Kamis, 28 Januari 2016

Abbasiyah

DINASTI ABBASIYAH
PENDAHULUAN
Peradaban dalam Islam, dapat ditelusuri dari sejarah kehidupan Rasulullah, para sahabat (Khulafaur Rasyidin),dan sejarah kekhalifahan Islam sampai kehidupan umat Islam sekarang. Islam yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad saw telah membawa bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju.
Istilah “peradaban Islam” merupakan terjemahan dari bahasa Arab, yaitu al-Hadharah al-Islamiyyah. Istilah Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti “kebudayaan Islam”. Padahal, istilah kebudayaan dalam bahasa Arab adalah al-Tsaqafah. Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata : “kebudayaan” (Arab/al-tsaqafah dan culture/Inggris) dengan “peradaban” (civilization/Inggris dan al-hadharah/Arab) sebagai istilah baku kebudayaan. Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan, manifestasi-manifestasi kemajuan teknis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak di reflesikan dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi
Periode-periode yang muncul dalam pentas sejarah Islam sangat dinamis, dalam kata lain dapat dipandang sebagai suatu bentuk perkembangan yang seolah-olah tak kenal “habis” dalam mewarnai peradaban dunia. Salah satu periode yang cukup mencengangkan yaitu periode Dinasti Abbasiyah yang bertahan lebih dari 5 abad (750-1258), dan pernah mewujudkan zaman keemasan ummat Islam. Pada periode ini, para penguasa menyelenggarakan pemerintahan dengan sistem administrasi yang rapi, jujur dan mantap. Perhatian mereka yaitu mengayomi keadilan dan kesejahteraan rakyat.
           
Pada periode ini merupakan periode Peradaban Islam yang tertinggi dan berpengaruh terhadap tercapainya kemajuan peradaban modern di Barat sekarang, sekalipun tidak secara langsung . melalui terjemahan buku-buku Ilmu Pengetahuan dan Falsafah karangan para ahli dan Filosuf Islam ke dalam Bahasa Eropa di abad XII, Eropa mulai kenal pada falsafah dan Ilmu Pengetahuan Yunani , Eropa pada waktu itu belum kenal pada Filsafat serta Ilmu Pengetahuan Yunani. Dari Islamlah Eropa dapat mempelajari semua itu. Lebanon mengatakan “(orang Arablah)” yamg menyebabkan kita memiliki peradaban, karena mereka  adalah imam kita selama enam abad.[1]
            Pada periode ini pula lah, toleransi terhadap non islam sama bijaknya dengan pada masa Khulafaur Rosyidin yang telah berkuasa jauh sebelumnya. Pada periode “Abbasiyah ini juga merupakan suatu periode kelimpahan material dan perkembangan industri. Kaum muslimin pada masa ini melahirkan tradisi tradisi intelektual yang sangat tinggi dan mencerminkan gairah yang meluap-luap terhadap Ilmu Pengetahuan. Tentunya hal  di atas merupakan fakta sejarah yang sangat menggelitik untuk didalami oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam tulisan ini sedikit akan dipaparkan mengenai sejarah pendirian Dinasti Abbasiyah dan berbagai kemajuannya yang meliputi : Bidang Intelektual,  dan Bidang Budaya.
            Dalam tulisan ini, akan diketengahkan masa-masa keemasan islam dalam sebuah pemerintahan yang akan dikenang sepanjang masa sebagai periode yang selalu ditulis dengan tinta emas sebagai sebuah periode yang menampilkan kemajuan yang amat indah .





  1. Periodisasi Dinasti Abbasiyah.
            Setiap dinasti atau rezim mengalami fase-fase yang dikenal dengan fase pendirian, fase pembangunan dan kemajuan, fase kemunduran dan kehancuran. Akan tetapi, durasi dari dari masing-masing fase itu berbeda-beda karena bergantung pada kemampuan penyelenggara pemerintahan yang bersangkutan.
Badri Yatim mengklasifikasikan periode Dinasti Abbasiyah kepada 5  (lima) tahap sebagai berikut:
  1. Periode I (132 H/750 M-232H/847M) yang disebut sebagai periode  Pengaruh Persia.
  2. Periode II (232H/847M-33 H/ 945 M) yang disebut sebagai periode Pengaruh Turki I.
  3. Periode III (334 H/945 M-447 H /1055 M) yang didominasi oleh keluarga Buwayhi atau disebut juga sebagai periode Pengaruh Persia II.
  4. Periode IV (447 H /1055 M-590 H/1194 M) yang disebut sebagai periode pengaruh Turki II.
  5. Periode V (590 H /1194 M-656 H/1258 M) yang disebut sebagai periode Bagdad.
Sedangkan Ira M. Lapidus menyederhanakan fase Dinasti Abbasiyah menjadi dua: Pertama, masa awal Dinasti Abbasiyah (750- 833 M) dan masa kemundurannya.[2] Akan tetapi, perbedaan dalam menentukan fase Dinasti Abbasiyah tidaklah signifikan. Agar memudahkan, dalam pembahasan ini menggunakan dua fase: pendirian dan kemajuan, serta kemunduran dan kehancuran. [3]
Pemerintahan Dinasti Abbasiyah dibagi menjadi dalam dua periode sebagaimana yang banyak diistilahkan kalangan sejarawan.[4]
1.      Pemerintahan Abbasiyah Periode I. periode ini dimulai sejak tahun 132 hingga 247 H/ 749- 861M. Periode merupakan masa kejayaan para khalifah Abbasiyah. Ada sepuluh penguasa pada periode ini. Kesepuluh Khalifah tersebut yaitu Abu al-Al-Abbas al-As-Saffah(750-754), al-Mansyur(754-775), al-Mahdi (775-785), al-Hadi (785-786), Harun ar- Rasyid (786-809), al-Amin (809) al-Ma,mun (813-833), Ibrahim(817), al-Mu’tasim (833-842), dan al-Wasiq (842-847), Al Mutawakkil (846- 861 M).
2.    Pemerintahan Abbasiyah Periode II. Periode ini dimulai dari tahun 247- 656 H/ 861- 1258 M. Masa ini adalah masa lemahnya para khalifah dan lenyapnya kekuasaan mereka masa ini dikuasai oleh kalangan militer. Ada sebanyak 27 khalifah pada masa ini. Keduapuluh tujuh Khalifah tersebut yaitu : Al- Muntasshir (247 H/ 861 M), Al- Musta’in (248 H/ 862 M), Al- mu’razz (252 H/ 866), Al- Muhtadi (255 H/ 869 M), Al- Mu’tamid (256 H/ 870 M), Al- Mu’tadhid (279 H/ 892 M), Al- Muktafi (289 H/ 902 M), Al- muqtadir (295 H/ 908 M), Al- Qahir (320 H/ 932 M), Ar- Radhi (322 H/ 934 M), Al- muttaqi (329 H/ 940 M), Al- Mustakfi (333 H/ 944 M), Al- Muthi’ (334 H/ 946 M), Ath- Tha’I (363 H/ 974 M), Al- Qadir (381 H/ 991 M), Al- Qa’im (422 H/ 1031 M), Al- Muqtadi (467 H/ 1075 M), Al- Mustazhhir (487 H/ 1094 M), Al- Mustarsyid (512 H/ 1118 M), Ar- Rasyid (529 H/ 1135 M), Al- Muqtafi (530 H/ 1136 M), Al- Mustanjid (555 H/ 1160 M), Al- Mustadhi’ (566 H/ 1170 M), An- Nashir (575 H/ 1180 M), Azh- Zhahir (622 H/ 1225 M), Al- Mustanshir (623 H/ 1226 M), Al- Musta’sim (640- 656 H/ 1242- 1258 M).[5]    

  1. Pendirian dan Kemajuan Dinasti Abbasiyah
  1. Pendirian Dinasti Abbasiyah.
Sejarah yang ditampilkan oleh peradaban Islam cukup memukau mata dunia dengan beberapa corak dan bentuk warisan yang ditinggalkannya. Menjelang akhir Dinasti Umayyah (Bani Umayyah), terjadi bermacam- macam kekacauan yang antara lain disebabkan:
  1. Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya.
  2. Merendahkan kaum muslimin yang bukan bangsa Arab sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
  3. Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak- hak asasi manusia dengan cara terang- terangan.
Secara garis besar dapat diklasifikasikan keruntuhan Dinasti Umayyah sebagai berikut :
  1. Potensi perpecahan antara suku, etnis dan kelompok politik yang tumbuh semakin kuat, menjadi sebab utama terjadinya gejolak politik dan kekacauan yang mengganggu stabilitas negara.
  2. Adanya permasalahan suksesi kepemimpinan. Tidak adanya aturan yang pasti dan tegas tentang peralihan kekuasaan secara turun temurun mengakibatkan gangguan serius di tingkat negara.[6]
  3. Sisa-sisa kelompok pendukung Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang umumnya adalah kaum Syi’ah dan kelompok Khawarij terus aktif menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka maupun secara tersembunyi. Tentu saja gerakan oposisi ini sangat berpengaruh sekali terhadap stabilitas pemerintahan Dinasti Umayyah.
  4. Sebagian besar golongan Mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian Timur lainnya, merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintahan Dinasti Umayyah. Karena status tersebut menggambarkan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan bangsa Arab. Mereka tidak mendapat fasilitas dari penguasa Dinasti Umayyah sebagaimana yang diperoleh oleh orang-orang Islam Arab.
  5. Sikap hidup mewah di lingkungan istana merupakan salah satu faktor lemahnya pemerintahan Dinasti Umayyah, sehingga keturunan Dinasti Umayyah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan ketika mereka mewarisi kekuasaan.
  6. Terakhir, penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-’Abbas bin Abd al-Muthallib. Gerakan ini sepenuhnya memperoleh dukungan dari Bani Hasyim dan kubu Syi’ah serta golongan  Mawali yang merasa dianggap sebagai masyarakat kelas dua oleh pemerintahan Dinasti Umayyah.[7]
Oleh karena itu logis kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Dinasti Umayyah. Gerakan ini menghimpun:
1.    Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah.
2.    Keturunan Abbas (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim Al- Iman.
3.    Keturunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al- Khurasany.
Mereka memusatkan kegiatannya di Khurasan dengan usaha ini, pada tahun 132 H/ 750 M tumbanglah Dinasti Umayyah dengan terbunuhnya Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir. Dengan terbunuhnya Marwan mulailah berdiri Dinasti Abbasiyah dengan diangkatnya khalifah pertama, Abdullah bin Muhammad, dengan gelar Abu al- Abbas al- Saffah.  
Sejarah mencatat  bahwa Dinasti Abbasiyah didirikan secara revolusioner dengan cara menggulingkan kekeuasaan Dinasti Umayyah,  hal ini dimungkinkan karena adanya  beberapa faktor yang mendukung, diantaranya yaitu meningkatkan kekecewaan kelompok Mawalli terhadap Dinasti Umayyah, pecahnya persatuan antar suku-suku Bangsa Arab dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis untuk memiliki pemimpin yang kharismatik.
            Golongan Agamis merasa kecewa  terhadap pemerintahan Umayyah dengan coraknya yang sekuler, sementara mereka menginginkan pemimpin yang memiliki integritas antara keagamaan dan politik. Perpecahan yang kemudian timbul yaitu karena fanatisme kesukuan Arab Utara yakni mudariyah dan Himyariyyah  yang merupakan suku Arab Selatan. Selain itu juga didukung oleh bangkitnya gerakan Himyariyah.
Syi’ah juga memiliki peranan penting dalam menyokong pendirian Dinasti Abbasiyah, karena golongan ini tidak dapat melupakan tragedi Karbala dan perlakuan Umayyah kepada keturunan Ali.
Gerakan anti pemerintahan Dinasti Umayyah ini pada mulanya memang tidak mengatasnamakan keluarga Hasyimiyah atau Abasiyah, melainkan mereka bergerak atas nama ummat Islam, sehingga mereka berhasil dalam memojokan Dinasti Umayyah. Namun demikian, gerakan ini diprakarsai oleh pihak-pihak yang merasa dikecewakan oleh pemerintahan Umayyah yaitu persekutuan antara kelompok Bani Hasyim, Syi’ah dan Mawalli,[8] Abu Muslim al-Khurasani. Hal inilah yang kemudian memperuncing perseteruan antara Dinasti Ummayyah dengan Abbasiyah yang kemudian diikuti dengan peperangan sengit yang menjatuhkan kekuasaan Dinasti Umayyah. Dengan demikian, bangkitlah Dinasti  Abbasiyah yang kemudian membuka lembaran baru Islam.
            Berdirinya Dinasti Abbasiyah yang merupakan peralihan dari Dinasti Umayyah mengadakan perubahan sosial politik secara besar-besaran. Salah satunya yaitu munculnya kaum Mawalli dalam berbagai aspek kehidupan dan pemerintahan, khususnya Persia -Irak. Selain itu juga, orang-orang Khurasan mendukung pemerintahan Dinasti Abbasiyah karena pada periode pemerintahan ini hampir tidak ada perbedaan etnis seperti sebelumnya walaupun pucuk pimpinan tetap ada dalam genggaman Bani Hasyim etnis Arab. Dinasti ini memperlihatkan pola penyatuan antara ras Arab dengan ras lainnya dalam integritas dukungan terhadap pemerintahan Abasiyah.
Dengan sendirinya, perubahan sosial politik ini membuka peluang seluas-luasnya kepada potensi kecerdasan dan kesungguhan bangsa Persia. Hal ini pulalah yang kemudian menyebabkan Abbasiyah pada periode ini sangat didominasi oleh pengaruh-pengaruh Persia, hanya dua hal yang tersisa sebagai tradisi Arab, yaitu Islam sebagai Agama resmi negara dan bahasa sebagai bahasa resmi negara.

  1. Para Pemimpin Dinasti Abbasiyah Periode Pertama (750-847 M)
  Masa ini diawali sejak Abu Abbas menjadi Khalifah (132 H/750 M) dan berlangsung selama satu abad hingga meninggalnya Khalifah al-Wasiq (232H/847 M). Masa ini dianggap sebagai zaman keemasan Abbasiyah, antara lain karena keberhasilannya dalam memperluas wilayah kekuasaan . Wilayah kekuasaan periode ini membentang dari Lautan Atlantik hingga Sungai Indus,        dan dari Laut Kaspia hingga ke Sungai Nil. Para Khalifah, disamping dikenal dekat dengan ulama dan bahkan turut berfatwa atau berjihad, juga merupakan pemimpin seluruh peperangan yang ada. Ada wilayah yang tidak berada dibawah kontrol kekuasaan Abbasiyah yaitu Andalusia, sejak 5 tahun berdirinya kekhalifahan Abasiyah.
Abdurrahman, salah seorang keluarga  Umayyah yang berhasil melarikan diri ke Cordova (Spanyol), mendirikan sebuah kerajaan yang tidak berada dibawah kekuasaan Abbasiyah pada 756. Pada masa ini ada sepuluh (10) orang khalifah Abbasiyah. Kesepuluh Khalifah tersebut yaitu Abu al-Al-Abbas al-As-Saffah(750-754), al-Mansyur(754-775), al-Mahdi (775-785), al-Hadi (785-786), Harun ar-Rasyid (786-809), al-Amin (809) al-Ma,mun (813-833), Ibrahim(817), al-Mu’tasim (833-842), dan al-Wasiq (842-847)




Khalifah- Khalifah Bani Abbasiyah[9]
NO
KHALIFAH
GELAR
MASA BERKUASA
1.
Abdul Abbas Abdullah bin Muhammad
As- Saffah
132- 136 H/ 749- 753 M
2.
Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad
Al- Manshur
137- 158 H/ 753- 774 M
3.
Muhammad bin Abdullah bin Muhammad
Al- Mahdi
158- 169 H/ 774- 785 M
4.
Musa bin Muhammad bin Abdullah
Al- Hadi
169- 170 H/ 785- 786 M
5.
Harun bin Muhammad bin Abdullah
Ar- Rasyid
170- 193 H/ 786- 808 M
6.
Muhammad bin Harun bin Muhammad 
Al- Amien
193- 198 H/ 808- 813 M
7.
Abdullah bin Harun bin Muhammad
Al- Makmun
198- 218 H/ 813- 833 M
8.
Muhammad bin Harun bin Muhammad
Al Mu’tasim
218- 227 H/ 833- 841 M
9.
Harun bin Muhammad bin Harun
Al- Watsiq
227- 232 H/ 841- 846 M
10.
Ja’far bin Muhammad bin Harun
Al- Mutawakkil
232- 247 H/ 846- 861 M


1.    Abu Al-Abbas as- Safah(132 – 136 H/750- 754 M)
Abu Al-Abbas as-Safah (the blood- shedder: penumpah darah) merupakan pendiri Dinasti Abasiyah yang sejati. Sebelumnya, ia merupakan pemimpin pasukan yang menghancurkan pasukan Marwan II dari Dinasti Umayyah. Dia mendeklarasikan pemerintahannya di Masjid Khuffah pada bulan Rabiul Awwal tahun 132 H/ 749 M. di hadapan para pengikutnya.[10] Pada masa pemerintahannya, yang menjadi perioritas awal yaitu mengikis habis keturunan Umayyah , lalu mengkonsolidasi kekuatan serta menjalankan landasan yang kokoh bagi kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Kalau kita perhatikan maka akan kita dapatkan bahwa pemerintahan yang dia pimpin bersandar pada tiga hal utama.
Pertama, pada keluarganya. Sebab, dia memiliki paman, saudara- saudara dan anak- anak saudara dalam jumlah besar. Mereka menyerahkan kepemimpinan dan pemerintahan wilayah kepadanya. Demikian pula dalam masalah nasihat dan musyawarah.
Kedua, Abu Muslim Al- Khurasany. Dia adalah panglima perang yang jempolan. Dengan kekuatan dan tekadnya yang kokoh, dia mampu menaklukkan Khurasan dan Irak. Sehingga, membuka jalan yang lapang bagi berdirinya pemerintahan Abbasiyah.
Ketiga, fanatisme golongan. Dia muncul pada akhir-akhir dan melemahnya pemerintahan Umawiyah. Peluang ini ditangkap dengan manis oleh Bani Abbasiyah. Mereka bersama- sama dengan Yumaniyun bergerak melawan Qasyiyun yang berpihak kepada Bani Umawiyah.  
             Sesuai dengan sumpahnya yang diucapkan semasa diangkat menjadi khalifah, maka dia menjalankan sumpahnya dengan menghabiskan keturunan Umayyah dan dengan sifatnya yang kejam ini menimbulkan pengaruh yang besar hingga ke wilayah Asia, Mesir dan Afrika Utara. Masa pemerintahannya tidak terlalu lama, hanya sekitar 4 tahun saja. Beliau meninggal pada tahun 754 M.dan penggantinya Abu Ja’far al-Manshur.
           
2. Abu Ja’far Al Manshur (137-159 H/754-775 M)
            Sebelum Abu al- Abbas al-Saffah wafat, ia menetapkan saudaranya Abu Ja’far sebagai penggantinya, oleh karena itu tak lama kemudian Abu Ja’far segera menggantikan posisinya. Dia seorang yang paling terkenal dari penguasa Bani Abbasiyah dengan keberanian, ambisi, keras hati, cerdik, kuat kemauan dan bijak.  Sebelum menjadi khalifah dia menjadi Gubernur wilayah Armenia dan Azarbaijan.
Kekuasaan al-Manshur ini diwarnai dengan berbagai pemberontakan yang dilancarkan oleh  Abdullah ibn Ali, pamannya sendiri yang saat itu menjabat sebagai gubernur di Daerah Syria tetapi kemudian pemborantakan ini berhasil dilumpuhkan . Selain itu dia dengan keras menghadapi lawan-lawanya dari Bani Umayyah , Khawarij , dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Selain itu, pemberontakan juga terjadi di daerah Khurasan, Madinah, Basrah dan sebagainya.
Al-Manshur harus menghadangi pemberontakan-pemberontakan yang berbahaya yang bisa saja menggoyangkan kursi kedudukan dan mengguncang jiwa. Namun, dia tidak bergeming dengan semua pemberontakan tersebut. Dengan segala kecerdikan, keuletan, kemahiran, dan siasatnya, dia berhasil membabat semua pemberontakan itu. Diantara gerakan pemberontak yang penting adalah sebagai berikut :
  1. Pemberontakan Ali bin Abdullah bin Ali
  2. Pembunuhan Abu Muslim Khurasani
  3. Pemberontakan Muhammad dan Ibrahim
  4. Khawarij  
Setelah berhasil mengamankan situasi politik, al-Manshur mencanangkan pembangunan di Bagdad pada tahun 146 H, selama empat tahun dan menjadikannya Bagdad sebagai pusat kota dari imperium Abbasiyah. Beliau juga mendirikan kota Rafiqoh dan memperluas Masjidil Haram pada tahun 139 H/ 756 M. Al-Manshur yang memerintah selama lebih kurang 21 tahun tersebut memiliki prestasi besar dalam mengkonsolidasikan situasi politik. Ia merupakan pendiri Dinasti Abbasiyah ke dua setelah Abu al-as-Saffah . Selain itu juga ia memiliki  karakter yang bertentangan, ia seorang yang alim dan shaleh, sementara di saat lain ia seorang yang keras dan tegas dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
Semasa pemerintahannya, dikembangkan tata kehidupan pola Barat. Pakaian kebesaran yang digunakan yaitu pakaian Persia. Para pakar dan tokoh ulama memiliki tempat yang strategis dan dianggap sebagai seorang yang memiliki martabat paling tinggi pada masa ini.


Selain seorang khalifah, dia juga seorang ahli seni, dan cakap dalam berbagai ilmu pengetahuan, disamping itu ia memiliki yayasan wakaf yang didirikannya untuk mengembangkan keilmuan yang diantaranya berhubungan dengan kepustakaan, sejarah, kedokteran dan astronomi.
Pada tahun 158 H. al-Manshur berangkat untuk menunaikan haji. Tetapi ditengah perjalanan beliau diserang penyakit dengan tiba-tiba  sehingga membawa maut sebelum sempat memasuki Kota Makkah. Yaitu pada tanggal 6 Zulhijjah 158 H.

3. Al-Mahdi (158-169 H/775-785 M)
    Setelah ayahandanya al-Manshur meninggal pada tahun 158 H, ia menggantikan ayahnya, al-Manshur. Ia merupakan pemimpin yang sangat dermawan dan pemurah serta banyak memberikan hadiah. Hal ini ditandai dengan membebaskan tahanan-tahanan yang dikurung semasa ayahnya masih berkuasa. Ia sering membagi-bagikan pakaian kepada orang-orang miskin di Mekkah, bahkan ia memberikan tunjangan kepada masyarakat miskin, membangun sejumlah jalan yang dilengkapi dengan sumber mata air dan tempat berteduh untuk kenyamanan para jemaah yang sedang melaksanakan ibadah haji dan al-Mahdi juga memperluas Masjidil Haram.
Kekayaan yang ditinggalkan ayahnya dipergunakan untuk membangun kota-kota di berbagai daerah dengan megahnya sehingga kota-kota tersebut menjadi pusat perdagangan dunia pada masa itu. Kemajuan sastra, musik dan filsafat mewarnai kemegahan pemerintahan ini. Selain itu, ia juga melindungi keluarga dan keturunan Ali yang sebelumnya diperlakukan secara tidak wajar oleh para pemimpin sebelumnya.
Pemerintahan al-Mahdi merupakan masa yang penuh dengan kemakmuran. Dan kondisi dalam negeri saat itu sangat stabil dan tidak ada satu gerakan penting dan signifikan di masanya. [11] Ia telah memajukan bidang pertanian dan perdagangan. Kemakmuran ini tercium hingga ke wilayah daratan Timur Jauh. Kaisar China, Kaisar Tibet menjalin kerjasama yang baik dengan khalifah yang satu ini. Dia meninggal pada tahun 169 H/ 785 M dan memerintah selama 10 tahun beberapa bulan.

4.  Al-Hadi (169-170 H/785-786 M)
     Setelah mengangkat al-Mahdi, naiklah anaknya yang tua bernama al-Hadi. Dia selalu mengincar orang-orang zindiq dan melakukan tindakan yang tegas atas mereka sebagaimana yang dilakukan oleh ayahnya. Dinasti Abbasiyah ini diduduki oleh al-Hadi. Pada masa pemerintahannya yang amat  singkat, dia  tidak mampu memunculkan kemajuan yang berarti. Hanya saja pengaruh Persia pada masa kekhalifahannya masih sangat dominan. Pada masa itu terjadi pemberontakan oleh Husein bin Ali ibnul Husen ibnul hasan bin Ali di Mekkah dan Madinah. Al- Hadi meninggal pada tahun 170 H/ 786 M. Beberapa sejarah menyebutkan bahwa ibunya yang bernama Khairuzan merencanakan pembunuhannya. Sebab, dia telah meminggirkan sang ibu dari pengaruh dan otoritas yang pernah dimainkannya di masa pemerintahan suaminya, al-Mahdi. Masa pemerintahannya hanya selama 1 tahun 3 bulan.
 5.  Harun al- Rasyid (171-194 H/789-809 M).
    Setelah mengangkat al-Mahdi, naiklah saudaranya Harun al- Rasyid, Ia menduduki jabatan sebagai khalifah selama lebih 23 tahun. Harun al-Rasyid merupakan pemimpin besar pada saat itu. Perkembangan Dinasti Abbasiyah ini sebenarnya mengalami titik puncak kemasyhuran pada kekhalifahan Harun. Ia mengundang seluruh ahli dari masing-masing bidang ilmu pengetahuan untuk menggali sedalam-dalamnya dengan mendirikan lembaga pendidikan.
 Zaman Khalifah Harun ar-Rasyid merupakan puncak kegemilangan pemerintahan Abbasiyah atau paling gemilang dalam sejarah Islam. Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, Lembaga-lembaga pendidikan, kedokteran, dan farmasi . Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial. Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan serta Kesusastraan , serta mendirikan Khizanat al-Hikmat yang berfungsi sebagai perpustakaan , tempat penerjemah , dan penelitian. Pada masanya berkembang ilmu pengetahuan , baik ilmu pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan agama, seperti ilmu al-Quran , Hadits, Fiqh, Kalam, bahasa dan sastra. Empat mazhab fiqh tumbuh dan berkembang pada masa Abasiyah ini. Disamping itu berkembang pula ilmu filsafat, logika, metafisika, matematika , ilmu alam, geometri , aljabar, aritmatika, mekanika, astronomi, musik, kedokteran dan kimia.ilmu-ilmu umummasukke dalam islam melalui terjemahan dari Bahasa Yunani dan  Persia ke dalam Bahasa Arab.
Khalifah Harun merupakan penguasa yang paling kuat di dunia pada masa itu, tidak ada yang menyamainya dalam hal kekuasaan wilayah yang diperintahnya, dan kekuatan pemerintahannya serta ketingian kebudayaan dan peradaban yang berkembang di negaranya. Pada masa pemerintahannya berkumpul para seniman di Bagdad seperti Abu Nawas , salah seorang penyair yang terkenal,  dan dihasilkan pula karya seni sastra seperti AfiLailah wa Lailah, “Seribu Satu Malam” yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi The Arabian Night.
Baghdad sebagai ibu kota kekhalifahan Abbasiyah yang didirikan oleh khalifah al-Mansyur yang sebelumnya bertempat di kota Damaskus berpindah ke Hasyimiyah, kemudian di pindahkan ke Baghdad, mencapai puncak kejayaannya di masa Harun Ar-Rasyid. Pada masa inilah Negara Islam menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi.
Sebelum meninggal dia mewariskan kekuasaannya kepada kedua anaknya, al- Amien dan al- Makmun. Harun meninggal pada tahun 193 H/ 808 M.

6. Al-Amien (194-198 H/809-813 M)
    Ia merupakan putra mahkota yang ditunjuk oleh Harun al-Rasyid selain al-Ma’mun, satu perbedaan yang mencolok yaitu sifat diantara keduanya. Al- Amin cenderung suka berpesta pora dan foya-foya sehingga lengah dalam urusan pemerintahannya. Sementara itu al-Ma’mun yaitu seorang yang memiliki gairah menuntut ilmu yang tinggi dan cenderung intelek. Sifat yang kontra ini kemudian mengakibatkan timbulnya dukungan yang melahirkan dua kubu yang masing-masing memiliki dukungan terhadap salah satu pihak.
Secara asasi, sebenarnya keberpihakan diantara masing-masing pengikut mereka disebabkan oleh keturunan kedua putra mahkota ini. Al-Amin merupakan putra Zubaydah, permaisuri Harun Ar-Rasyid dari keturunan Arab, sementara al-Ma’mun merupakan putra dari permaisuri yang berasal dari keturunan Persia. Hal inilah yang kemudian menyebabkan permusuhan diantara keduanya yang berujung pada peperangan saudara.
Masa pemerintahan al-Amin berjalan selama lebih kurang 4 tahun yang diwarnai dengan berbagai  kekacauan. Al-Amin sebagai khalifah sama sekali tidak menjalankan urusan pemerintahan yang semestinya menjadi tanggung jawabnya selaku pemimpin dinasti ini. Al Amien dibunuh pada tahun 198 H/ 813 M.

7. Al-Ma’mun (198-218 H/813-833)
    Al-Ma’mun merupakan salah seorang tokoh Khalifah Abbasiyah yang terkemuka. Ia seorang intelek dan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, serta jasa-jasanya di bidang  tersebut yang meletakkan dirinya di puncak daftar khalifah-khalifah Abbasiyah. Pada pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan, ia banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting yaitu Bait al-Hikmah. Di Baitul Hikmah beliau mengumpulkan berbagai  ilmu pengetahuan asing,  pada masa itulah, muncul Filsuf Arab yang agung, yaitu al-Kindi  yang telah menulis mengenai beberapa  ilmu pengetahuan, al-Hajaj bin Yusuf bin Mart telah menterjemahkan  untuk al-Ma’mun beberapa buah buku karya Euclides dan buku Ptolemy.
Khalifah al-Ma’mun yang berbasis pengikut dari Persia mengalami kemajuan di berbagai bidang , baik ilmu agama maupun ilmu umum. Ketika al-Ma’mun memerintah timbul masahah agama yang pelik, yakni faham apakah al-Quran itu mahluk atau bukan. Kaum Mu’tazilah berpendapat  bahwa al-Quran itu mahluk, dan itu pulalah pendapat Khalifah, sehingga ia menggunakan kekerasan untuk mempertahankan pendapatnya itu. Kalangan ahlus sunnah dan ahlul hadist yang dipimpin oleh Imam Ahmad ibnu Hambal menolak pendapat itu, maka mereka mendapat tekanan dan penderitaan di masa itu.
Peristiwa- peristiwa penting pada masa pemerintahannya antara lain[12] :
  1. Pemberontakan Baghdad dan penunjukan Ibrahim Al-Mahdi sebagai Khalifah.
  2. Al- Khurramiyah (salah satu madzhab kaum zindiq)
  3. Fitnah bahwa Al Qur’an adalah makhluk.
Al- Makmun meninggal pada tahun 218 H/ 833 M setelah berkuasa 20 tahun.

8. Al-Mu’tasim (218-227 H/833-845 M)
    Pada masa pemerintahannya, ia memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Walau demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik  yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar . Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan  internal Bani Abbasiyah, revolusi al-Khawarijdi Afrika Utara, gerakan Zindik di Persia, gerakan Syi’ah,dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan. Semuanya dapat dipadamkan.
Khalifah al-Mu’tasim wafat pada tahun 227 H. Setelah beliau melantik anaknya al-Watsiq sebagai putra mahkota, bakal penggantinya.setelah memerintah selama 9 tahun.

9.   AL-Watsiq (227-232 H).
Setelah al-Mu’tasim meninggal, maka kekhalifahan diganti oleh putranya bernama Harun al-Watsiq Billah. Khalifah ini meneladani ayahnya tentang memberikan kelebihan kepada bangsa Turki. Di zamannya terjadi pemberontakan kaum khawarij di Hizaz dan bangsa kurdi di Mosul. Di beberapa negeri di tanah Arab dan Syria timbul pula huru hara. Maka oleh kekacauan yang berjangkit di mana-mana itu, lahirlah satu gerakan di Baghdad menuntut turunya al-Wasiq dari tahta khalifah.
Pada masa al-Watsiq orang-orang Turki menambah kekuataanya didalam tubuh pemeritahan. Tindak kejahatan korupsi merajalela pada masa tersebut. Ia tidak mau menetapkan putra mahkota sebagaimana para khalifah terdahulu sebelum meninggal tahun 232 H/ 846 M. Dengan wafatnya al-Watsiq, maka berakhirlah periode pertama Bani Abbasiyah yang didalamnya terjadi masa kejayaan. Beliau memerintah selama 5 tahun.

10.  Al- Mutawakkil (232- 247 H/ 846- 861 M)
Dia bernama Ja’far bin Muhammad al-Mu’tasim. Diangkat sebagai khalifah setelah saudaranya al-Watsiq. Dia didudukkan oleh orang- orang Turki dimana saat itu kunci kekuasaan telah berada di tangan mereka. Ja’far Al- Mutawakkil melarang keras pendapat bahwa Al Qur’an adalah makhluk. Dia menghapus bid’ah ini dan sangat menaruh hormat kepada Imam Ahmad bin Hanbal.
Al- Mutawakkil dibunuh pada tahun 247 H/ 861 M. Dia menjadi khalifah selama lima belas tahun.
C.   Kemajuan Dinasti Abbasiyah.
Masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah merupakan  zaman keemasan peradaban Islam. Berkembangnya pemikiran intelektual dan keagamaan pada periode ini antara lain karena kesiapan ummat Islam untuk menyerap budaya dan khazanah peradaban dan mengembangkannya secara kreatif.
Pada periode ini sikap ummat islam yang terbuka terhadap seluruh ummat manusia mendorong orang-orang non Arab  (mawalli) untuk masuk Islam. Kelompok ini ikut memberikan sumbangan bagi kemajuan peradaban. Para ilmuwan pada masa ini menduduki posisi penting.  Perluasan Islam tidak saja telah memperbanyak penganut Islam, tetapi ikut juga membangun sebuah bentuk peradaban Islam . Perluasan wilayah Islam ini dalam waktu yang begitu singkat memberikan kesempatan bagi ummat Islam untuk belajar dari bebagai kelompok masyarakat yang telah memiliki tradisi keilmuan yang maju. Dalam waktu yang bersamaan. Hal ini juga menjadi tantangan bagi para ulama untuk mempertahankan dan membela agamanya. Serangan dan tantangan berbagai agama yang telah lama berkembang sebelum Islam, dengan sistem teologi dan tradisi keagamaanya yang khas, telah mendorong para ulama untuk menyusun dasar-dasar keyakinan (teologi) dan hukum Islam , fiqh, ushul fiqh mengalami perkembangan . Kontak ummat Islam dengan ummat yang memiliki peradaban lain yang sangat maju, seperti India, Mesir, dan Yunani, mendorong ummat Islam  untuk menyerap khasanah peradaban tersebut.
Faktor ajaran Islam sendiri juga menjadi penting bagi pengembangan peradaban. Al-Quran sebagai sumber normatif, memiliki posisi yang sangat khusus dan memainkan peranan sentral dalam kehidupan kaum muslimin, karena senantiasa menjadi sumber inspirasi keagamaan dan keilmuan. Disamping itu, pada abad ke-9. Hadits juga telah mendapatkan kedudukan penting dalam kehidupan keagamaan muslim.
Kehidupan intelektual di Zaman Dinasti Abbasiyah diawali dengan berkembangnya perhatian pada perumusan dan penjelasan panduan keagamaan terutama dari dua sumber (al-Qur’an dan Hadits). Dari dua sumber utama ini, ilmu-ilmu lain kemudian berkembang. Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Ilmu-ilmu Hadits adalah  serangkai seri pengetahuan yang menjadi pokok  perhatian dan fokus pendidikan ketika itu. Ilmu Tafsir merupakan ilmu yang sangat penting  bagi perkembangan keagamaan  dan keilmuan umat Islam. Diantara buku-buku Tafsir yang ditulis pada periode ini dan masih menjadi rujukan hingga sekarang yaitu kitab al-Jami  al-Bayan yang ditulis oleh at-Tabari (225 H/839 M-310-310 H/923 M), al-Kassyaf oleh az-Zamakhsyari (467H/1075M-538 H/1144M), dan Mafatih al-Gaib oleh Fakhruddin ar-Razi (543 H/1149 M-606 H/1189M. Disamping itu, berbagai koleksi hadits juga dilakukan oleh para ulama. Pada awalnya, hadits dikumpulkan berdasarkan pada perawinya. Metode pengumpulan hadist seperti ini disebut al-Musnad yang paling terkenal  yaitu yang dihimpun  oleh Ahmad bin Hambal, kemudian hadits juga disusun sesuai dengan isinya  dan dibagi atas bab-bab tertentu yang terkait dengan pembahasan fiqh. Kumpulan seperti ini sering disebut  Musannaf. Ada enam dari kitab jenis ini yang secara umum diakui oleh mayoritas umat Islam yang dikenal al-Kutub as-Sittah (kitab yang enam). Keenam pengumpul hadits yang hidup di zaman Dinasti Abbasiyah ini yaitu Bukhari (256H/870M), Muslim (261H/875M) Abu Dawud (275H/888M). at-Tirmizi (279H/892M),an-Nasa’I (303H/915M), dan Ibnu Majah (273H886M)
            Sejak itu bangunan peradaban Islam era Abbasiyah antara lain sangat diwarnai oleh pesatnya perkembangan berbagai cabang Ilmu Pengetahuan. Secara terperinci di bawah ini sejumlah cabang ilmu pengetahuan yang berkembang saat itu Sastra dan Sejarah
            Masyarakat Arab sangat membanggakan kesusastraan dan asal-usul mereka . Oleh karena itu, untuk memahami sumber ajaran agama , ada dua cabang ilmu pengetahuan yang menjadi fokus perhatian, yaitu Ilmu Bahasa Arab dan Sejarah.
            Disamping kepada sastra, perhatian kepada sejarah juga sudah membudaya di kalangan bangsa Arab  bahkan  sejak era sebelum Islam. Bagian sejarah yang paling penting yaitu riwayat Nabi Muhammad SAW. Sebagian besar sejarawan periode Abbasiyah mempelajari dan menulis tentang sejarah hidup Nabi SAW (Sirah). Salah satu sirah yang terkenal yaitu yang ditulis oleh Muhammad bin Ishaq (w.150H/767M).
            Ilmu- ilmu Agama
Ilmu-Ilmu Agama, kemajuan peradaban Islam era Abbasiyah ini juga ditandai dengan berkembangnya ilmu-ilmu keislaman lain yang meliputi teologi /Ilmu Kalam dan Fiqh. Para Khalifah dan pembesar lain mendorong bahkan mensponsori aliran teologi yang sesuai dengan pemahamannya .Disamping itu pada tahun 143 H, barulah para ulama Islam menyusun hadits, Fiqh, Tafsir, buku-buku Arab, dan Sejarah. Diantara penyusun yang terkemuka yaitu Imam Malik yang menyusun buku al-Muwatta, dan Abu Hanifah yang menyusun fiqh. Khalifah Abu Ja’far al-Mansur yang telah memainkan peranan penting di dalam mengarahkan para ulama di bidang ini.
            Di antara buku-buku yang paling baik mengenai tasyri, fiqh, dan pemerintahan  yaitu buku al-Kharaj, yang disusun oleh Abu Yusuf. Di dalam buku ini, penyusunannya membicarakan tentang:
  1. Keterangan mengenai sumber-sumber pendapatan Negara menurut ajaran Islam.
  2. Cara yang paling ideal mengutip sumber-sumber tasri dan fiqh
  3. Tugas-tugas yang wajib dijalankan oleh Baitul Mal.  
Dari aspek hukum, pada periode ini juga timbul puluhan aliran atau mazhab .Ada empat (4) mazhab besar yang bertahan di kalangan Suni yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali. Mazhab ini lebih diatributkan  kepada tokoh pemikir terbesarnya yaitu Imam Abu Hanifah (699-767), Imam Malik bin Anas(715-795), Imam Muhammad Idris as-Syafi’I (820), dan Imam Ahmad bin Hambal (855). Disamping itu, juga dikenal Abu Yusuf (798), murid Imam Abu Hanifah,dan Dawud bin Khallaf (833), yang menjadi pelopor aliran tekstualis (Mazhab Zahiri).
           

Ilmu Kedokteran
Salah satu ilmu yang sangat menarik perhatian umat Islam yaitu ilmu kedokteran (at-Tabib). Lembaga Pelatihan Perobatan peninggalan Bizantium di Antiokia dan Harran di Suriyah serta di Iskandariyah dibangkitkan kembali. Semakin banyaknya kitab kedokteran  yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab bermuncullanlah dokter muslim yang secara terus menerus mendalami dan mengembangkannya. Diantara para dokter tersebut  yaitu Muhammad bin Zakaria ar-Razi (Rhases) . Disamping itu dikenal juga Ali Abbas , yang wafat 944. Ia menyusun sejenis ensiklopedi  kedokteran yang disebutnya Kitab al-Maliki . Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Liber Regius dan ke Bahasa Inggris dengan judul The Whole Medical Art. Buku ini menjadi buku rujukan di Barat hingga menjelang zaman modern. Ketenaran buku ini hanya bisa ditandingi oleh karya Ibnu Sina (Avicena:980-1037) yang berjudul al-Qanun fi at-Tibb (Canon of Medicine).
            Ilmu kedokteran bukan saja diterapkan untuk pribadi dan  golongan elit, akan tetapi juga diterapkan melalui berbagai rumah sakit yang tersedia. Harun ar-Rasyid juga pernah mendirikan rumah sakit megah di Kota Bagdad. Pada abad berikutnya di Bagdad terdapat lima rumah sakit. Beberapa darsa warsa  kemudian, terdapat klinik berjalan (mobil hospital). Rumah sakit ini bukan saja tempat merawat  orang sakit, tetapi juga berfungsi  sebagai sekolah tinggi Ilmu Kedokteran dan perobatan. Rumah sakit dan sekolah kedokteran  atau perobatan ini merupakan bagian sistem pendidikan Islam yang berkembang pesat pada masa ini.
Matematika dan Astronomi.
            Pada masa ini matematika dan astronomi juga berkembang. Karya Laudius Ptolemaeus (ahli astronomi sekitar 100-178), Megale Syintaxis, diterjemahkan  atas perintah Khalifah al-Ma’mun oleh al-Hajaj bin Yusuf  yang sebelumnya  juga menghadiahkan  terjemahan kitab Elements karya Euclides (ahli matematika sekitar 300SM kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Pengetahuan umat Islam dalam bidang ini juga diperkaya dengan warisan ilmu dari India. Muhammad bin Ibrahim al-Fazari, penerjemah pada masa khalifah al-Ma’mun, misalnya menyadur buku astronomi India terkenal Zij as-Sindhind (table astronomi). dan mempersembahkannya kepada khalifah al-Mansur. Adapun ringkasannya, yang disampaikan kepada khalifah  al-Ma’mun, disusun oleh Muhammad  bin Musa al-Khawarizmi (780-850), seorang ahli matematika dan geografi terkemuka, yang juga menyadur kitab Geografhike Hypogesisnya Laudius Ptolemaeus. Setelah  menguasai ilmu-ilmu warisan Yunani dan India ini, al-Khawarizmi menuangkan hasil penelitian dan pemikiran yang gemilang dalam bidang aljabar, yang menebalkan namanya hingga saat ini dalam istilah al-goritma. Ia juga berhasil memperbaiki tabel astronomi Ptolemaeus atas dasar pengamatannya di Bagdad dan di Damaskus.
            Berkembangnya cabang ilmu pengetahuan tersebut di atas tampak semakin pesat antara lain karena memang khalifah menyediakan fasilitas yang memadai. Usaha pengumpulan naskah asing dan penerjemahannya ke Bahasa Arab terus digalakkan. Meluasnya usaha ini banyak disebabkan oleh dukungan khalifah al-Ma’mun dan khalifah sesudahnya al-Ma’mun mengembangkan lembaga Baitul hikmah atau graham kebijaksanaan, yang sudah dirintis oleh khalifah Harun ar-Rasyid, menjadi pusat segala kegiatan keilmuan. Di lembaga ini para penerjemah, baik muslim maupun non muslim, bekerja mengalih bahasakan berbagai naskah kuno  dan menyusun berbagai penjelasan serta komentarnya. Di lembaga ini juga, Abu Yusuf Ya’kub al-Kindi (801-869), menggali dan menyiarkan kembali Filsafat Yunani dan juga memperluas horizon pemikiran umat Islam. Perhatian keilmuannya mencakup bidang yang sangat luas, tidak saja masalah logika, tetapi juga sejarah alam, meteorology serta kimia, bahkan ilmu kemiliteran.
            Pemikiran al-Kindi, satu-satunya filsuf muslim yang berasal dari Arab yang menonjol hingga sering dijuluki the Philosopher of the Arabs, dikembangkan lebih lanjut oleh  Abu Bakar ar-Razi (864-926). Pemikir muslim lain yang terkenal yaitu Abu Nasr al-Farabi (870-950). Ia merintis bahasa Arab menjadi wacana filosofis, termasuk memasukan unsur-unsur logika Aristoteles. Dalam bukunya al-madinah Fadilah (kota utama) ia berupaya mensintensakan filsafat politik Plato dengan pemikiran politik Islam. Filsafat Islam  mencapai perkembangan yang menakjubkan pada pemikiran Ibnu Sina  (980-1037). Ia disamping seorang filsuf, dikenal juga sebagai seorang dokter yang andal.
            Pada era ini, tidak sedikit sarjana muslim yang memiliki pengetahuan ensiklopedi bermunculan. Misalnya Abu Raihan al-Biruni (973-1048) tidak saja dikenal sebagai seorang ahli agama, tetapi juga sebagai arsitek yang berhasil merancang pengaturan aliran Sungai Nil untuk menanggulangi bahaya banjir tahunan. Ia juga seorang ahli matematika dan kedokteran. Hasil penemuannya dalam bidang oftika diciptakannya lensa dan mikroskop pada masa berikutnya. Albiruni juga dikenal sebagai filsuf muslim yang menggali pemikiran filsafat India. Sarjana lain yang cukup terkenal yaitu Ibnu Maskawaih (w.421H/1030M) yang mengupas masalah moral bukan terutama sebagai bagian dari ilmu akhlak, Tasawuf, dan Fiqh,melainkan sebagai persoalan filsafat. Hal ini bisa dijumpai dalam bukunya Tahzib al-Akhlaq (Pemurnian Moral).
            Selanjutnya selain Baitul Hikmah juga disediakan berbagai lembaga yang diharapkan bisa menunjang kegiatan keilmuan. Diantara lembaga tersebut yaitu Pendidikan, masjid, yang ditemukan di setiap sudut kota  dan dalam komunitas muslim, juga merupakan pusat pendidikan. Masjid utama (masjid jami) di setiap kota, disamping merupakan pusat kegiatan ibadah, juga merupakan lembaga pendidikan tinggi yang menyediakan sarana pendidikan ,termasuk asrama dan beasiswa bagi para penuntut ilmu. Selain itu mengingat pentingnya ilmu astronomi bagi umat Islam, Khalifah al-Ma’mun juga mendirikan observatorium di Sinjar. Beberapa tahun kemudian, fasilitas yang sama juga didirikan di Bagdad dan Jundishapur. Atas jasa al-Ma’mun ini, para astronomi muslim mempersembahkan hasil penelitian mereka yang dikenal dengan Daftar al-Ma’mun kepada Khalifah.


Filsafat Islam
Bagi orang Arab, filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran dalam arti yang sebenarnya. Secara khusus, nuansa filsafat mereka berakar pada tradisi filsafat Yunani, yang dimodifikasi dengan pemikiran para penduduk di wilayah taklukan, serta pengaruh- pengaruh lainnya, yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam, dan diungkapkan dengan bahasa Arab. Orang Arab percaya bahwa karya-karya Aristoteles merupakan kodifikasi filsafat Yunani yang lengkap.
Filosof pertama, al- Kindi, atau Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq, lahir di Kufah sekitar 801, lalu tinggal dan meninggal di Baghdad tahun 873. Al- Kindi lebih dari sekedar seorang filosof. Ia ahli perbintangan, kimia, ahli mata, dan musik. Tidak kurang dari 361 buah karya dinisbatkan kepadanya, namun sayangnya kebanyakan dari karya-karyanya itu tidak bisa ditemukan. Karya utamanya tentang ilmu optic geometris dan fisiologis, yang didasarkan pada buku optics karya Euclid, digunakan secara luas di barat dan timur, sehingga akhirnya digantikan oleh buku karya Ibn al- Haytsam.
Proyek harmonisasi antara filsafat Yunani dengan Islam, yang dimulai oleh Al- Kindi, seorang keturunan Arab, dilanjutkan oleh al-Farabi, seorang keturunan Turki, dan disempurnakan di dunia Timur oleh Ibnu Sina, seorang keturunan Suriah. Nama lengkapnya, Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan Abu Nashr al- Farabi dilahirkan di Transoxiana, dididik oleh seorang dokter Kristen dan penerjemah Kristen Baghdad, dan hidup sebagai seorang sufi di Aleppo dalam istana sayf al-Dawlah al-Hamdani. Ia meninggal di Damaskus tahun 950 pada usia sekitar 80 tahun.           
D.   Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Berakhirnya kekuasaan dinasti Saljuk atas Baghdad atau khalifah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada diantaranya dinasti yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan tatar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini adalah awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Fase kemunduran ini dimulai pada masa Abbasiyah I dimana pada masa ini sudah banyak daerah- daerah yang sudah tidak menghiraukan lagi pemerintahan pusat kecuali pengakuan secara politis saja dan juga kekuasaan militer sudah berkurang pengarunya karena para panglima di daerah sudah sendiri dan bahkan mereka sudah membentuk tentara sendiri- sendiri sehingga pada masa itu sudah putus ikatan politik antara daerah- daerah dengan pemerintahan pusat. Di antara daerah- daerah yang memisahkan diri ialah:
1.    Afrika Utara yang bermadzhab syi’ah isma’iliyyah telah membentuk kerajaannya dengan nama dinasti Fathimiyah dengan pemimpinnya Ubaidillah al- mahdi dan kota Mahdiah sebagai pusat kerajaan.
2.    Mesir, dikuasai oleh Muhammad Ikhsid yang berkuasa atas nama dinasti Abbas dari unsur Turki, kemudian disaingi oleh dinasti Hamdaniyah dari unsur Arab yang kemudian dikuasai oleh dinasti Buwaiyyah dari unsur Persia.
3.    Yaman, yang dikuasai oleh aliran Syi’ah Zaidiyah berhasil memisahkan diri dan memperkokoh posisinya di kota tersebut.
4.    Bukhara, dikuasai oleh dinasti Samaniyah.
5.    Maghribi, dikuasai oleh dinasti Idrisiyah dari unsur Arab.
6.    Kurdistan, dikuasai oleh dinasti Dulafiyyah dari unsur Arab.
7.    Persia, dikuasai oleh dinasti Syafariyah dari unsur Persia.
8.    Jarjan, dikuasai oleh dinasti Ziariyyah dari unsur Turki.
9.    Afghanistan dan India, dikuasai oleh dinasti Khazanawiyah dari Unsur Turki.
Selain daerah-daerah tersebut yang memisahkan diri dari pemerintahan pusat masih banyak lagi sebab-sebab kemunduran Dinasti Abbasiyah yaitu berebutnya pengaruh dari para mawally yang pada saat itu banyak dijadikan sebagai pengawal khalifah. Diantara para mawally yang berpengaruh tersebut ialah:
1.    Turuna Persia, yang pada masa Abbasiyah I sudah banyak yang memegang jabatan dalam pemerintahan.
2.    Turunan Ruum, yaitu unsur-unsur bangsa Arab yang terdapat pada kerajaan Romawi Timur yang berbatasan dengan Dinasti Abbasiyah.
3.    Turunan Turki, pada masa Abbasiyah II banyak dijadikan sebagai tentara perang bahkan panglima perang oleh para khalifah sampai banyak para khalifah yang tergantung pada turunan Turki ini.
4.    Turunan Zanji, yaitu bangsa kulit hitam yang datang dari pantai Afrika Timur.   
Sebagaimana dalam periodisasi khalifah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua, namun demikian faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba, benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya khalifah pada saat periode ini sangat kuat, benih-benih ini tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbasiyah terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan. Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor yang menyebabkan dinasti Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa adalah sebagai berikut :[13]
1.    Persaingan Antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Dinasti Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu.[14]
2.    Kemerosotan Ekonomi
Dinasti Abbasiyyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Dinasti Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh dari al-Kharaj, semacam pajak dan hasil bumi.[15] 
Setelah dinasti memasuki periode kemunduran, pendapatan Negara menurun, sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan Negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam, dan para pejabat melakukan korupsi.
3.    Konflik Keagamaan[16]
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Gerakan ini dikenal dengan gerakan Zindiq yang menyebabkan menurut para khalifah dan orang-orang yang beriman harus diberantas, sehingga menyebabkan konflik diantara keduanya, mulai polemik tentang ajaran hingga berlanjut kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah dari kedua belah pihak.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung dibalik ajaran Syi`ah, sehingga banyak aliran syi`ah yang dipandang ghulat (ekstrem) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi`ah sendiri. Aliran Syi`ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan faham Ahlussunnah wal Jama`ah.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindik atau ahlussunnah dengan syi`ah saja, tetapi juga antaraliran dalam Islam. Mu`tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bidah oleh golongan salaf.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:
“Agama Muhammad Saw. seperti juga Agama Isa as., terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia soal kehendak bebas manusia telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam, pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah, menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga”.
4.    Ancaman dari luar
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan Dinasti Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.[17]
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti-Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahli al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.
Berbagai faktor yang telah menyokong tegaknya Dinasti Abbasiyah, yakni kalangan elite imperium dan bentuk-bentuk kulturnya, sekaligus juga menyokong kehancuran dan transformasi imperium tersebut. Bahkan kemerosotan Abbasiyah telah berlangsung disaat berlangsung konsolidasi. Ketika rezim ini sedang memperkuat militernya dan institusi pemerintahan, dan sedang mendorong sebuah kemajuan ekonomi dan kultur, terjadi beberapa peristiwa yang pada akhirnya mengharubirukan nasib Dinasti Abbasiyah.
Semenjak awal pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) problem suksesi menjadi sangat kritis. Harun telah mewasiatkan tahta kekhalifahan kepada putra tertuanya, al-Amin, dan kepada putranya yang lebih muda yang bernama al-Makmun, seorang gubernur Khurasan dan orang yang berhak menjabat tahta khilafah sepeninggal kakaknya. Setelah kematian Harun, al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya sebagai penggantinya kelak. Akibatnya pecahlah perang sipil. al-Amin didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad, sementara al-Makmun harus berjuang untuk memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-Makmun berhasil mengalahkan saudara tuanya, al-Amin , dan mengklaim khilafah pada tahun 813. Namun peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah melainkan juga melemahkan warga Iraq dan sejumlah propinsi lainnya.
Al-Makmun berusaha menghadapi musuh-musuhnya dan sejumlah warga yang tidak mau berdamai dengan sebuah kebijakan ganda. Satu sisi kebijakan tersebut bertujuan untuk mempertahankan legitimasi kekhilafan dengan menguasai seluruh urusan keagamaan. Kebijakan ini, sebagaimana yang telah kita lihat, tidak membawa hasil dan gagal. Kebijakan ini justru menghilangkan dukungan masyarakat umum terhadap sang khalifah. Al-Makmun juga mengambil sebuah kebijakan politik, untuk menguasai kekhilafahan secara mutlak, al-Makmun menggantungkan dukungan seorang panglima khurasan, yang bernama Thahir, yang diberikan imbalan sebagai gubernur khurasan (820-822) dan menjadi jenderal militer Abbasiyah diseluruh imperium dan disertai janji bahwa jabatan-jabatan tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya, selain mendatangkan manfaat yang bersifat sementara konsesi atas sebuah jabatan gubernur yang dapat diwariskan menggagalkan tujuan Abbasiyah untuk menyatukan sebuah wilayah propinsi besar menjadi sebuah sistem pemerintahan politik yang memusat ditangan pemerintahan pusat. Upaya untuk menyatukan kalangan elit dibawah arahan khalifah tidak akan terwujud dan sebagai gantinya imperium dikuasai oleh sebuah persekutuan khalifah dengan kuasa gubernur besar.
E.   Keruntuhan Dinasti Abbasiyah
Pada masa khalifah al-Mu’tasim datanglah pasukan Tartar dibawah pimpinan Hulako pada 10 Februari 1258 masehi yang memporakporandakan dan menghancurkan kota Baghdad sebagai pusat pemerintah, bahkan buku-buku yang ada di Bait Al- Hikmah (centre of Library) dibakar dan sebagian lagi dibawa oleh Hulako dan para tentaranya, mulai saat itulah dinasti abbasiyah mengalami kehancuran, dan kota Baghdad mulai saat itu dipimpin oleh Dinasti Illkhan, Ilkhan adalah gelar dari Hulako.
Beberapa keturunan Hulako yang tercatat pernah menjadi penguasa di kota Baghdad adalah:
  1. Abaga beragama Keristen                              (1265- 1281 M)
  2. Tagudar beragama Islam                               (1281- 1294 M)
  3. Ghosan Mahmud beragama Islam                 (1294- 1304 M)
  4. Uljaitu Khudabanda beragama Islam             (1304- 1316 M)
Setelah Uljaitu berkuasa kerajaan yang dibentuk oleh Hulako itu akhirnya pecah menjadi beberapa kerajaan kecil yaitu:
1.    Kerajaan Jaylardengan Baghdad sebagai ibukotanya.
2.    Kerajaan salghari di Fars.
3.    Kerajaan Muzaffari di Fars.
Dengan berkuasanya Hulako dan para keturunannya, maka habislah sudah kekuasaan Daulah Abbasiyah.



[1] Kahar Muzakkar Hasbi, Sejarah perkembangan Kebudayaan Dan Peradaban Islam.
[2] Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam,(Jakarta : Rajawali Pers 1999)
[3] A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1979)
[4]Ahmad  Al- Khusairy, Sejarah Islam, Akarmedia, Jakarta 2009  
[5] C. E. Boswort, Dinasti- Dinasti Islam, Mizan, Bandung: 1980
[6] Philip K. Hitti, History of The Arabs,
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam.PT Rajagrafindo Persada, Jakarta 2008.

[8] Kelompok Mawalli yaitu orang-orang non Arab yang telah memeluk Islam, mereka diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara orang  Arab       dipelakukan sebagai bangsawan. Mereka selalu tersingkir dalam urusan pe-merintahan dan dalam kehidupan sosial, bahkan para penguasa Arab selaluMemperlihatkan sikap bermusuhan terhadap mereka.

[9] Ahmad Al- Khusairy, Sejarah Islam, Akarmedia Jakarta 2009
[10] Syed Mahmudunnasir, Islam Is Concept, Kitab Bavar, New Delhi, India 1994
[11] Ahmad Al- Khusairy, Sejarah Islam, Akarmedia Jakarta 2009
[12] Ahmad Al- Khusairy, Sejarah Islam, Akarmedia Jakarta 2009
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam.PT Rajagrafindo Persada, Jakarta 2008.

[15] Ibid hal. 82
[16] Ibid hal. 83
[17] Ibid hal. 85

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Virus Corona: Penyebab, Cara Pencegahan dan Dampaknya Pada Ekonomi Global

 – Pada akhir tahun 2019 kemarin, dunia telah dihebohkan oleh COVID-19 atau yang dikenal sebagai wabah virus corona. Virus ini pertama k...