A. Awal Berdirinya Dinasti Bani Umayyah
Setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW, pemerintahan Islam dipegang oleh Abu Bakar as-Sidiq. Pada masa
itu, Bani Umayyah merasa bahwa kelas mereka di bawah kelas kaum Anshar dan
Muhajirin. Hal itu disebabkan, mereka masuk Islam pada gelombang terakhir.
Untuk memiliki kelas yang setingkat, mereka harus menunjukan perjuangan mereka
dalam perang membela Islam, dan pada saat itu Mu’awiyyah bin Abu Sufyan
berjasa karena keterlibatannya dalam Perang Riddah, untuk menumpas kaum murtad.
Selain itu, ketika Umar bin Khattab menjadi Khalifah, mereka juga dikirim ke
Suriah untuk berperang melawan Bizantium. Atas jasanya tersebut, Yazid bin Abu
Sufyan diangkat menjadi gubernur di sana.
Pada masa pemerintahan
Utsman bin Affan, Mu'awiyyah bin Abu Sufyan diangkat menjadi gubernur di Suriah
menggantikan saudaranya. Bani Umayyah juga mendapatkan ketetapan bahwa mereka
menjadi penguasa di sana, sebagaimana orang Quraisy mendapatkan kekuasaan di
Mekah. Hal itu juga disebabkan karena Utsman bin Affan adalah salah seorang
dari Bani Umayyah.
Masa pemerintahan Ali bin
Abi Talib menjadi awal perpecahan umat Islam. Hal ini disebabkan oleh kematian
Utsman bin Affan yang terbunuh pada suatu huru-hara. Mu'awiyyah bin Abu Sufyan
dari pihak Bani
Umayyah merasa tidak puas dengan kebijaksanaan Khalifah Ali bin Abi Talib dalam
menangani kasus pembunuhan Utsman bin Affan tersebut. Oleh karena itu, mereka
tidak mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Talib. Di samping itu, Ali bin Abi
Talib berselisih dengan Talhah, Zubair, dan Aisyah. Golongan ini merasa kecewa
dengan proses pemilihan Ali bin Abi Talib sebagai Khalifah.[1] Perselisihan ini memuncak
menjadi Perang Jamal. Dalam perang ini, Ali bin Abi Talib
berhasil mengalahkan Talhah, Zubair, dan Aisyah.
Setelah berakhirnya Perang
Jamal, perselisihan dengan pihak Mu'awiyyah bin Abu Sufyan akhirnya meletus
menjadi Perang Siffin yang terjadi di perbatasan antara
Suriah dan Iraq. Sekali lagi terjadi persaingan antara Bani Umayyah dan Bani
Hasyim. Dalam perang itu terjadi peristiwa Tahkim atau arbitrase. Akan tetapi, peristiwa ini
memunculkan satu golongan lagi, yaitu kaum Khawarij, yaitu orang yang keluar
dari barisan Ali karena kecewa atas
peristiwa tahkim tersebut. Sebelum persoalan dengan Mu'awiyah bin Abu Sufyan
selesai, Ali bin Abi Talib dibunuh oleh seorang dari kaum Khawarij pada tahun
661 M.
Meninggalnya Ali bin Abi
Talib membuat Mu'awiyah bin Abu Sufyan mengumumkan dirinya sebagai Khalifah
yang baru dengan pusat di Damaskus, Suriah. Akan tetapi Hasan bin Ali, putra
Ali bin Abi Talib tidak mau mengakuinya. Hal ini mulai menyulut pertentangan
dikalangan umat Islam. Oleh karena tidak ingin menyaksikan pertentangan sesama
umat Islam, akhirnya Hasan bin Ali membuat perjanjian damai dengan Mu'awiyyah
bin Abu Sufyan. Peristiwa penyatuan umat Islam ini dikenal dengan istilah ‘amul jama'ah yang terjadi pada tahun 41
H atau 661 M. Dengan demikian, berakhirlah apa yang disebut dengan masa
khulafaur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan baru dari dinasti Bani Umayyah.
Nama Daulah Umayyah itu sendiri
berasal dari nama Umayyah ibnu Abdi Syam ibnu Abdi Manaf, yaitu salah seorang
dari pemimpin Qurays di zaman Jahiliyah. Bani Umayyah merupakan keturunan
Umayyah, yang masih memiliki ikatan famili dengan para pendahulu Nabi. Naiknya Bani Umayyah ke puncak kekuasaan,
dimulai oleh Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan, salah seorang keturunan Bani Umayyah dan salah seorang sahabat
Nabi, dan ia menjadi bagian penting dalam setiap masa pemerintahan para
khulafa ar-rasyidun. Pada masa Ustman, Mu’awiyah diduga memiliki hubungan
yang kuat dengan Ustman, sehingga terjebak dengan praktik nepotisme dengan
Mu’awiyah. Bahkan kerusakan pemerintahan Ustman akibat nepotismenya kepada Bani
Umayyah, sehingga mendapatkan tantangan dari para pendukung Ali.
Pada 679 M, Mu’awiyah menunjuk putranya Yazīd untuk
menjadi penerusnya, serta memerintahkan berbagai utusan provinsi untuk datang
dan mengucapkan baiat. Ketika itulah ia memperkenalkan sistem pemerintahan
turun temurun yang setelah itu diikuti oleh dinasti-dinasti besar Islam termasuk
Dinasti Abasiyyah.[2]
Memasuki kekuasaan baru Mu’awiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah,
pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan
turun temurun). Kekhalifahan
Mu’awiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, dan tipu daya, tidak dengan
pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun-temurun
ini dimulai ketika Mu’awiyah mewajibkan
seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Mu’awiyah
bermaksud mencontoh monarci di Persia dan Bizantium. Meskipun Mu’awiyah tetap
menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari
kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut, dia menyebutnya Khalifah
Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah. Adapun
khalifah-khalifah besar Bani Umayyah yang pernah berkuasa adalah :
-
Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan (661M-680M)
-
Abd Al-Malik Ibn Marwan
(685M-705M)
-
Al-Walid Ibn Abd Malik (705M-715M)
-
Umar Ibn Abd Al-Aziz (717M-720M)
-
Hasyim Ibn Abd Al-Malik (724M-743M)
Kekuasaan dinasti Bani
Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun, selain dari daulah Bani Umayyah yang
berkuasa di Spanyol (756-1031) dan tidak mengakui kekuasaan Bani Abassiyah.
B. Perkembangan Masyarakat pada Masa Dinasti
Umayyah
1. Kondisi Sosial Politik
Dalam setiap suksesi kekuasaan memang tidak bisa dipisahkan dari masalah
pro dan kontra. Hal itu sangat lumrah terjadi dalam proses suksesi, apalagi
dalam konteks demokrasi. Ketika Ali terpilih menjadi Khalifah menggantikan
Utsman, ada kubu yang juga tidak puas dengan terpilihnya Ali, salah satunya
kubu Mu’awiyah yang sangat keras menjadi oposisi bagi kekuasaan Ali. Sejak
peristiwa tahkim terjadi, kubu Ali sendiri terbelah menjadi dua kelompok, yaitu
Syi’ah yang sangat loyal dan militan
tehadap Ali, dan kelompok Ali yang
menyatakan kekuasaan Ali kafir dan tidak mendukung kelompok Mu’awiyah.
Pada masa-masa awal kekuasaan Mu’awiyah, dua kelompok ini tetap menjadi
kekuatan yang seringkali memberikan perlawanan terhadap eksistensi kekuasaan
Mu’awiyah. Kondisi tersebut pada gilirannya memunculkan
sektarianisme yang bertendensi politis di atas yang mengakibatkan timbulnya perbedaan
pendapat dan pertentangan yang sangat dahsyat, bukan saja dalam masalah politik
(pemerintahan), tetapi juga dalam masalah keagamaan.
Kemenangan kubu Mu’awiyah merebut kekuasaan umat Islam, tentu saja menjadi
pukulan telak bagi kubu Syi’ah yang telah meyakini Ali sebagai pengganti resmi
Rasulullah sejak Rasulullah wafat. Oleh karena itu, kubu Ali tetap menjadi kelompok penentang kubu
Mu’awiyah. Teologi Syi’i sangat kuat mengikat komunitas Syi’ah untuk tetap berpihak pada Ali
dan berseberangan dengan dinasti Mu’awiyah. Mereka
tetap yakin bahwa kekuasaan umat Islam hanya menjadi hak Ali dan keturunannya,
sehingga membuat mereka tidak percaya terhadap para khalifah (pemimpin umat
Islam) dari luar garis keturunan Ali. Kalangan Syi’ah berpendapat bahwa
khalifah hanya bisa dipegang oleh keluarga Nabi, dan menurut mereka khalifah
menjadi hak Ali dan seluruh keturunan Ali.
Menjadi khalifah berarti memiliki tugas tidak hanya sebagai pemimpin
politik kekuasaan, tetapi juga sebagai pemimpin agama. Dalam kontelasi sejarah
umat Islam (terutama pada masa-masa khalifah), agama dan politik menjadi
sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Konflik politik yang terjadi secara
otomatis menjadi konflik agama yang
sangat mengikat.
Pasca Ali, terjadi tarik ulur
antara kubu Ali dengan Mu’awiyah terkait dengan pengganti Ali. Namun demikian,
tarik ulur tersebut akhirnya berakhir dengan kontrak kesepakatan antara Hasan
dengan Mu’awiyah. Isi kontrak tersebut menyatakan bahwa, Hasan akan mundur dari
jabatan Khalifah apabila Mu’wiyah mau melaksanakan beberapa syarat yang
diajukan. Syarat tersebut adalah sebagai berikut:
- Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap siapapun dari
penduduk Irak.
- Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan mereka.
- Agar pajak-pajak tanah negeri Ahwaz
diperuntukkan kepadanya dan diberikan dalam setiap tahun.
- Agar Mu’awiyah membayar kepada
saudaranya, yaitu Husen sebesar 2 juta dirham.
2. Perluasan Wilayah
Di zaman
Mu’awiyah, Tunisia dapat ditaklukan. Disebelah timur, Mu’awiyah dapat menguasai
daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota
Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Mu’awiyah kemudian
dilanjutkan oleh Khalifah Abd Al-Malik, dia menyeberangi sungai Oxus dan dapat
berhasil menundukkan Baikh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand.
Dalam
serangkaian ekspedisi militer yang brilian, Qutaybah berhasil menguasai
Takaristan bagian bawah dan ibu kotanya, Balkh (Yunani, Bakhtra) menaklukan
Bukhara di Shagda (Sogdiana) serta kawasan sekitarnya, dan menduduki sebagian
wilayah Samarkand (juga di Shagda) dan Khwarizm (sekarang Khiwa) ke sebelah
barat.[3]
Ekspansi
ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di jaman Al-Walid Ibn Abd Abdul Malik
(705M-714M). Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran dan
ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia, tidak ada pemberontakan di
masa pemerintahanya. Dia memulai kekuasaannya dengan membangun Masjid Jami’ di
Damaskus. Masjid Jami’ ini dibangun dengan sebuah arsitektur yang indah, dia
juga membangun Kubbatu Sharkah dan memperluas masjid Nabawi, di samping itu
juga melakukan pembangunan fisik dalam skala besar.
Karen
Armstrong dalam Islam a Short History
menyatakan :
Despite the disapproval of the more devout, abd al Malik
was able to ensure that his son al-Walid I Succeeded him : for the first time,
the dynastic principle was accepted in the Islamic world without demur. The
Umayyad dynasty had reached its zenith. Under al-Walid, the muslim armies
continued the conquest of North Africa, and Established a kingdom in Spain.
This marked the limit of the western expansion of Islam.
Pada
masa pemerintahannya terjadi penaklukan yang demikian luas. Penaklukan ini
dimulai dari Afrika utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa
pada tahun 711M. Setelah Al Jazair dan Maroko dapat ditaklukkan, Tariq Bin
Ziyad pemimpin pasukan Islam dengan pasukannya menyebrangi selat yang
memisahkan antara Maroko dengan Benua Eropa dan mendarat di suatu tempat yang
sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat
dikalahkan, dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi.[4]
Selanjutnya
ibu kota Spanyol, Kordova dengan cepat dapat dikuasai. Setelah itu kota-kota
lain seperti Sevile, Elvira, dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol
yang baru setelah jatuhnya Kordova juga ditaklukan. Pasukan Islam memperoleh
dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman
penguasa. Pada masa inilah pemerintah Islam mencapai wilayah yang demikian luas
dalam rentang sejarahnya. Ziyad wafat pada tahun 96 H / 714 M
setelah memerintah selama 10 tahun.[5]
Pada
jaman Umar Ibn Abd Al-Aziz, pemerintahannya diwarnai dengan banyak
reformasi dan perbaikan. Dia banyak menghidupkan dan memperbaiki tanah-tanah
yang tidak produktif, menggali sumur-sumur baru, dan membangun masjid-masjid.
Dia mendistribusikan sedekah dan zakat dengan cara yang benar, sehingga
kemiskinan tidak ada lagi di jamannya. Tidak ada lagi orang yang berhak
menerima zakat ataupun sedekah. Berkat ketaqwaan dan kesalehannya, dia dianggap
sebagai salah seorang Khulafaur Rasyidin. Pada masa itu, pasukan Islam
melakukan penyerangan ke Prancis dengan melewati pegunungan Baranese. Mereka
sampai ke wilayah Septomania dan Profanes, lalu melakukan pengepungan Toulan, yaitu
sebuah wilayah di Prancis. Namun, kaum Muslimin tidak berhasil
mencapai kemenangan yang berarti di Prancis. Sangat sedikit terjadi perang
dimasa pemerintahan Umar. Dakwah Islam marak dengan menggunakan nasehat yang
penuh hikmah sehingga banyak orang masuk Islam.
Pada
pemerintahan Hasyim Ibn Abd Al-Malik (724-743M), terkenal dengan adanya
perbaikan-perbaikan dan menjadikan tanah-tanah produktif. Dia membangun kota
Rasyafah dan membereskan tata administrasi. Hasyim dikenal sangat jeli dalam
berbagai perkara dan pertumpahan darah. Namun, dia dikenal sangat kikir dan
pelit. Penaklukan di masa pemerintahannya dipimpin oleh Abdur Rahman
Al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers. Setelah itu, ia
mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota
Tours, Al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Prancis pada tahun
114 H / 732 M. Peristiwa penyerangan
ini merupakan peristiwa yang sangat membahayakan Eropa.
Ahmad Mansur
Suryanegara menyatakan, dibawah Jenderal Qutaibah bin Muslim dibebaskanlah
Samarkand pada 93-94 H / 711-712 M. Sebelumnya di bawah Amru bin Ash
dikuasainya Mesir hingga Maroko. Selanjutnya di bawah khalifah Hisyam, 106-126
H / 724-743 M, dan pimpinan jenderal Abdurrahman al Ghafiqi memasuki jauh
Savoya Italia, 107 H/725 M, dan Swiss, 107 H/725 M, serta Bordeuaux, 107 H/725
M, hingga Poitiers di Perancis, 109 H/732 M. Sampai disini, peristiwa ini
berlangsung seratus tahun, 632-732 M setelah Rasulullah saw wafat.[6]
3. Sistem Ekonomi
Bidang-bidang
ekonomi yang terdapat pada jaman Bani Umayyah terbukti berjaya membawa kemajuan
kepada rakyatnya, yaitu:
a. Umayyah
telah memberi tumpuan terhadap pembangunan
sektor pertanian, beliau telah memperkenalkan sistem pengairan bagi tujuan
meningkatkan hasil pertanian.
b. Dalam
bidang industri pembuatan khususnya kerajinan tangan telah menjadi nadi
pertumbuhan ekonomi bani Umayyah.
4. Sistem
Peradilan dan Pengembangan Peradaban
Meskipun
sering kali terjadi pergolakan dan pergumulan politik pada masa pemerintahan
Daulah Bani Umayyah, namun terdapat juga usaha positif yang dilakukan daulah
ini untuk kesejahteraan rakyatnya. Usaha positif yang dilakukan oleh para
khilafah daulah Bani Umayyah dalam mensejahterakan rakyatnya ialah dengan
memperbaiki seluruh sistem
pemerintahan dan menata administrasi, antara lain organisasi keuangan.
Organisasi ini bertugas mengurusi masalah keuangan negara yang dipergunakan
untuk:
- Gaji pegawai dan tentara serta gaya tata usaha Negara.
-
Pembangunan pertanian, termasuk irigasi.
-
Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang.
-
Perlengkapan perang.
Pada masa itu juga menandai proses nasionalisme atau
arabisasi dalam bidang administrasi, pembuatan keping mata uang Arab pertama,
pembentukan layanan pos dan pembangunan berbagai monumen, termasuk kubah Batu
di Yerusalem, tempat suci ketiga dalam Islam.[7]
Selain
itu, daulah Bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara
yang berada di bawah pengawasan dan kekuasaannya. Oleh karena itu, daulah ini
membentuk lembaga kehakiman yang dikepalai oleh seorang ketua Hakim (Qathil
Qudhah). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim
menggali hukum berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Disamping itu, kehakiman
ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan
kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau
pengaruh suatu golongan politik tertentu.
Kekuasaan
Islam pada masa Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pengembangan peradaban, di antaranya:
a. Mendirikan
dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda dan peralatannya
di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata.
b. Umayyah,
menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya. Lambang itu menjadi ciri
khas kerajaan Umayyah.
c. Khalifah
Abd Al-Malik membangun sebuah kubah yang megah dengan arsitektur barat yang
dikenal dengan “The Dame Of The Rock” (Gubah As-Sakharah) pada tahun 691H.
d. Pembuatan
mata uang di jaman khalifah Abd Al Malik yang kemudian diedarkan ke seluruh
penjuru negeri Islam.
e. Pembuatan
panti asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-tempat untuk
orang-orang yang infalid. Segala fasilitas disediakan oleh Umayyah.
f. Pengembangan
angkatan laut Mu’awiyah
yang terkenal sejak masa Uthman sebagai Amir Al-Bahri, tentu akan mengembangkan
idenya dimasa dia berkuasa, sehingga kapal perang waktu itu berjumlah 1700
buah.
5. Kemajuan Sistem Militer
Salah
satu kemajuan yang paling menonjol pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah
adalah kemajuan dalam sistem militer. Selama peperangan melawan kekuatan musuh,
pasukan Arab banyak mengambil pelajaran teknik bertempur musuh, kemudian mereka
memadukannya dengan sistem dan teknik pertahanan yang selama itu mereka miliki.
Dengan perpaduan sistem
pertahanan ini, akhirnya kekuatan pertahanan dan militer dinasti Bani Umayyah
mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat baik. Akhirnya, para penguasa
dinasti Bani Umayyah mampu melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke Eropa.
Dalam bidang organisasi militer, tentara Umayyah secara
umum dirancang mengikuti struktur organisasi tentara Bizantium. Kesatuannya
dibagi ke dalam lima kelompok: tengah, dua sayap, depan dan belakang.
Perlengkapan artileri berat terdiri atas pelempar (‘arrādah), pelontar (manjanīq)
dan pendobrak (dabbābah, kabsy).[8]
6.
Bidang Ilmu Pengetahuan dan Seni
Pada masa Dinasti Umayyah, ilmu
pengetahuan
berkembang dalam tiga bidang, yaitu bidang diniyah, tarikh, dan filsafat.
Kota-kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan selama pemerintahan dinasti
Umayah, antara lain kota Kairawan, Kordoba, Granada dan lain sebagainya.
Masyarakat luas yang hendak
memperoleh pendidikan, pada masa itu menggunakan mesjid sebagai tempat belajar.
Pada awal 17 H, Khalifah Umar mengirimkan para Qurrā ke berbagai tempat
dan menginstruksikan agar masyarakat belajar kepada mereka. Umar II mengutus
Yaziīd bin Abī Habīb ke Mesir sebagai hakim agung, yang diriwayatkan merupakan
orang pertama yang menjadi guru di sana. Di Kufah kita mengenal al Dhaẖẖak ibn
Muzāhim yang mendirikan sekolah dasar (kuttāb) yang tidak memungut biaya
dari para siswa.[9]
Pada masa ini juga, ilmu pengetahuan mulai terbagi menjadi dua macam, yaitu :
pertama, Al-Adābul Hadits (ilmu-ilmu baru), yang meliputi : Al-ulumul Islamiyah
(ilmu al-Qur’an, Hadist, Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi),
Al-Ulumul Dkhiliyah (ilmu yang diperlukan untuk kemajuan Islam), yang meliputi
: ilmu thib, filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari
Persia dan Romawi ; kedua, Al-Adābul Qadamah (ilmu lama), yaitu ilmu yang telah
ada pasa zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat, seperti ilmu
lughah, syair, khitabah dan amtsal.
C. Konsolidasi dan Pembaharuan Politik pada Masa
Umar ibn Abd al-Aziz
Umar bin
Abdul Aziz bergelar al-Khalifatush Shālih (khalifah yang saleh). Ia putra Abdul
Aziz, gubernur Mesir. Ibunya, Ummu 'Asim, adalah cucu Khalifah Umar ibn
al-Khattab. Dia dilahirkan pada tahun 63 H (682 M) di Halwan, sebuah kampung di
Mesir. Dia mendapat pendidikan di Madinah dari paman ibunya, Abdullah ibn Umar
yang termasyur. Madinah yang pada waktu itu menjadi pusat ilmu di dunia Islam,
sangat membantu membentuk gaya hidupnya yang sangat lain dari para khalifah
Umayyah lainnya. Ia menetap di Madinah sampai ayahnya meninggal pada tahun 704
M. Pada tahun itu pula ia dipanggil menghadap pamannya Khalifah Abdul Malik,
dan dinikahkan dengan puterinya, Fatimah. Umar diangkat menjadi gubernur
Madinah pada tahun 706 M.
Tidak seperti gubernur-gubernur otokratis lainnya, ia membentuk sebuah
dewan penasehat, terdiri dari sepuluh ahli hukum kenamaan dan tokoh-tokoh
terkemuka di kota suci itu. Dalam
menjalankan pemerintahannya, Umar berkonsultasi dengan dewan tersebut. Ia memberi
kuasa kepada dewan untuk mengawasi tindak-tanduk bawahannya. Tindakan ini
mendapat sambutan dan dukungan besar dari penduduk Madinah. Ia berhasil memupus
tanda-tanda kehancuran Islam di kota suci itu yang dilakukan Yazid dan Abdul
Malik. Selama dua tahun sebagai gubernur Madinah, ia memperbaiki dan
memperbesar masjid Nabi, serta memperindah kota suci dengan bangunan-bangunan
umum. Ia membangun ratusan terowongan air baru, dan memperbaiki jalan-jalan
luar kota yang menuju Madinah.
Pemerintahannya
yang singkat itu dikenal demokratis dan sehat. Ia melakukan perang
mempertahankan diri terhadap orang Turki, yang telah membinasakan Azerbaijan
dan membunuh ribuan orang Islam tak berdosa. Di bawah pimpinan Ibn Hatik ibn
Ali Naan al-Balili, pasukan khalifah memukul mundur tentara penyerang dengan
banyak korban di pihak musuh. Khalifah mengizinkan tentaranya berperang melawan
orang Khawarij,
dengan syarat kaum wanita, anak-anak dan tawanan perang harus diselamatkan.
Musuh yang kalah tidak boleh dikejar, dan semua barang rampasan dikembalikan
kepada keluarganya. Ia mengganti para administrator Umayyah yang korup dan
bertindak sewenang-wenang dengan orang-orang yang terampil dan mampu bersikap
adil.
Tindakan
pertamanya begitu memangku jabatan adalah mengembalikan harta yang pernah
disita kaum Umayyah kepada para pemiliknya yang berhak. Ia mengembalikan semua
barang bergerak dan tidak bergerak kepada Baitul Mal. Pengembalian tidak menimbulkan reaksi rakyat yang beraneka ragam. Bahkan, orang Khawarij yang
fanatik, yang pernah memusuhi kekhalifahan, segera berlaku lembut kepada Umar
bin Abdul Aziz. Keluarga Umayyah yang terbiasa hidup mewah atas biaya rakyat,
memberontak terhadap tindakan tegas tapi adil yang dijalankan oleh khalifah.
Mereka memprotes pengembalian harta yang telah lama mereka kuasai.
Pemerintahannya
yang adil dan tidak memihak memang bertentangan dengan keinginan kaum bangsawan
Umayyah. Sebab, mereka telah terbiasa dengan berbagai bentuk kebebasan yang
tidak bertanggung jawab, dan acap tidak dapat mentolerir setiap hambatan bagi
kebebasan mereka yang tak terbatas. Mereka bahkan siap membunuh anggota sesuku
yang mereka anggap menyetujui kebijaksanaan Umar.
Dalam masa
kekhalifahannya, Umar mengadakan sejumlah pembaruan bidang administrasi,
keuangan, dan pendidikan. Kehadirannya tepat waktu, karena seorang pembaharu biasanya muncul bila mesin administrasi, politik dan
etika sudah berkarat dan membutuhkan perbaikan besar-besaran. Pembaharu rezim
Umayyah yang tak ada bandingannya ini dilahirkan di lingkungan yang sangat
suram dan karenanya memerlukan perubahan. Lembaga Baitul Mal yang merupakan
salah satu sistem pembaharuan yang dibawa Islam telah terbukti membawa berkah
bagi kaum miskin Islam selama pemerintahan para Khalifah yang saleh. Tapi dalam
masa Khalifah Umayyah, Baitul Mal telah digunakan untuk kepentingan pribadi.
Umar bin Abdul Aziz menghentikan praktek tidak sehat ini, dan ia memberi
teladan dengan tidak pernah mengambil uang sedikit pun dari Baitul Mal. Seluruh
praktek pemberian hadiah yang mahal-mahal kepada para pengarang pidato yang
memuji-muji keluarga raja, ia hentikan.
Tindakan
penting lainnya yang diambil Umar ialah pembaruan di bidang perpajakan. Ia
mengadakan pengaturan agar pajak dengan mudah dipungut dan dikelola dengan cara
yang sehat. Selain itu, Umar
bersikap sangat baik dan adil terhadap orang non Muslim, malah sangat
memperhatikan mereka. Orang Kristen, Yahudi, dan penyembah api diizinkan
mendirikan dan beribadah di gereja, sinagog dan kuilnya.
Umar tidak
terlalu banyak menekankan pemerintahannya pada kemegahan dan kemenangan di
bidang militer. Ia lebih memperhatikan administrasi, pembangunan ekonomi dalam
negeri, dan konsolidasi negara.
Para sejarawan menyaksikan dengan rasa puas karya dan aspirasi seorang penguasa yang menjadikan kesejahteraan rakyatnya sebagai satu-satunya tujuan ambisinya. Tak ada yang menandingi pemerintahan yang singkat tetapi gilang-gemilang itu.
Para sejarawan menyaksikan dengan rasa puas karya dan aspirasi seorang penguasa yang menjadikan kesejahteraan rakyatnya sebagai satu-satunya tujuan ambisinya. Tak ada yang menandingi pemerintahan yang singkat tetapi gilang-gemilang itu.
Meskipun beliau begitu singkat duduk dalam pemerintahannya dan tergolong
masih muda, tetapi dibenaknya terdapat kerangka besar bagi ummat Islam, khususnya
dalam membentuk sebuah pemerintahan yang bersih dan selalu menjunjung tinggi
kejujuran, kesederhanaan, ketegasan dan selalu berpegang teguh pada
sunnah-sunnah Rasul dan Al-Qur’an.
D. Gerakan Oposisi dan Kejatuhan Dinasti Umayyah
1. Gerakan oposisi
Perpecahan menjadi beberapa
kelompok yang terjadi dalam setiap masa kekuasaan pada masa khalifah, merupakan
sesuatu yang lumrah. Setiap kelompok sudah pasti memiliki militansi yang kuat
terhadap kelompok mereka masing-masing. Dalam konteks kekuasaan, setiap
kelompok yang berkuasa, sudah pasti akan berhadapan dengan kelompok lain
sebagai pihak oposisi.
Kelompok oposisi ini muncul
sebagai respons atas hegemoni yang ada, dan dominasi yang dilakukan oleh
kelompok berkuasa. Oposisi dapat berbentuk gerakan politik
ekstra kekuasaan (aktivitas massa), pemberontakan (insurgency), gerakan separatis, atau faksi politik yang secara
laten mengembangkan kekuatan dan melancarkan kritik terbatas pada kelompok yang
berkuasa (Status-Quo).
Perubahan konsep suksesi
kepemimpinan yang dilakukan oleh Mua’wiyah telah melahirkan penolakan yang kuat
dari kubu-kubu yang tidak searah dengan kubu Mu’awiyah. Deklarasi pergantian
kekuasaan kepada Yazid oleh Mu’awiyah, selain telah menyalahi kebiasaan kekuasaan
para penguasa Arab, juga melahirkan kekecewaan dari musuh-musuh politik
Mu’awiyah, sehingga menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan
rakyat dan seringkali melahirkan konflik perang antar saudara.
Seperti dijelaskan di atas,
sistem pemerintahan Bani Umayyah yang monarki, konstruksi oposisi secara
otomatis terbangun dengan gerakan politik ekstrakekuasaan dan pemberontakan.
Dalam konteks sejarah Bani Umayyah, pemberontakan banyak yang dapat dipadamkan
oleh Khalifah. Akan tetapi, ada tiga gerakan yang menarik untuk diulas dalam
hal ini, yaitu gerakan yang dibangun oleh Husen Ibn Ali, Abdullah bin Zubeir
bin Awwam di Hijaz dan gerakan yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah. Ketiga
gerakan ini eksis dalam rentang waktu yang cukup lama dan memiliki legitimasi
dari kelompok dan daerah masing-masing.
a. Husen ibnu Ali dan kaum Syi’ah
Husen dan kaum Syi’ah terus
membangun kekuatan dan melakukan perlawanan terhadap Bani Umayah. Pada tahun
680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan kaum Syi’ah yang ada di
Irak. Masyarakat di tempat ini sama sekali tidak mengakui Yazid, kemudian mereka
mengangkat Husen sebagai khalifah. Akhir dari perjalanan Husen sebagai Khalifah
adalah pada peperangan Karbala melawan tentara Bani Umayah. Husen terbunuh,
kepalanya di penggal dan dikirim ke Damaskus, sementara tubuhnya dikubur di
Karbala.
Terbunuhnya Husen tidak membuat
kaum Syi’ah patah semangat. Mereka terus melakukan perlawanan dan pemberontakan
terhadap penguasa Bani Umayyah. Gerakan mereka lebih garang dan tersebar ke
beberapa tempat. Banyak pemberontakan yang terjadi dimotori oleh kaum Syi’ah,
salah satunya pemberontakan yang dilakukan oleh Mukhtar di Kufah pada 685-687
M. Pemberontakan ini banyak mendapatkan dukungan dari kaum mawali, yaitu
umat Islam yang bukan Arab, mereka berasal dari Persia dan Armenia dan
lain-lain yang oleh Bani Umayah dianggap sebagai warga negara kelas dua.
b. Abdullah bin Zubeir
Gerakan ini merupakan stimulasi
kekecewaan warga di daerah jazirah Arab (Hijaz dan sekitarnya) atas
kepemimpinan Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan khalifah di bawahnya. Gerakan ini mengakar pada kekecewaan atas sikap Mu’awiyah yang
secara taktis merebut kekuasaan atas Ali dengan perundingan yang dianggap tidak
fair (peristiwa tahkim). Pasca pembantaian Karbala yang melahirkan Syiah
sebagai faksi teologis tersendiri, penduduk Hijaz membai’at Abdullah bin Zubeir
sebagai Khalifah dan mulai mengonsolidasi diri.
Abdullah bin Zubeir yang mendapat
legitimasi politik dari orang-orang Mekkah dan Madinah mulai membangun
pertahanan di Mekkah. Kedekatan Abdullah bin Zubeir dengan kaum ulama semakin
memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin oposisi, ditambah dengan melemahnya
kekuatan Damaskus sepeninggal Mu’awiyah.
c. Abul Abbas As-Saffah
Fenomena berbeda justru terjadi
pada gerakan ini, kekuatan oposisi yang dibangun oleh mereka memanfaatkan disparitas
dan ketidakadilan yang dialami oleh kelompok mawalli yang merasa dinomorduakan
pada kepemimpinan Bani Umayyah, kecuali era Umar bin Abdul Aziz. Gerakan
Abbasiyah juga memainkan peran yang penting dalam proses pembentukan gerakan
dengan aksi-aksi yang laten namun mengancam eksistensi pemerintahan. Isu-isu
yang dibawa oleh gerakan ini, didukung oleh kekuatan eksternal dari orang-orang
mawalli, ternyata cukup efektif sebagai gerakan oposisi yang mengancam
kekuasaan.
2.
Kehancuran Dinasti Umayah
Selama berkuasa kurang lebih 90 tahun lamanya, penguasa
Bani Umayyah, sejak Umayyah berkuasa harus diakui telah banyak memberikan
sesuatu yang berarti bagi Islam. Tetapi, kekuasaan yang dibangun dengan
cara-cara yang keras dan kasar seperti yang dilakukan oleh Mu’awiyah seperti pada saat ia merebut kekuasaan, ditambah lagi dengan pola suksesi yang
bersifat kekeluargaan telah memunculkan perlawanan yang keras dari lawan-lawan
politik Bani Umayah.
Sepeninggal Hisyam ibnu Abd Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah terus
mengalami melemah, bukan hanya moral tetapi juga lemah dalam kekuatan politik. Kelemahan ini tentu saja terus
dimanfaatkan dengan baik oleh musuh-musuh Bani Umayyah untuk dihancurkan, dan
segera diganti.
Selain perpecahan antar suku dan
konflik diantara keluarga kerajaan, faktor lain yang menjadi sebab utama
jatuhnya kekhalifahan Bani Umayyah adalah munculnya berbagai kelompok yang
memberontak dan merongrong kekuasaan mereka. Kelompok Syiah, yang tidak pernah
menyetujui pemerintahan Dinasti Umayyah, “perebut kekuasaan”, semakin aktif.[10]
Beberapa faktor yang menjadi akar
melemah dan hancurnya Bani Umayyah, antara lain :
a.
Sistem suksesi khalifah dengan cara
dinastian bukan tradisi Arab yang lebih mengandalkan aspek
senioritas. Pengaturannya tidak jelas, sehingga menimbulkan persaingan yang
keras di kalangan anggota keluarga.
b.
Latar belakang terbentuknya Bani
Umayyah tidak terlepas dari konflik politik yang terjadi di masa Ali. Kubu Ali
(Syi’ah) dan kubu Khawarij yang masih tersisa, terus menjadi oposisi dan
melakukan perlawanan terhadap Bani Umayyah, baik dengan terang-terangan maupun
dengan cara sembunyi-sembunyi.
c.
Pada masa Bani Umayyah, pertentangan
etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) terus
meruncing. Konflik ini membuat penguasa Bani Umayyah merasa kesulitan dalam
menggalang persatuan dan kesatuan.
d.
Faktor lemahnya Bani Umayyah juga
akibat sikap hidup mewah orang-orang di lingkungan istana, sehingga anak-anak
khalifah tidak sanggup memikul beban berat kekuasaan. Kemudian, banyak para
agamawan yang kecewa dengan penguasa Bani Umayyah karena penguasa ini sudah
tidak memperhatikan pengembangan agama.
e.
Munculnya kekuatan baru yang
dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd Thalib yang mendapatkan dukungan
dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum Mawali[11].
Kehancuran Dinasti Umayah diawali
dengan pembunuhan terhadap khalifah Marwan yang dilakukan oleh Abul Abbas
as-Shaffah, yang kemudian menjadi khalifah dalam kekuasaan umat Islam.
Kemudian kelompok Abul Abbas,
beralih menghancurkan Yazid bin Umar bin Hubairah, yang merupakan benteng
terakhir kekuasaan dinasti Umayyah. Jadi, hancurnya dua
kekuasaan Umayyah ini menjadi akhir dari kiprah Bani Umayyah dalam sejarah kekuasaan
Islam.
Disini, sekali lagi struktur pemerintahan menjadi sebuah parameter
keberhasilan. Pasca-era Hisyam bin Abdul Malik, pemerintahan Bani Umayyah telah
menjadi pemerintahan yang lemah (weak government). Lemahnya
pemerintahan, hilangnya figur Khalifah yang strategis, serta efektivitas
gerakan telah menguatkan posisi gerakan Abbasiyah. Hingga akhirnya kelompok ini
bertransformasi menjadi gerakan politik total yang berhasil merebut kekuasaan
pada tahun 750 M.
[1] After a brief delay,
Muhammad’s favourite wifa Aisha, together with her kinsman Talhah, and Zubayr,
one of the prophet’s Mecan companions attacked Ali for not punishing Uthman’s
assassins. Karen
Armstrong, Islam a Short History (London : Phoenix Press,
2000), 29.
[2] Philip K. Hitti, 2010. History of The Arabs,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Hlm 244.
[3] Philip K. Hitti, 2010. History of The Arabs,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Hlm 259.
[4] The force of only 7.000 men
which crossed the strait was commanded by a freedman of Musa b. Nusayr named
Tariq (whence the name of Gibraltar: Jabal Tariq, The mount of Tariq). After
landing and receiving reinforcement of a few more thousand men, Tariq, in a
battle near the Janda Lagoon, defeated the Visigothic King Roderick, who had
hastened thither at the head of an army said to have consisted of
100.000-though by the time it cameto the battle he had been deserted by many of
his men, who were supporters of a pretender to the throne. PM Hold, Ann K.S. Lambton, Bernard
Lewis, The Cambridge History of Islam Vol
IA (New York: Cambridge University Press, 1970), 86-87
[6] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah: Mahakarya Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, (Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2010),
hlm: 65
[7] Philip K. Hitti, 2010. History of The Arabs,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Hlm 255.
[8] Philip K. Hitti, 2010. History of The Arabs,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Hlm 282.
[9] Philip K. Hitti, 2010. History of The Arabs,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Hlm 317.
[10] Philip K. Hitti, 2010. History of The Arabs,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Hlm 351.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar