Pendahuluan
Ketika mula-mula Nabi
bangkit menyerukan Islam, semenanjung Arab terbagi diantara kabilah-kabilah
yang masing-masing berdiri sendiri, dengan tingkat perkotaan dan pedalaman yang
berbeda, dengan penduduk yang selalu dalam konflik dan pertentangan terus menerus.
Sebagian besar daerah itu berada di bawah kekuasaan Persia atau pengaruh
Romawi. Sesudah Rasulullah berpulang ke rahmatullah, setelah dua puluh tiga
tahun kerasulannya,[1] pengaruh
Persia dan Romawi mulai menyusut. Orang Arab berbondong-bondong masuk agama
Allah. Kemudian Abu Bakar terpilih sebagai pengganti dan ia memerangi orang
Arab yang murtad dari Islam sampai mereka kembali kepada Islam. Setelah itu
kesatuan agama dan politik di Semenanjung kembali lagi tertib. Ketika itulah
Abu Bakar mulai merintis kedaulatan Islam dengan menyerbu Irak dan Syam. Tetapi
ajal tak dapat di tunda untuk menyelesaikan rencana yang sudah dimuainya.
Setelah itu Abu Bakar digantikan oleh Umar dan ia meneruskan kebijakan
Abu Bakar. Pasukan kaum Muslimin
menerobos ke kawasan kedua imperium Persia dan Romawi. Imperium Persia dapat
ditumpas dan daerah terpenting kekuasaan Romawi telah pula berhasil di
bebaskan. Kedaulatan Arab telah merangkul bangsa-bangsa dengan berbagai unsur
budaya yang sangat beragam, karena setiap golongan dari segi bahasa, ras,
keyakinan, peradaban, ingkungan social dan ekonominya satu sama lain tidak
sama. Tetapi begitu Islam tersebar ke tengah-tengah mereka. Agama baru itu
telah menjadi perekat yang mempersatukan mereka. Juga kabilah-kabilah Arab itu
telah berhasil mewarnai negeri-negeri yang dibebaskan dengan warna Arab.
Berdirinya kedaulatan Islam di masa Umar selesai dengan terbunuhnya Umar
oleh seorang Persia yang bernama Abu Lu'luah.
Utsman bin Affan (23-25 H/644-656 M)
A.
Nasab dan Kehidupannya
Dia bernama Utsman bin Affan bin Abi Ash bin Umayyah bin Abdu Syams. Ibunya
adalah Ardy binti Kuraiz bin Rabiah bin Hubaib bin Abdu Syams. Abdu Syams
adalah putra Abdi Manaf, bapak Abdul Muthalib kakek Nabi saw. Nenek Utsman r.a
dari ayah adalah Ummi Baidha' binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah saw[2]. Dia
berasal dari Bani Umayyah dan dari kalangan terpandang ditengah mereka. Utsman
dikenal sebagai seorang pedagang yang dermawan dan murah hati. Dia salah
seorang yang paling kaya di masa sebelum Islam dan setelah Islam.
B.
Masuk Islam dan Keutamaannya
Dia masuk Islam berkat upaya Abu Bakar. Utsman adalah salah seorang yang
masuk Islam di masa dakwah awal Rasulullah saw, dan salah seorang dari sepuluh
orang yang pertama kali masuk Islam. Utsman dikenal memiliki dua sifat utama
yang berbeda dengan sahabat yang lain
1.
Rasa Malu. Tidak
ada seorangpun yang memiliki rasa malu yang emikian kuat sebagimana yang
dimiliki Utsman. Sampai-sampai Nabi malu padanya dan bersabda dalam hadits
riwayat Muslim,"tidakkah engkau malu pada seorang lelaki dimana malaikat
pun sangat malu padanya."
2.
Pemurah. Tidak
ada seorangpun dari kalangan Quraisy yang memiliki sifat pemurah melebihi
dirinya.
Utsman menikah dengan dua putri Rasulullah, Ruqayyah dan Ummu Kaltsum. Oleh
sebab itu "Dzu Nurain". Utsman adalah salah seorang dari sepuluh
orang yang mendapat jaminan akan masuk syurga dari Rasulullah. Dimasa
pemerintahan Abu Bakar dia dianggap sebagai orang kedua setelah Umar Ibnul
Khattab, sedang pada masa pemerintahan Umar dia di posisikan sebagai orang
kedua setelah Umar. Dengan demikian, bersatulah antara kelembutan Utsman dan
sikap keras Umar. Tapi walaupun ia mempunyai beberapa kelebihan, tetapi dalam
hal pemikiran kreatif tidak muncul. Kelemahlembutannya dipergunakan oleh
keluarga Bani Umayyah yang pernah memegang kekutan politik sebelum Islam untuk
meningkatkan dan mengembalikan kedudukannya sebagai peimpin kaum Quraisy pada
masa Islam. Peluang yang dimanfaatkan oleh Bani Umayyah untuk menduduki jabatan
penting menyebabkan timbulnya berbagai protes sikap oposisi yang dating hampir
dari seluruh daerah.
C.
Kisah Majelis
Syura dan Pelantikan Usman
Setelah Umar terbunuh, di negeri Arab sendiri timbul
suatu gejala, yang agaknya tak akan terjadi kalau tida karena berdirinya
kedaulatan Islam. Sejak Umar ditikan oleh Abu Lu'luah kaum Muslimin dicekam
rasa ketakutan khawatir akan nasib mereka kelak. Terpikir oleh mereka siapa
yang akan menggantikannya jika dengan takdir Allah Umar meninggal.Beberapa
orang ada yang membicarakanmasalah ini kepada Umar. Mereka meminta Umar
mencarikan calon pengganti.
Pada mulanya Umar masih ragi, dan ia berkata:
"kalaupun saya menunjuk seorang pengganti, karena dulu orang yang lebih
baik darai saya juga menunjuk seorang pengganti, atau kalaupun saya biarkan,
karena dulu orang yang lebih baik dari saya juga membiarkan." Tetapi
sesudah dipikirkan matang-matang, bahwa kalau dibiarkan begitu saja ia khawatir
keadaan akan menjadi kacau. Dalam
nerperang dengan Persi dan Romawi semua orang Arab sudah ikut serta sehingga
setiap kalbilah mengaku dirinya kaum Muhajirin dan Anshar, berhak memilih
khalifah, malah diantara mereka ada yang mengaku berhak mencalonkan pemimpinnya
sebagai khlifah. Jika Umar tidak memberikan pendapat, pengakuan itu kan sangat
membahayakan kedaulatan yangb baru tumbuh. Karenanya ia membentuk majelis syura
yang terdiri enam orang dengan tugas memilih diantara mereka seorang khalifah
sesudahnya. Keenam orang itu Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin
Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf dan Sa'ad bin Abi Waqash
Setelah menyebutkan nama-nama mereka ia berkata: "Tak ada orang yang lebih
berhak dalan hal ini daripada mereka itu;Rasulullah saw wafat sudah merasa puas
terhadap mereka. Siapapun Yang terpilih dialah khalifah sesudah saya."
Pilihan Umar atas ke enam tokoh itu luar biasa. Tak
seorangpun dintara mereka terdapat orang Ansor dari Madinah atau dari
kabiolah-kabilah arab yang lain. Semua dari kaum muhajirin dan dari kaum
Kuraisy. Sungguhpun begitu dari pihak Ansor atau orang-orang Arab yang dating ke Madinah sepulang menunaikan ibadah haji, tak
seorangpun ada yang marah, memprotes pilihan Umar itu. Keadaan mereka tetap
demikian sesudah Umar terbunuh samapai
khalifah penggantinya di baiat.
Mengapa Umar menyerahkan pemilihan khalifah kepada majlis
syura tanpa menunjuk nama tertentu dari keenam orang yang diangkatnya itu
dengan mengambil teladan dari Abu Bakar saat menunjuknya sebagai penggantinya?
Ada beberapa sumber menyebutkan bahwa Said bib Zaid bin
Amr berkata kepada Umar: "Kalau anda menunjuk seorang dari kalangan
Muslimin, orang yang sudah percaya kepada anda,"….dijawab oleh Umar:
"Saya sudah melihat sahabat-sahabat saya mempunyai ambisi yang
buruk!" Jawaban ini menunjukan bahwa dia khawatir, kalau dia menunjuk nama
tertentu, hal ini akan mendorong ambisi yang lain untuk bersaing. Jika terjadi
demikian maka tidak akan ada kesepakatan di kalangan muslimin, malah akan
timbul pertentangan dengan akibat yang diharapkan.[3]
Ada yang berpendapat bahwa Umar memang tidak melihat dari
keenam mereka itu seorang yang lebih baik dari yang lain. Ia tidak ingin
menanggung dosa musyawarah yang tidak
benar-benar memuaskan hatinya dihadapan Tuhan.
Tetapi kita masih mendapatkan penafsiran lain ats sikap
Umar itu, yakni ia tidak ingin memikulkan tanggung jawab kekhalifahan itu ke
atas pundak keenam orang tersebut, yang sudah dialaminya sendiri begitu berat
dan sangat melelahkan. Apapun yang
mendorong Umar tidak mau menunjuk pengganti dan ia membentuk Majlis Syura untuk
memilih khalifah diantara mereka, peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah itu
memang menunjukan bahwa pendapatnya itu benar.
Anggota-anggota Majlis Syura itu sudah mengadakan
pertemuan begitu mereka di tunjuk, tetapi mereka saling berbeda pendapat.
Bagaimana sengitnya perselisihan mereka, sampai-sampai Abu Thalhah al-Anshari
berkata: "Saya lebih ngeri melihat kalian saling mendorong daripada saling
bersaing." [4]
Ini menunjukan bahwa setelah kedaulatan Islam makin luas
kekhalifahan itu telah menjadi ajang persaingan yang mau diperebutkan. Masih
ada satu pandangan lagi yang menjurus pada perselisihan yang tajam, dan wajar
saja kalau hal itu sampai begitu keras. Ketika orang mau mencegah pencalonan
khalofah dari Banu Hasyim karena dikhawatirkan kenabian dan kekhalifahan hanya
berada dalam keluarga mereka, yang dengan demikian berarti juga kekuasaan
rohani dan kekuasaan duniawi. Sesudah itu tidak bolah lagi ada kabilah yang
berharap menempatin kedudukan khalifah, selain mereka. Kabilah-kabilah Arab
juga khawatir kekhalifahan akan berada di tangan Banu Umayah, sebab mereka
adalah suku Quraisy yang terbanyak jumlahnya dan yang terkuat. Kalau
kekhalifahan sudah ditangan mereka tak akan mudah untuk dilepaskan.
Banu Hasyim dan Banu Umayah berpendapat, dari pihak
mereka posisi kabilah-kabilah Arab telah dirugikan tidak pada tempatnya. Kedua
keluarga itu masing-masing berupaya mengungkirkan bahaya yang tidak adil itu
dengan cara menempatikekhalifahan dan mencari jalan supaya khalifah berada
diantara para keturunannya. Kaberadaan Usman dan Ali di Majlis Syura merupakan
suatu kesempatan untuk itu dan adalah salah satu keteledoran jika kesempatan
ini sampai hilang.
Tetapi persaingan lama Banu Hasyim dan Banu Umayyah
sangat menghambat pengumuman secara terbuka apa yang tersimpan dalam pikiran
pemimpin-pemimpin mereka. Ikhtiar Umar membentuk Majlis Syura itu membantu juga
segala yang masih tersimpan dalam hati mereka, kendati telah banyak juga
perbedaan pendapat dalam Majlis Syura yang terungkap dan apa yang akhirnya
terjadi.
Pihak Banu Umayyah tidak kurang ambisinya ingin agar
kekhalifahan berada di tangan mereka. Setelah tiba saatnya Umar akan di
kebumukan dan jenazahnya di bawa ke
masjid Nabawi ke mesjid Nabawi unutk di shalatkan, Usman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib tampil masing-masing ke dapan untuk memimpin shalat itu. Melihat
yang demikian Abdurrahman bin Auf berkata: "Inilah ambisi orang-orang yang
ingin memegang pimpinan. Kalian tentu tahu bahwa dia sudah meminta yang lain di
luar kalian. Suhaib[5], majulah
dan shalatkan!"[6]
Mendengar suara anggota Majlis Syura yang saling
berselisih pendapat dengan suara lantang Abu Thalhah al-Anshari masuk dan
berkata: "Saya lebih ngeri melihat kalian saling dorong daripada saling
bersaing. Saya tidak akan memperpanjang lebih dari tiga hariyang sudah
diperintahkan kepada kalian. Setelah itu saya akan tinggal dirumah dan akan
melihat apa yang kalian lakukan!"
Sungguhpun begitu perselisihan pendapat terus berlanjut
sehari penuh menurut satu sumber dan menurut sumber yang lain mengatakan dua
hari. Abdurrahman bun Auf khawatir perselisihan
itu akan makin memuncak dengan segala akibatnya yang tidak diharapkan,
maka katanya kepada kedua kelompok itu: "Siapa diantara kalian yang paling
utama akan ditampilkan untuk ku kukuhkan memegang pimpinan?". Mereka yang
hadir terkejut keheranan sambil melihat kepadanya. Kata-kata apa itu?! Mereka
bertengkar begitu sengit mau memperebutkan kekhalifahan. Bagaimana Abdurrahman
mengharapkan ada dari mereka yang mau mundur dari ambisinya supaya dapat di
ambil keputusan dalam satu atau dua hari ini . Dan dia sendiri tidak akan ikut
ambl bagian dalam pencalonan itu?!
Tetapi keheranan mereka tidak berlangsung lama.
Cepat-cepar Abdurrahman menyambungnya: "Saya menarik diri dari
pencalonan." Cepat-cepat pula Usman mengatakan: "Saya yang pertama
setuju." Sa'd dan Zubair juga berkata: "Kami setuju." Karena
Talhah tak ada di tempat. Tinggal lagi Ali bin Abi Thalib yang harus memberikan
pendapatnya, tetapi Ali tetap diam, tidak menyatakan setuju atau menolak.
Barangkali ia masih mengira tindakan Adurrahman ini suatu muslihat ingin
memberikan jalan untuk mengangkat semendanya, Usman. Ia diam sambil
berpikir-pikir muslihat apa yang akan digunakan. Tetapi Abdurrahman tidak
memberi waktu lama-lama untuk memberikan pendapatnya, malah ia bertanya:
"Abu al-Hasan, bagaimana pendapat anda?" Ali menyatakan kesangsiannya
atas tindakan Ibn Auf itu. Berjanjilah Anda," kata Ali, " Bahwa anda
akan mendahulukan kebenaran, tidak memperturutkan hawa nafsu, tidak
mengutamakan kerabat dan mengabikan bimbingan umat." Cepat-cepat
Abdurrahman tanpa ragu: "Berjanjilah kalian bahwa kalian akan mendukung
saya dalam mengadakan perubahan dan menyetujui orang yang saya pilihkan. Saya
berjanji kepada Allah tidak akan mengutamakan kerabat dan tidak akan
mengabaikan bimbingan kepada umat kaum muslimin.
Gerangan apa yang mendorong Abdur-Rahman menempuh cara
ini?! Dia sudah tahu, banyak kaum muslimin yang mencalonkannya untuk
kekhalifahan, dan orang-orang Arab merasa puas dan senang sekali karena dia
juga termasuk orang yang mula-mula dalam Islam, dan kekhalifahannya tidak lagi
pada Banu Hasyim dan Banu Umayyah. Benarkah ia tidak ingin menduduki
kekhalifahan sejak Umar menyatakan keinginannya untuk memberikan kepercayaan
kepadanya? Kalau begitu, mengapa sebelum ia duduk dalam Majlis Syura, dan
mengapa tidak dari semula ia menghindari ikut serta dalam majlis itu? Para
sejarawan muslim berpendapat bahwa dia tidak akan menolakm ikut bersama-sama
dengan mereka, yang ketika Rasulullah wafat ia senang hati kepada mereka, dan
bahwa dia menampik kekhalifahan itu tidak sulit untuk di identifikasi,
sementara ia berada diantara mereka yang dipilih oleh Umar.
Ini memang benar Beberapa orientalis berpendapat bahwa ia
melepaskan diri dari pencalonan dan pengangkatan sebagai khalifah untuk
kemudian diberikan kepada semendanya, Usman. Untuk itu mereka berargumne kepada
kata-kata Ali pada pamannya, Abbas: " Abdur-Rahman adalah semenda Usman,
mereka tidak akan berbeda pendapat. Mereka akan saling mengangkat satu sama
lain.[7]
Agaknya Abdur-Rahman sudah tahu bahwa Usman dan Ali adalh
calon utama yang harus bersaing. Karenanya ia berusaha untuk membatasi
pencalonan itu. Langkah pertama dalam pencalonan itu adalah mengajak Ali
berbicara empat mata. "Anda akan berkata: " kata Abdur-Rahman,
"Bahwa dalam hal ini anda lebih berhak dimasukkan dalam pencalonan
daripada mereka karena kekerabatan anda, karena anda sudah lebih dulu dalam
Islam serta jasa anda dalam agama. Memang. Tetapi bagaimana seandainya anda
terlewatkan dan dalam hal ini anda tidak terpilih, siapa diantara mereka menurut
hemat anda yang lebih berhak?" Dijawab oleh Ali: "Usman!"
Kemudian ia mengajak Usman berbicara empat mata, dan katanya: "Anda akan
selalu mengatakan 'Saya tetua Banu Abdu Manaf, menantu Rasulullah saw,
bersepupu pula yang mula-mula dalam Islam dan juga berjasa, mengapa akan
dijauhkan, tetapi mengapa dalam hal ini saya akan dilewatkan juga dan anda
tidak terpilih, siapa diantara mereka menurut hemat anda yang lebih
berhak?" Dijawab oleh Usman: "Ali!"
Sebelum itu ia sudah berbicara dengan semua anggota Majlis
Syura dan dimintanya mereka member kuasa kepada tiga orang diantara mereka yang
berhak memegang pimpinan. Maka Zubair memberikan haknya kapada Ali, Sa'd
memberi kuasa kepada Abdur-Rahman dan hak Thalhah diberikan kepada Usman.
Tetapi karena Abdur-Rahman sudah mengundurkan diri, maka pencalonan itu
dibatasinya hanya pada Ali dan Usman. Hak memilih salah seorang dari keduanya
itu kini berada di tangan Abdur-Rahman.
Kalangan sejarawan sependapat bahwa konsultasi-konsultasi
Abdur-Rahman telah memperlihatkan banyaknya semacam kesepakatan di barisan
Usman, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai alasan-alasan yang menyebabkan
kesepakatan itu. Sebagian mereka mengatakan bahwa orang cenderung kepada tokoh
yang tidak sekeras Umar, yang dalam hidupnya telh menjauhkan dari kehidupan
duniawi dan menjauhkan orang dari yang demikian. Dalam hal ini Usmanlah
orangnya. Bukan Ali. Karena mereka tidak menghendaki Ali, karena khawatir Ali
akan membuat beban kepada mereka seperti yang dilakukan Umar.
Sementara itu Banu Hasyim dan Banu Umayyah berkampanye
untuk pihaknya masing-masing. Karena Banu Umayyah lebih banyak jumlah orangnya,
lebih kaya dan lebih dermawan, propaganda mereka dapat menekan propaganda Banu
Hasyim, dan sebagian besar mereka condong kepada Usman. Kalau ini benar,
barangkali propaganda Banu Umayyah itu dasarnya adalah bahwa jika kekuasaan di
tangan mereka, orang akan lebih terbuka dan lebih bebas menikmati segala harta
dan kekayaan hasil rampasan perang, tidak akan merasakan tekanan seperti pada
Umar. Ada sebagian yang berpendapat bahwa orang melihat usia Usman sudah
mendekati tujuh puluh enam tahun atau lebih sementara Ali belum mencapai usia
enam puluh tahun. Juga mereka mengatakan tentang persahabatan Usman dengan
Rasulullah serta posisinya. Selain itu mereka berpendapat kekhalifahnnya tidak
tertutup buat Ali untuk menggantikannya sebagai khalifah sesudahnya. Rasa
kasihan mereka melihat umurnya yang sudah lanjut, penghargaan mereka pada masa
alunya, membuat mereka lebih cenderung kepada Usman dan mau memilihnya.
Manapun yang benar dari semua alas an itu suara mayoritas
yang menyerupai consensus itu jelas ada di pihak Usman. Kendatipun begitu Abdurrahman bin Auf masih khawatir
pembela-pembela Ali akan mencurigainya
jika hasil ini sudah di umumkan. Ia pergi ke rumah kemenakannya, Miswar
bin Makramah dan di bangunkannya ia dari tidurnya…yang ketika itu sudah larut
malam…pada malam terakhir batas waktu yang sudah ditentukan oleh Umar untuk
memilih seorang amirul mukminin. Dimintanya ia memanggil Usman dan Ali. Setelah
kemudian keduanya datang ia berkata kepada mereka: "Saya sudah menanyakan
orang banyak, tetapi saya melihat ada orang yang membeda-bedakan kalian berdua
. "Kemudian ia meminta janji mereka masing-masing: yang terpilih agar
berlaku adil, yang tidak terpilih supaya tetap taat dan patuh.
Subuh itu ia mengajak mereka berdua setelah terdengar
azan untuk shalat. Ketika masjid telah penuh sesak, ia naik ke imbar dan berdoa
panjang sekali. Setelah itu katanya: "Saudara-saudara, orang-orang di
daerah menginginkan, begitu mereka datang ke daerah masing-masing sudah tahu
siapa pemimpin mereka.
Abdur-Rahman masih di tempat duduknya di mimbar dengan
tanda-tanda kesungguhan Nampak di wajahnya, dan muslimin yang mengelilinya
sudah memenuhi masjid. Ia sudah bertekad agar Usman yang menjadi khalifah dan
akan mengajak orang membaiatnya. Tetapi adakah hadirin mau segera memenuhi
seruannya itu? Ataukah mereka masih terpecah dan masih beradu argumen yang
berakibat bencana besar. Kota Madinah akan menjadi ajang kerusuhan yang besar
dengan bahaya uang lebih meluas. Kebanyakan orang hanya menjadi budak nafsu dan
mengejar kepentingannya sendiri. Demi memperjuangkan semua itu mereka mau
mengorbankan keamanan dan keselamatan Negara. Tetapi sikap ragu dalam
pengangkatan khalifah itu tidak akan dapat mencegah bahaya dan tidak akan menghindarkan kaum
muslimin dari kekacauan, malah akan makin memperkuat timbulnya fitnah. Oleh
karena itu Abdur-Rahman memanggil Ali dan memegang tangannya seraya berkata:
"Bersediakah anda saya baiat untuk tetap berpegang pada kitabullah dan sunah Rasulullah serta teladan kedua
penggantinya? "Usman menjawab: Ya, demi Allah! Abdur-Rahman mengangkat
mukanya ke langit-langit masjid, sambil
memegang tangan Usman ia berkata tiga kali: "Dengarkanlah dan saksikanlah!"
dilanjutkan dengan katanya: "Saya sudah meepaskan beban yang dipikulkan di
bahu saya dan saya letakkan di bahu Usman!" Setelah itu ia membaiat Usman,
orang-orang yang di dalam masjidpun membaiat Usman.
Semua orang sepakat bahwa orang beramai-ramai membaiat
khalifah tua ini. Tak ada yang menentang dan tak ada yang ketinggalan. Adakah
itu berarti karena kecintaan mereka kepada Usman atau karena gambira sudah
terlepas dari satu bahaya yang mengancam kehidupan Negara yang harus di
selesaikan? Keenam tokoh tersebut adalah orang-orang yang sangat mereka
hormati. Malah sesudah pelantikan Usman, ada sumber yang dikaitkan kepada Ali
bahwa dia berkata: " Orang melihat Kuraisy dan Kuraisy melihat keluarganya
dengan mengatkan: Kalau Banu Hsyim sudah diangkat untuk kalian, kalian tidak
akan pernah terlepas dari mereka, juga Kuraisy yang lain tidak akan saling
bergantian diantara kalian." Itu sebabnya ketika Abdur-Rahman bin Auf
meningalkan Ali bin Abi Thalib, tak ada orang yang marah, malah orang menerima
Usman sebagai khalifah dengan senang hati dan puas.
Sumber-sumber mengenai sikap Ali bin Abi Thalib terhadap
Usman ini masih saling berbeda, yang
sukar sekali untuk dapat mengukuhkan salah satunya Ibnu Sa'd dengan sanadnya
menyebutkan, bahwa orang pertama yang membaiat Usman adalah Abdur-Rahman bin
Auf, kemudian Ali bin Abi Thalib. Dengan sanad lain ia menuturkan, bahwa Ali
adalah orang yang pertama membaiat Usman kemudian berturut-turut yang lain
membaiatnya.[8]
Tetapi ada yang berpendapat bahwa sesudah orang berdatangan
membaiat Usman yang sudah di baiat oleh Abdur-Rahman, Ali masih maju mujndur.
Maka kata Abdur-Rahman:
إِنَّ الَّذِينَ
يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ
عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً ﴿١٠﴾
010. Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada
kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas
tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia
melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati
janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.(Quran surat
Al-Fath, 48:10)
Ada dua masalah yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
Pertama, Ali dan Banu Hasyim tidak puas atas pemabiatan Usman dengan alas an
karena mereka masih keluarga Nabi. Kalau sekali pimpinan kekhalifahan
diserahkan kepada Banu Umayyah, maka tidak akan pernah keluar dari mereka.
Kedua, mayoritas Muslimin sudah merasa lega dengan
pembaiatan Usman dan mereka menerima dengan senang hati dan puas. Ketika Usman
di baiat tidak ada dari mereka yang menyebutkan bahwa Usman dari Banu Umayyah,
atau menyebut-nyebut adanya permusuhan Banu Umayyah kepada Rasulullah atau
adanya persaingan lama terhadap Banu Hasyim, dan mereka masuk Islam sudah
ketinggalan, baru sesudah Mekkah membuka pintu karena sudah tidak mampu lagi
melakukan perlawanan terhadap muslimin. Tetapi semua mereka mengatakan, bahwa
khalifah Usman masuk Islam terlebih dahulu, serta pembelaannya di samping
Rasulullah dan hubungannya yang baik dengan kedua istrinya, Ruqayyah dan Um
Kulsum. Kemudian hijrahnya ke Abisinia dan Madinah dengan mengorbankan harta kekayaannya
demi membela agama Allah dan kaum muslimin.
Sejarah menyebutkan bahwa Thalhah bin Ubaidilah sampai ke
Madinah pagi hari saat pelantikan Usman itu. Ketika dia di undang untuk juga
membaiat dan bertanya" Sudahkah semua Kuraisy menerima dengan senang hati?
Di jawab: Ya. Ia pergi menemui Usman dan menanyanya: Semua orang sudah membaiat
Anda? Dijawab oleh Usman: Ya, kata Thalhah selanjutnya: Saya sudah puas. Saya
juga bersama mereka. Lalu ia pun membaiat. Usman selesai di baiat dalam suasana
optimis dan penuh harapan untuk masa depan. Sesudah semua acara usai mereka
pulang kembali ke daerah masing-masing, ke Irak, Persia, Syam dan Mesir. Dan
semua mereka mengharapkan semoga Allah dengan karunianya melimpahkan segala
kemudahan kepadanya.
Dengan demikian segalanya kembali seperti semula, dan
orangpun sudah dalam suasana kehidupan seperti biasanya. Sudah saatnya sekarang
Usman memikul tanggungjawab pemerintahan, mengemudikannya sesuai dengan
bawaannya yang lemah lembut, budi bahasanya yang halus dengan keimanan yang
sungguh-sungguh dan pengabdian yang semata-mata kebaikan, Ia akan menghadapi
situasi yang berbeda dengan situasi di masa Umar dan Abu Bakar, saat mereka
masing-masing memikul tanggung jawab kekhalifahan. Dalam menghadapi semua ini
memrerlukan warna kebijakan baru. Pada mulanya Usman memang jelas sekali
berhasil baik. Kemudian ia terhambat oleh usiannya yang sudah lanjut serta
peristiwa-peristiwa yang sudah tak mampu lagi di kendalikan.
E.
Masa pemerintahan Usman
Ketika
di baiat umur Usman hampir mencapai tujuh puluh tahun, Ia selalu mengenakan
pakaian yang bagus-bagus dan yang bermutu tinggi, karena memang dia orang kaya
dan hidupnya serba nyaman.
Dia sangat pemalu. Dalam sebuah hadis disebutkan, bahwa
Rasulullah saw berkata:
"Umatku yang benar-benar pemalu adalah Usman ."
Karena perasaan malu itu Usman takut berbicara dan ia
segan berdialog dan berdebat panjang-panjang. Kalau dia sudah mengambil
keputusan ia gigih dan tidak . mudah menyerah. Karena kemurahan rizki yang
melimpah yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya itulah, maka ia makin gigih
dalam pendapatnya.
Di zaman jahiliyah dan di masa Islam ia adalah saudagar
pakaian. Kafrena kejujuran dan sifat-sifatnya, menyebabkan perdagangannya maju
dan mendatangkan keuntungan.
Masa pemerintahan Usman paling lama dibanding dengan
khalifah yang lainnya. Yaitu 12 tahun; 24-36H./644-656M. Awal pemerintahan
Usman kira-kira 6 tahun penuh dengan prestasi.
Perluasan pemerintahan Islam telah mencapai Asia dan
Afrika, seperti daerah Heart, Kabul, Ghazni dan Asia Tengah juga Armenia dan
Tunisia, Chyprus, Rodes dari bagian yang tersisa dari Persia.. Dan berhasil
menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh orang Persia. Dalam bidang social
budaya Usman telah membangun bendungan besar untuk mencegah banjir dan mengatur
pembagian air ke kota, membangun jembatan, jalan, masjid, rumah penginapan para
tamu dalam berbagai bentuk serta memperluas masjid Nabi di Madinah.
Peperangan yang terjadi pada waktu itu adalah perang
Zatis Sawari "Perang Tiang Kapal", suatu peperangan di tengah
lautan yang belum pernah dilakukan oleh Nabi saw, khalifah Abu Bakar dan Umar.
Di sebut Zatis Sawari , karena pada perang tersebut dilakukan di laut
tengah dekat kota Iskandariyah antara tentara Romawi di bawah pimpinan Kaisar
Constantine dengan lascar kaum muslimin di bawah pimpinan Abdullah bin Abi
Sarah, umat Islam menagrahkan lebih kurang 200 kapal.
Visi dan misi khalifah Usman bin Affan dalam menjalankan
kekhalifahnnya, dapat dilihat dari isi pidato setelah Usman bin Affan dilantik
atau di baiat menjadi khalifah Negara madinah. Ia menyampaikan pidato
penerimaan jabatan sebagai berikut:
"Sesungguhnya kamu sekalian berada di negeri yang
tidak kekal dan dalam pemerintahan yang selalu berganti. Maka bersegeralah kamu
berbuat baik menurut kemampuan kamu untuk menyongsong waktu akhir kamu. Maka
sampailah waktunya untuk saya berkhidmat kepada kamu setiap saat. Ingatlah
sesungguhnya dunia ini diliputi kepalsuan maka janganlah kamu dipermainkan
kehidupan dunia dan janganlah kepalsuan mempermainkan kamu terhadap Allah.
Beriktibarlah kamu dengan orang yang lalu, kemudian bersungguh-sungguhlah dan
jangan melupakannya, karena sesungguhnya masa itu tidak akan melupakan kamu.
Dimanakah di dunia ini terdapat pemerintahan yang bertahan lama? Jauhkanlah
dunia sebagaimana Allah memerintahkannya. Tuntutlah akhirat sesungguhnya Allah
telah memberikannya sebagai tempat yang lebih baik bagi kamu. Allah
berfirman:"45. Dan
berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan
yang kami turunkan dari langit, Maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di
muka bumi, Kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh
angin. dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Q.S al-Kahfi 18:45)[9]
Pidato diatas menggambarkan dirinya sebagai sufi, dan
citra pemerinyahnnya bercorak agama. Dalam
pidato itu Usman mengingatkan beberapa hal penting:
1.
Agar umat Islam selalu berbuat baik sesuai kemampuan
sebagai bekal menghadapi hari kematian dan hari akhirat sebagai tempat yang
lebih baik yang disediakan oleh Allah;
2.
Agar umat Islam jangan terpedaya kemewahan kehidupan
dunia yang penuh kepalsuan sehingga membuat mereka lupa kepada Allah;
3.
Agar umat Islam
mau mengambil iktibar pelajaran masa lalu, mengambil yang baik dan menjauhkan
yang buruk;
4.
Sebagai khalifah
ia akan melaksanakan perintah al-Quran dan Sunnah Rasul;
5.
Disamping ia akan
meneruskan apa yang telah dilakukan pendahuluannya, juga akan membuat hal-hal
baru yang membawa kepada kebajikan;
Roda pemerintahan Usman ada dasarnya tidak berbeda dari
pendahulunya. Dalam pidato pembaiatannya, ia tegaskan akan meneruskan kebiasaan
yang dibuat pendahulunya. Pemegang kekuasaan tertinggi berada di tangan
khalifah; pemegang dan pelaksana kekuasaan eksekutuf. Pelaksanaan tugas
eksekutif di pusat di bantu oleh sekertaris Negara dan di jabat oleh Marwan bin
Hakam, anak paman khalifah. Jabatan ini sangat strategis, karena mempunyai
wewenang untuk mempengaruhi keputusan khalifah. Karena dalam praktiknya, Marwan
tidak hanya sebagai sekretaris Negara, tetapi juga sebagai penasihat pribadi
khalifah. Selain sekretaris Negara Khalifah Utsman juga dibantuoleh pejabat
pajak, pejabat kepolisian, pejabat keuangan atau Baitul Mal, seperti
masa pemerintahan Umar.
Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan daerah,
Khalifah Utsman mempercayakannya kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah
atau provinsi. Pada masa, wilayah kekuasaan negara Madinah dibagi menjadi sepuluh
provinsi:
1.
Nafi' bin Al-Haris Al-Khuza'I, Amir wilayah Mekah;
2.
Sufyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi, Amir wilayah Thaif;
3.
Ya'la bin Munabbih Halif Bani Naufal bin Abd Manaf, Amir
wilayah Shan'a;
4.
Abdullah bin Abi Rabiah, Amir wilayah Al-Janad;
5.
Utsman bin Abi Al-Ash Ats-Tsaqafi, Amir wilayah Bahrain;
6.
Al-mughirah bin Syu'bah Ats-Tsaqafi, Amir wilayah Kufah;
7.
Abu Musa Abdullah bin Qais Al-Asy'ari, Amir wilayah
Bashrah;
8.
Muawiyah bin Abi Sufyan, Amir wilayah Damaskus;
9.
Umar bin Sa'ad, Amir wilayah Himsh; dan
10. Amr bin Al-Ash
As-Sahami, Amir wilayah mesir;
Setiap Amir atau
gubernur adalah wakil khalifah di daerah untuk melaksanakan tugas administrasi
pemerintahan dan bertanggung jawab kepadanya. Seorang amir diangkat dan
diberhentikan oleh khalifah. Kedudukan gubernur disamping kepala pemerintahan
daerah, juga sebagai pemimpin agama, pemimpin ekspedisi militer, penetap
undang-undang, dan pemutus perkara, yang dibantu oleh katib (sekretaris),
pejabat pajak, pejabat keuangan (Baitul Mal), dan pejabat
kepolisian.
Adapun kekuasaan
legislatif dipegang oleh Dewan Penasehat atau Majelis Syura, tempat khalifah
mengadakan musywarah atau konsultasi dengan para sahabat Nabi terkemuka. Majlis
ini memberikan saran, usul yang dihadapi Negara. Akan tetapi keputusan terakhir
berada di tangan khalifah. Artinya berbagai peraturan dan kebijaksanaan, diluar
al-Quran dan al-Hadits, dibicarakan dalam majlis itu dan di putuskan oleh
khalifah atas perstujuan anggota majlis. Dengan demikian majlis syura diketuai
oleh seorang khalifah.
Jadi kalau Majlis Syura ini disebut sebagai lembaga legislatif, ia tidak
sama dengan lembaga legislatif sekarang yang memiliki ketua sendiri.
Bagaimanapun dengan adanya majlis Syura telah ada pendelegasian kekuasaan dari
khalifah untuk melahirkan berbagai peraturan dan kebijaksanaan. Dari fungsinya
ia dapat dikatakan sebagai lembaga legislatif untuk zamannya.[11]
F. Kondisi Sosial dan Kebijakan Politik Usman
Dalam enam tahun pertama pemerintahan Usman, segala
sesuatunya dianggap berjalan dengan baik. Tetapi menjelang enam tahun kemudian
kondisi Negara mengalami kegoncangan. Kehidupn social politik semakin tidak
stabil, karena timbulnya konflik kultural dan structural. "Six good years
and six bad".[12]
Melihat tindakan politik yang dijalankan oleh Usman
banyak kaum muslimin yang meninggalkannya dan mengecam
tindakan-tindakannya,termasuk Abu Dzar al-Ghifari, Ammar bin Yasir dan Abdullah
bin Mas'ud ikut mengecam tindakan Usman. Situasi ini dimanfaatkan oleh Abdullah
bin Saba unutk memperkeruh suasana yang menimbulkan perpecahan di Basyrah,
Kuffah dan Mesir.[13]
Kebijakan politik yang dijalankan Usman terlalu banyak
memberikan peluang dab fasilitas kepada Bani Umayyah dan keluarga (kerabat)
unutk menduduki jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan "nepotisme yang kuat".[14]
Disamping itu panyalahgunaan baitul maal oleh para pembantunya dan kemudahan
unutk mendapatkan fasilitas pada pihak tertentu dan terlalu mempercayakan
urusan Negara kepada kerabat-kerabatnya. Semua itu telah memperuncing garis
pemisah antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah.
Usman yang
membukukan firman Tuhan dan yang pada pemerintahannya menyaksikan penaklukan
Iran, Azerbeizan dan Armenia, merupakan sosok manusia yang sholeh dan bijak,
tapi ia terlalu lemah untuk menolak tuntutan kerabat dekatnya yang serakah. Contoh dari sikap nepotisme Usman
diantaranya;
1.
Saudara angkatnya Abdullah mantan juru tulis Nabi yang
pernah berusaha menyelewengkan firman Tuhan dan merupakan salah satu dari
sepuluh orang yang dikecam oleh Muhammad pada saat penaklukan Mekkah, ditunjuk
sebagai Gubernur Mesir;
2.
Saudara tirinya Walid bin Uqbah yang pernah menampar
wajah Muhammad dan mendapat kecamannya, diangkar sebagai gubernur Kufah;
3.
Saudara sepupunya Marwan bin Hakam yang kemudian menjadi
khalifah Umayyah ditugaskan sebagai pengawas diwan;
4.
Berbagai jabatan penting diisi oleh suku Umayyah dan
keluarga khalifah;
5.
Khalifah menerima hadiah dari gubernur atau para
pendukungnya termasuk hadiah berupa pembantu cantik dari Gubernur Bashrah;[15]
Tuduhan
nepotisme segera tersebar. Perasaan tidak puas muncul akibat sistem
administrasi yang tidak popular yang dimotori oleh tiga tokoh Kuraisy kandidat
khalifah: Ali, Thalhah dan Zubair.Protes dari para pendukung Ali merebak di
Kufah dan mesir.
Menanggapi
masalah nepotisme pada masa khalifah Usman adalah sesuatu yang sangat tidak
obyektif ketika pemakalah menilainya sebagai suatu kondisi negative pada zaman
Usman, karena sejauh ini pemakalah membaca dari literatur yang sangat terbatas
dan pengarang buku hanya menuliskan
kebanyakan sisi negatif dari keluarga dan kerabat usman tanpa mengimbanginya
dengan segi positif yang ada pada mereka.
Namun
menurut pemakalah selama keluarga dan kerabat mempunyai potensi dalam bidangnya
masing-masing, dapat memaksimalkan semua
potensi yang ada menuju sebuah profesionalisme. Bisa saja ketika masa Usman
masih banyak bidang-bidang yang di ketuai oleh orang-orang selain kerabat dan
keluarganya.
F.
Pengembangan Ilmu
Pengetahuan Islam pada Masa Usman
Karya besar monumental Khalifah Usman adalah membukukan mushaf al-Quran.
Pembukuan ini didasarkan atas alas an dan pertimbangan untuk mengakhiri
perbedaan bacaan dikalangan umat Islam yang di ketahui pada saat ekspedisi
militer ka Armenia dan Azerbeizan. Pembukuan ini dilaksanakan oleh suatu
kepanitiaan yang diketahui oleh Zais bin Tsabit.
G.
Akhir Hayat Usman bin Affan
Sikap keberpihakan Usman
terhadap keluarga Umayyah dan membiarkan kaum Anshar Madinah dalam posisi yang
kurang berpengaruh dan juga di buangnya Abu Dzar al-Ghifari ke kampong Rabadah,
telah melukai perasaan kaum muslmin dan membuat mereka tidak simpati lagi
kepada keluarga Umayyah. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh Abdullah bin Saba
untuk meniupkan angin permusuhan dan menyebarkan propaganda untuk menentang
Usman.
Sementara pemuka-pemuka Islam memperlihatkan kejujuran membela Usman,
Tetapi diantara keluarga Bani Umayyah ada yang melakukan kejahtan atas nama
Usman. Diantaranya kejahatan yang paling kejam yang dilakukan oleh pembantu
khalifah adalah adanya surat palsu yang berstempelkan Usman. Isi surat tersebut
memerintahkan kepada gubernur Mesir supaya menangkap dan membunuh Muhammad Ibnu Abi Bakar beserta para pengikutnya.
Setelah surat itu dokonformasikan kepada Usman, dia menolak. Dan ketika
diminta untuk menyerahkan orang yang memegang stempel dia pun menolaknya.
Akhirnya arus pemberontakan pun tidak dapat di bending yang menyebabkan Usman
terbunuh, oleh dua orang kebangsaan Mesir pada 17 Juni 656M (35H), ketika
khalifah sedang membaca al-Quran. Maka tamatlah riwayat perjalanan khalifah
ke-3 Usman bin Affan.
Pembunuhan Usman merupakan malapetaka besar yang menimpa umat Islam.
Dikalangan umat Islam terjadi benturan antara ajaran Islam yang diturunkan
melalui Muhammad yang berbangsa Arab (sehingga perwujudan Islam pada masa
awalnya bercorak Arab) dengan alam pikiran yang dipengaruhi kebudayaan
Helinesia dan Persi. Perbenturan itu membawa kegoncangan-kegoncangan dan
kericuhan dalam beberapa bidang sebagai berikut:
1.
Bidang Bahasa Arab
Pada masa
jahiliyyah, ketika bangsa Arab belum bergaul luas dengan bangsa lain, bahasa
mereka masih murni sehingga bangsawan Kuraisy yang ingin anaknya fasih
berbahasa Arab selalu mengirimkan anaknya ke dusun. Namun sesudah perluasan
Islam keluar jazirah Arab dan bangsa Arab bergaul luas dengan bangsa Persi,
Mesir, Syam, maka berbaurlah bahasa ini sehingga menimbulkan kekacauan dalam
tata bahasa.
2.
Bidang Akidah
Di luar
jazirah Arab terdapat agama Yahudi, Nasrani, Zoroaster dan lain-lain yang
akidahnya berbeda dengan akidah Islam. Di tambah lagi dengan agam Nasrani
yang sangat dipengaruhi oleh filasafat Helinesia. Bertemunya akidah Islam
dengan kaidah-kaidah lain di luar Islam menimbulkan benturan. Ini terlihat
dengan munculnya aliran mujassimah yang meyakini bahwa Allah memiliki jissim
seperti jissim (wujud fisik) manusia.
3.
Bidang politik
Politik Islam yang diajarkan Nabi adalah system
"musyawarah". Segala sesuatu yang berdasarkan musywarah termasuk
pemilihan kepala Negara. Di lauar jazirah Arab berlaku "monarki
absolut", yaitu segala sesuatu dalam
kekuasaan mutlak raja termasuk dalam penentuan calon pengganti raja.
Bergumullah dua system itu beberapa tahun sesudah pertemuannya. Pergumulan ini
menyebabkan umat Islam pecah menjadi beberapa firqah (kelompok).[16]
Dalam suasana yang demikian timbul suatu kelompok yang
netral yang bersikap moderat dan toleran karena mempunyai tujuan untuk tetap
menggalang solidaritas dan kesatuan umat. Untuk keperluan tersebut meeka
meninggalkan politik dan menyibukkan diri dlam pendalaman ilmu terutama untuk
mengkaji sunnnah Nabi dan menggunakannya untuk memahami dan mendalami agama
secara lebih luas, diantaranya adalah Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas.
Kelompok ini karena pengalamannya dalam mengahadapi berbagai golongan yang
mempunyai pandangan yang berbeda akhirnya tumbuh menjadi semacam kelompok yang
mau menghargai pendapat oranglain sehingga akhirnya dianggap sebagai kelompok
yang banyak dianut oleh mayoritas umat.
Di
samping itu ketekunan mereka terhadap kajian as-Sunnah menyebabkan as-Sunnah
mendapat perhatian umat yang pada akhirnya menyebabkan as-Sunnah terpelihara.
Tak syak lagi bahwa usaha mereka sungguh merupakan usaha yang membekas bagi
ilmu pengetahuan Islam pada khususnya dan agama Islam pada umumnya, karena
as-Sunnah merupakan sumber agama Islam kedua setelah al-Quran. Hanya
saja usaha ini masih bersifat hafalan dan bellumm dibukukan. Barulah di bukukan
oleh al-Zuhri atas perinyah khalifah Umar bin Abdul Aziz nanti. Walaupun
demikian, usaha mereka merupakan rintisan bagi kajian baru dalam sejarah
pemikiran secara rasional dalam bidang as-Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Wahid An-Najar, C. (1990) Al-Khulafa al-Rasyidin.
Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyat.
Ahmad Amin, C.
(1993) Islam dari Masa ke Masa. Bandung: PT Remaja Rosda Karya .
Ahmad al-Usairy, C.
(2000) Sejarah Islam (sejak zaman Nabi Adam-Abad XX).
Jakarta: AK Barmedia.
Badri Yatim, C.
(2003) Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Dedi Supriyadi, C.
(2008) Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Musyrifah Sunanto, C
(2007) . Sejarah Islam Klasik Perkembangan ilmu Pengetahuan Islam,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Muhammad Husain Haekal, C. (2005) Usman bin Affan antara
Kekhalifahan dan Kerajaan, dari " عثمان بن عفان ", terjemahan oleh Ali Audah,
Jakarta: Litera AntarNusa.
M.A.
Shaban, Islamic History, A new interpretation, Cambridge University
Press: 1971.
Philip
K. Hitti, Rujukan Induk dan Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam, dari "History of The
Arabs", terjemahan oleh R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta
Suyuti Pulungan, C.
(1994) Fiqh Siyasah Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran. Jakarta:
Rajawali Press.
Salabi, C.
(1997) Sejarah Peradaban Islam, al-Husna Dikra.
Syed
Mahmudunnasir, C. (1981) Islam Its
Concept and History, New Delhi 10 002 (India), Kitab Bhavan.
Qadhi Habiburrahman,C. (2008) 10 Tokoh Islam yang dijamin masuk syurga, (Yogyakarta:
Citra Risalah, 2008), cet. Ke-1 h. 103
[1]
Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan antara
Kekhalifahan dan Kerajaan, dari " عثمان بن عفان ", terjemahan oleh Ali Audah, Jakarta:
Litera AntarNusa, h. 1
[2]
Qadhi Habiburrahman, 10 Tokoh Islam
yang dijamin masuk syurga, (Yogyakarta: Citra Risalah, 2008), cet. Ke-1 h. 103
[3]
Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan antara
Kekhalifahan dan Kerajaan, dari " عثمان بن عفان ", terjemahan oleh Ali Audah, Jakarta:
Litera AntarNusa, h. 5
[4] Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan antara
Kekhalifahan dan Kerajaan, dari " عثمان بن عفان ", terjemahan oleh Ali Audah, Jakarta:
Litera AntarNusa, h. 21
[5] Suhaib adalah seorang budak asal Romawi yang oelh
Rasulullah di tebus dengan uangnya sendiri
[6] Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan antara
Kekhalifahan dan Kerajaan, dari " عثمان بن عفان ", terjemahan oleh Ali Audah, Jakarta:
Litera AntarNusa, h. 23
[7] Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan antara
Kekhalifahan dan Kerajaan, dari " عثمان بن عفان ", terjemahan oleh Ali Audah, Jakarta:
Litera AntarNusa, h. 25
[8] Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan antara
Kekhalifahan dan Kerajaan, dari " عثمان بن عفان ", terjemahan oleh Ali Audah, Jakarta:
Litera AntarNusa, h. 29
[9]
Abd al-Wahid An-Najar Al-Khulafa al-Rasyidin. Beirut: Dar al-Kutub
Al-Ilmiyat, 1990. H.247-248.
[10]
Suyuti Pulungan. Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Cet.
I. Jakarta: Rajawali Press. 1994 h. 142
[11] .
Dedi Supriyadi. Sejarah Peradaban Islam, Bandung:Cet 10. Pustaka Setia.
2008 h.92
[12] .
M.A. Shaban, Islamic History, A new interpretation, Cambridge University
Press: 1971. H. 63
[13] . Salabi, Sejarah Peradaban Islam,
Cet . 9, al-Husna Dikra, 1977 h.277
[14] . Salabi, Sejarah Peradaban Islam,
Cet . 9, al-Husna Dikra, 1977 h.66
[15] . Philip K. Hitti, Rujukan Induk dan Paling
Otoritatif tentang Sejarah Peradaban
Islam, dari "History of The Arabs", terjemahan oleh R. Cecep Lukman Yasin, Cet I, Jakarta: ,
h. 220
[16] . Musyrifah Sunanto . Sejarah Islam
Klasik Perkembangan ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta:Cet 3. Kencana
Prenada Media Group. 2007 h.33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar