pembebastugasan Khalid Bin Walid
Pemberhentian Khalid bin Walid
sebagai panglima perang menjadi salah satu kontroversi dalam masa pemerintahan
Umar bin Khattab. Khalid bin Walid yang berjasa besar dalam menaklukkan
berbagai daerah, seperti Irak dan Syam, akhirnya harus rela melepaskan
jabatannya sebagai panglima perang dan memberikan jabatan tersebut kepada Abu
Ubaidah atas perintah Khalifah Umar bin Khattab.
Beberapa perbuatan Khalid bin
Walid yang berlebihan telah mengecewakan Khalifah Umar bin Khattab. Beliau
kecewa dengan kekerasan yang dilakukan oleh Khalid bin Walid terhadap beberapa
orang musuh. Kemudian pada suatu ketika Khalid bin Walid memberikan derma
sebesar 10.000 dirham kepada seorang penyair.[44] Umar bin Khattab menganggap
serius terhadap hal ini. Namun, Khalid bin Walid menyatakan bahwa sumbangan itu
berasal dari kantongnya sendiri. Tetapi pernyataan Khalid bin Walid tersebut
tidak dapat memuaskan Umar bin Khattab. Sebab lain yang menjadi faktor pemicu
diberhentikannya Khalid bin Walid adalah banyaknya orang yang mengagungkan
Khalid bin Walid secara berlebihan, dikarenakan ia selalu memenangi hampir
setiap peperangan yang ia pimpin. Umar bin Khattab melihat hal tersebut sebagai
sesuatu yang membahayakan bagi akidah kaum muslimin.
Umar bin Khattab menulis surat
kepada semua gubernur propinsi untuk memberitahukan kepada mereka bahwa dia
tidak memecat Khalid bin Walid karena ia merasa terganggu olehnya atau karena
dia mengganggapnya bersalah melanggar kepercayaan, tetapi karena ia melihat
bahwa orang-orang makin lama makin terikat kepadanya, dan karenanya dia
menganggap tepat untuk membebastugaskan Khalid bin Walid, sehingga orang-orang
akan menyadari bahwa segala sesuatu ditentukan oleh Allah.[45]
Namun demikian, satu hal yang
patut dikagumi dari Khalid bin Walid adalah sikapnya yang menunjukkan kepatuhan
terhadap keputusan Khalifah Umar bin Khattab. Meskipun pada saat itu Khalid bin
Walid sedang berada di puncak kesuksesan sebagai panglima perang kaum Muslimin.
Pembebastugasannya sebagai panglima tidak lantas menyurutkan langkahnya untuk
terus berjihad di jalan Allah, bahkan Khalid bin Walid tetap berjuang seperti
sediakala di bawah pimpinan panglima baru yang menggantikannya yaitu Abu
Ubaidah.
4. Percobaan
Pembunuhan terhadap Umar Bin Khattab
Kekhalifahan Umar bin Khattab
berlangsung selama 10 tahun 6 bulan dan 4 hari.[46] Sumber lain menyebutkan bahwa
masa pemerintahannya berlangsung selama 10 tahun 5 bulan dan 21 hari.[47] Masa jabatan Khalifah Umar bin Khattab
berakhir dengan meninggalnya beliau akibat percobaan pembunuhan yang dilakukan
tehadapnya. Sejumlah musuh-musuh Islam yang terdiri dari orang-orang Persia dan
Yahudi mengadakan komplotan untuk membunuh Umar bin Khattab. Pembunuhan itu
dilakukan oleh seorang Nasrani yang bernama Fairuz alias Abu Lu’luah. Abu
Lu’luah adalah orang bangsa Persia, dia ditawan oleh tentara Islam di Nahawand,
dan kemudian menjadi hamba sahaya dari Mughirah bin Syu’bah.[48]
Percobaan pembunuhan yang
dilakukan oleh Fairuz terhadap Umar bin Khattab terjadi pada hari Rabu tanggal
4 Zulhijah tahun 23 Hijriyah.[49] Ketika itu Umar bin Khattab
hendak mulai melaksanakan shalat subuh berjamaah di masjid Madinah, dan seperti
biasanya Umar bin Khattab bertindak sebagai imam shalat. Tatkala hendak
bertakbiratul ihram, Fairuz yang berhasil menyelinap ke dalam masjid kemudian
menyerang Umar bin Khattab secara membabi-buta dengan sebilah pisau yang sudah
disiapkannya. Suasana shalat berjamaah pun berubah menjadi kekacauan. Ada yang
berupaya menyelamatkan Umar bin Khattab, ada juga yang berusaha menangkap
Fairuz yang berusaha melarikan diri. Setelah Fairuz merasa terdesak karena
dikepung oleh banyak orang, serta yakin dirinya akan dibunuh jika tertangkap,
Fairuz pun bunuh diri dengan pisau yang masih berada di genggamannya.
Setelah keadaan dapat terkendali
dan Umar bin Khattab yang terluka berlumuran darah sudah dibawa ke rumahnya
yang berdekatan dengan masjid, shalat subuh yang sempat terhenti karena adanya
serangan tiba-tiba itu akhirnya dilanjutkan dengan dipimpin oleh Abdurrahman
bin ‘Auf.
Umar bin Khattab menghembuskan
nafas yang terakhirnya pada hari Sabtu tanggal 1 Muharram tahun 23 H/644 M,
tepat tiga hari pasca penyerangan yang dilakukan Fairuz. Jasad beliau
dimakamkan di samping makam dua orang sahabat sekaligus panutan yang sangat
dicintainya, yaitu Rasulullah SAW dan Abu Bakar. Upacara pemakaman dilakukan
oleh Suhaib, Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad
bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin ‘Auf.[50]
5. Suksesi
Kekhalifahan pasca Umar bin Khattab Wafat
Sebelum Umar bin Khattab
berpulang ke Rahmatullah, beliau membentuk suatu tim formatur yang akan
memusyawarahkan seputar suksesi kekhalifahan sepeninggal dirinya. Tim tersebut
terdiri dari Ali binAbi Thalib, Utsman bin affan, Thalhah bin Ubaidillah,
Zubair bin al-Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin ‘Auf.[51] Namun ketika itu salah satu dari
keenam sahabat tersebut, yaitu Thalhah bin Ubaidillah sedang berada di luar
kota.
Setelah Umar bin Khattab wafat,
kelima orang sahabat (minus Thalhah bin Ubaidillah) yang sudah ditunjuk sebagai
tim formatur itu segera bermusyawarah untuk memilih salah seorang di antara
mereka sebagai khalifah selanjutnya. Tugas itu benar-benar sulit karena nama
Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan harus diperhatikan. Namun, pada waktu
pemilihan dilakukan, ternyata Ali bin Abi Thalib memilih Utsman bin Affan, dan
sebaliknya Utsman bin Affan memilih Ali bin Abi Thalib. Sa’ad bin Abi Waqqash
memilih anak saudaranya, yaitu Utsman bin Affan. Adapun Abdurrahman bin Auf dan
Zubair bin al-awwam, tidak diketahui siapa yang dipilih oleh mereka.[52] Tetapi belakangan diketahui
bahwa Abdurrahman bin Auf memilih Utsman bin Affan, setelah terlebih dahulu
meminta pandangan dari penduduk Madinah.[53]
Hasil musyawarah kelima orang tim
formatur akhirnya memutuskan untuk mengangkat Utsman bin Affan sebagai Khalifah
selanjutnya. Setelah Utsman dibai’at menjadi Khalifah, kaum Muslimin pun
memberikan sumpah setia kepadanya, dan dengan demikian menyetujui pemilihan
tersebut. Adapun orang keenam dari tim formatur yang tidak hadir pada saat
pemilihan, yaitu Thalhah bin Ubaidillah, setibanya di Madinah ia pun langsung
memberikan sumpah setia kepada Khalifah Utsman bin Affan. Maka dari saat itu
dimulailah pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Utsman bin Affan, yang
tentunya memiliki corak yang berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.
E.
Penutup
Selama
sepuluh tahun pemerintahan Umar bin khattab (13 H-23 H/634 M-644 M), sebagian
besar ditandai oleh penaklukan-penaklukan untuk melebarkan pengaruh Islam ke
luar Arab. Sejarah mencatat, Umar bin Khattab telah berhasil membebaskan
negeri-negeri jajahan Imperium Romawi dan Persia yang dimulai dari awal
pemerintahnnya, bahkan sejak pemerintahan sebelumnya. Segala tindakan yang
dilakukan untuk menghadapi dua kekuatan adikuasa itu, jelas bukan hanya
menyangkut kepentingan keagamaan saja, namun juga kepentingan politik.
Sebagaimana
Rasulullah SAW dan Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab juga sangat condong
menanamkan semangat demokrasi secara intensif di kalangan rakyat, di kalangan
para pemuka masyarakat, dan di kalangan para pejabat atau para administrator
pemerintahan. Ia selalu mengadakan musyawarah dengan rakyat untuk memecahkan
masalah-masalah umum dan kenegaraan yang dihadapi. Ia tidak bertindak sewenang-wenang
dan tidak juga memutuskan suatu urusan kecuali mengikutsertakan warga
negaranya, baik warga Negara muslim maupun non-muslim.
Umar bin
Khattab adalah profil seorang pemimpin yang sukses, mujtahid (ahli ijtihad)
yang ulung, dan sahabat Rasulullah SAW yang sejati. Kesuksesannya dalam
mengibarkan panji-panji Islam mengundang rasa kagum dari para sejarawan, baik
sejarawan Muslim ataupun sejarawan non-Muslim. Sehingga Umar bin Khattab
disebut-sebut sebagai salah seorang yang menentukan arah sejarah peradaban
Dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syalabi. (1990). Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Alih Bahasa
oleh Mukhtar Yahya, dari Judul Asli “Al-Tarikh Al-Islami wa Al-Hadharah
Al-Islamiyah”). Jakarta: Pustaka Al Husna.
Badri Yatim. (2004). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Dedi Supriyadi. (2008). Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka
Setia.
Endang Soetari. (2005). Ilmu
Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka.
Hamka. (2005). Sejarah Umat Islam. Singapura: Pustaka Nasional.
Jalaluddin al-Suyuthi. (1988). Tarikh al-Khulafa. Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Joesoef Sou’yb. (1979). Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin. Jakarta:
Bulan Bintang.
Muhammad Husain Haekal. (2009). Umar bin Khattab, (Alih Bahasa
oleh Ali Audah, dari Judul Asli “Al-Faruq ‘Umar”). Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa.
Musyrifah Sunanto. (2007). Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Islam. Jakarta: Kencana.
Syed Mahmudunnasir. (1991). Islam: Konsepsi dan Sejarahnya. (Alih
Bahasa oleh Adang Affandi, dari Judul Asli “Islam: It’s Consepts &
History”). Bandung: Remaja Rosdakarya.
Syibli Nu’mani. (1981). Umar yang Agung. (Alih Bahasa oleh
Karsidjo Djojosuwarno, dari Judul Asli “Al-Farooq, Life of Omar the Great,
Second Caliph of Islam”). Bandung: Pustaka.
[1] Syed
Mahmudunnasir, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, dari “Islam: It’s
Concepts & History”, terjemahan oleh Adang Affandi, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1991), hlm. 16.
[2] Syed
Mahmudunnasir, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, dari “Islam: It’s
Concepts & History”, terjemahan oleh Adang Affandi, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1991), hlm. 185.
[3] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004),
hlm. 37.
[4] Dedi
Supriyadi (2008: 77), mengutip pendapat Michael Hart, Seratus Tokoh yang
Paling Berpengaruh dalam Sejarah, dari “The 100 a Ranking of the most
Influence Persons of History”, terjemahan oleh Mahbub Junaidi, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1986).
[5] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta:
Kencana, 2007), hlm. 31.
[6] Hamka,
Sejarah Umat Islam, (Singapura: Pustaka Nasional, 2005), hlm. 210-211.
[7] Hamka,
Sejarah Umat Islam, (Singapura: Pustaka Nasional, 2005), hlm. 211.
[8] Joesoef
Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur
Rasyidin, (Jakarta: Bulan Binatang, 1979), hlm. 315.
[9]
Jalaluddin al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmayyah, 1988), hlm. 86.
[10] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: Ichtiar BaruVan Hoeve, 1997), hlm. 124.
[11] Hamka,
Sejarah Umat Islam, (Singapura: Pustaka Nasional, 2005), hlm. 211.
[12] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hlm. 124.
[13] Jalaluddin
al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmayyah, 1988),
hlm. 86.
[14] Jalaluddin
al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmayyah, 1988),
hlm. 87.
[15]Jalaluddin
al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmayyah, 1988),
hlm. 86.
[16] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: Ichtiar BaruVan Hoeve, 1997), hlm. 125.
[17] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: Ichtiar BaruVan Hoeve, 1997), hlm. 125.
[18] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: Ichtiar BaruVan Hoeve, 1997), hlm. 125.
[19]
Jalaluddin al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmayyah, 1988),
hlm. 86.
[20] Endang
Soetari, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan
Dirayah, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2005), hlm. 224.
[21] Ahmad
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, dari “Al-Tarikh Al-Islamy wa
Al-Hadharah Al-Islamiyah”, terjemahan oleh Mukhtar Yahya, (Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1990), hlm. 236.
[22] Syed
Mahmudunnasir, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, dari “Islam: It’s
Concepts & History”, terjemahan oleh Adang Affandi, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1991), hlm. 128.
[23]
Jalaluddin al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1988), hlm. 91.
[24] Joesoef
Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), hlm. 316.
[25]
Jalaluddin al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1988), hlm. 92.
[26] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997), hlm. 125.
[27] Muhammad
Husain Haekal, Umar bin Khattab, dari “Al-Faruq ‘Umar”,
terjemahan oleh Ali Audah, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2009), hlm. 594.
[28] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997), hlm. 126.
[29] Syed
Mahmudunnasir, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, dari “Islam: It’s
Concepts & History”, terjemahan oleh Adang Affandi, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1991), hlm. 170.
[30] Joesoef
Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), hlm. 127.
[31] Muhammad
Husain Haekal (2009: 103) menyebutkan bahwa dalam Tarikh Damsyiq, Ibnu
Asakir mengutip dua sumber mengenai siapa yang memulai penyebutan “Amir
al-mu’minin” ini. Sumber pertama mengatakan bahwa al-Mughirah bin Syu’bah
yang pertama kali memanggilnya dengan gelar ini. Sumber kedua mengatakan bahwa
gelar tersebut berasal dari Adi bin hatim al-Tha’I dan Labid bin Rabi’ah.
[32] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997), hlm. 126.
[33] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997), hlm. 126.
[34] Joesoef
Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), hlm. 318.
[35] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
(Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 22
[36] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
(Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 23.
[37] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
(Jakarta: Kencana, 2007), hlm.
31
[38] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004),
hlm. 37.
[39] Syibli
Nu’mani, Umar yang Agung, dari “Al-Farooq, Life of Omar the Great,
Second Caliph of Islam”, terjemahan oleh Karsidjo Djojosuwarno, (Bandung:
Pustaka, 1981), hlm. 253-254.
[40] Syibli
Nu’mani, Umar yang Agung, dari “Al-Farooq, Life of Omar the Great,
Second Caliph of Islam”, terjemahan oleh Karsidjo Djojosuwarno, (Bandung:
Pustaka, 1981), hlm. 267.
[41]
Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004),
hlm. 37.
[42]
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka setia, 2008),
hlm. 82.
[43]
Ahmad
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, dari “Al-Tarikh Al-Islamy wa
Al-Hadharah Al-Islamiyah”, terjemahan oleh Mukhtar Yahya, (Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1990), hlm. 263.
[44]
Syed
Mahmudunnasir, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, dari “Islam: It’s
Concepts & History”, terjemahan oleh Adang Affandi, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1991), hlm. 173.
[45]
Syed
Mahmudunnasir, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, dari “Islam: It’s
Concepts & History”, terjemahan oleh Adang Affandi, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1991), hlm. 173.
[46]
Syed
Mahmudunnasir, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, dari “Islam: It’s
Concepts & History”, terjemahan oleh Adang Affandi, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1991), hlm. 185.
[47]
Joesoef
Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),
hlm. 311.
[48]
Ahmad
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, dari “Al-Tarikh Al-Islamy wa
Al-Hadharah Al-Islamiyah”, terjemahan oleh Mukhtar Yahya, (Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1990), hlm. 264.
[49]
Muhammad
Husain Haekal, Umar bin Khattab, dari “Al-Faruq ‘Umar”,
terjemahan oleh Ali Audah, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2009), hlm. 719.
[50]
Syibli
Nu’mani, Umar yang Agung, dari “Al-Farooq, Life of Omar the Great,
Second Caliph of Islam”, terjemahan oleh Karsidjo Djojosuwarno, (Bandung:
Pustaka, 1981), hlm. 249.
[51]
Hamka,
Sejarah Umat Islam, (Singapura: Pustaka Nasional, 2005), hlm. 223.
[52]
Syed
Mahmudunnasir, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, dari “Islam: It’s
Concepts & History”, terjemahan oleh Adang Affandi, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1991), hlm. 186.
[53]
Joesoef
Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), hlm. 322.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar