DINASTI ABBASIYAH
PENDAHULUAN
Peradaban
dalam Islam, dapat ditelusuri dari sejarah kehidupan Rasulullah, para sahabat
(Khulafaur Rasyidin),dan sejarah kekhalifahan Islam sampai kehidupan umat Islam
sekarang. Islam yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad saw telah membawa bangsa Arab
yang semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan diabaikan oleh
bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju.
Istilah
“peradaban Islam” merupakan terjemahan dari bahasa Arab, yaitu al-Hadharah al-Islamiyyah. Istilah Arab ini
sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti “kebudayaan
Islam”. Padahal, istilah kebudayaan dalam bahasa Arab adalah al-Tsaqafah. Di
Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang
mensinonimkan dua kata : “kebudayaan” (Arab/al-tsaqafah
dan culture/Inggris) dengan
“peradaban” (civilization/Inggris dan
al-hadharah/Arab) sebagai istilah
baku kebudayaan. Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah
itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam
suatu masyarakat. Sedangkan, manifestasi-manifestasi kemajuan teknis dan
teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak di
reflesikan dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka peradaban
terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi
Periode-periode
yang muncul dalam pentas sejarah Islam sangat dinamis, dalam kata lain dapat
dipandang sebagai suatu bentuk perkembangan yang seolah-olah tak kenal “habis”
dalam mewarnai peradaban dunia. Salah satu periode yang cukup mencengangkan
yaitu periode Dinasti Abbasiyah yang bertahan lebih dari 5 abad (750-1258), dan
pernah mewujudkan zaman keemasan ummat Islam. Pada periode ini, para penguasa
menyelenggarakan pemerintahan dengan sistem administrasi yang rapi, jujur dan
mantap. Perhatian mereka yaitu mengayomi keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Pada
periode ini merupakan periode Peradaban Islam yang tertinggi dan berpengaruh
terhadap tercapainya kemajuan peradaban modern di Barat sekarang, sekalipun
tidak secara langsung . melalui terjemahan buku-buku Ilmu Pengetahuan dan
Falsafah karangan para ahli dan Filosuf Islam ke dalam Bahasa Eropa di abad
XII, Eropa mulai kenal pada falsafah dan Ilmu Pengetahuan Yunani , Eropa pada
waktu itu belum kenal pada Filsafat serta Ilmu Pengetahuan Yunani. Dari
Islamlah Eropa dapat mempelajari semua itu. Lebanon mengatakan “(orang
Arablah)” yamg menyebabkan kita memiliki peradaban, karena mereka adalah imam kita selama enam abad.[1]
Pada periode ini pula lah, toleransi
terhadap non islam sama bijaknya dengan pada masa Khulafaur Rosyidin yang telah
berkuasa jauh sebelumnya. Pada periode “Abbasiyah ini juga merupakan suatu
periode kelimpahan material dan perkembangan industri. Kaum muslimin pada masa
ini melahirkan tradisi tradisi intelektual yang sangat tinggi dan mencerminkan
gairah yang meluap-luap terhadap Ilmu Pengetahuan. Tentunya hal di atas merupakan fakta sejarah yang sangat
menggelitik untuk didalami oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam tulisan
ini sedikit akan dipaparkan mengenai sejarah pendirian Dinasti Abbasiyah dan
berbagai kemajuannya yang meliputi : Bidang Intelektual, dan Bidang Budaya.
Dalam tulisan ini, akan
diketengahkan masa-masa keemasan islam dalam sebuah pemerintahan yang akan
dikenang sepanjang masa sebagai periode yang selalu ditulis dengan tinta emas
sebagai sebuah periode yang menampilkan kemajuan yang amat indah .
- Periodisasi Dinasti
Abbasiyah.
Setiap dinasti atau rezim mengalami
fase-fase yang dikenal dengan fase pendirian, fase pembangunan dan kemajuan,
fase kemunduran dan kehancuran. Akan tetapi, durasi dari dari masing-masing
fase itu berbeda-beda karena bergantung pada kemampuan penyelenggara
pemerintahan yang bersangkutan.
Badri
Yatim mengklasifikasikan periode Dinasti Abbasiyah kepada 5 (lima) tahap sebagai berikut:
- Periode
I (132 H/750 M-232H/847M) yang disebut sebagai periode Pengaruh Persia.
- Periode
II (232H/847M-33 H/ 945 M) yang disebut sebagai periode Pengaruh Turki I.
- Periode
III (334 H/945 M-447 H /1055 M) yang didominasi oleh keluarga Buwayhi atau
disebut juga sebagai periode Pengaruh Persia II.
- Periode
IV (447 H /1055 M-590 H/1194 M) yang disebut sebagai periode pengaruh
Turki II.
- Periode
V (590 H /1194 M-656 H/1258 M) yang disebut sebagai periode Bagdad.
Sedangkan
Ira M. Lapidus menyederhanakan fase Dinasti Abbasiyah menjadi dua: Pertama, masa awal Dinasti Abbasiyah
(750- 833 M) dan masa kemundurannya.[2] Akan
tetapi, perbedaan dalam menentukan fase Dinasti Abbasiyah tidaklah signifikan.
Agar memudahkan, dalam pembahasan ini menggunakan dua fase: pendirian dan
kemajuan, serta kemunduran dan kehancuran. [3]
Pemerintahan
Dinasti Abbasiyah dibagi menjadi dalam dua periode sebagaimana yang banyak
diistilahkan kalangan sejarawan.[4]
1. Pemerintahan
Abbasiyah Periode I. periode ini dimulai sejak tahun 132 hingga 247 H/ 749-
861M. Periode merupakan masa kejayaan para khalifah Abbasiyah. Ada sepuluh
penguasa pada periode ini. Kesepuluh Khalifah tersebut yaitu Abu al-Al-Abbas
al-As-Saffah(750-754), al-Mansyur(754-775), al-Mahdi (775-785), al-Hadi
(785-786), Harun ar- Rasyid (786-809), al-Amin (809) al-Ma,mun (813-833),
Ibrahim(817), al-Mu’tasim (833-842), dan al-Wasiq (842-847), Al Mutawakkil (846-
861 M).
2. Pemerintahan
Abbasiyah Periode II. Periode ini dimulai dari tahun 247- 656 H/ 861- 1258 M. Masa
ini adalah masa lemahnya para khalifah dan lenyapnya kekuasaan mereka masa ini
dikuasai oleh kalangan militer. Ada sebanyak 27 khalifah pada masa ini.
Keduapuluh tujuh Khalifah tersebut yaitu : Al- Muntasshir (247 H/ 861 M), Al-
Musta’in (248 H/ 862 M), Al- mu’razz (252 H/ 866), Al- Muhtadi (255 H/ 869 M), Al-
Mu’tamid (256 H/ 870 M), Al- Mu’tadhid (279 H/ 892 M), Al- Muktafi (289 H/ 902
M), Al- muqtadir (295 H/ 908 M), Al- Qahir (320 H/ 932 M), Ar- Radhi (322 H/
934 M), Al- muttaqi (329 H/ 940 M), Al- Mustakfi (333 H/ 944 M), Al- Muthi’
(334 H/ 946 M), Ath- Tha’I (363 H/ 974 M), Al- Qadir (381 H/ 991 M), Al- Qa’im
(422 H/ 1031 M), Al- Muqtadi (467 H/ 1075 M), Al- Mustazhhir (487 H/ 1094 M), Al-
Mustarsyid (512 H/ 1118 M), Ar- Rasyid (529 H/ 1135 M), Al- Muqtafi (530 H/ 1136
M), Al- Mustanjid (555 H/ 1160 M), Al- Mustadhi’ (566 H/ 1170 M), An- Nashir
(575 H/ 1180 M), Azh- Zhahir (622 H/ 1225 M), Al- Mustanshir (623 H/ 1226 M), Al-
Musta’sim (640- 656 H/ 1242- 1258 M).[5]
- Pendirian dan Kemajuan
Dinasti Abbasiyah
- Pendirian Dinasti Abbasiyah.
Sejarah
yang ditampilkan oleh peradaban Islam cukup memukau mata dunia dengan beberapa
corak dan bentuk warisan yang ditinggalkannya. Menjelang akhir Dinasti Umayyah
(Bani Umayyah), terjadi bermacam- macam kekacauan yang antara lain disebabkan:
- Penindasan
yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya.
- Merendahkan
kaum muslimin yang bukan bangsa Arab sehingga mereka tidak diberi
kesempatan dalam pemerintahan.
- Pelanggaran
terhadap ajaran Islam dan hak- hak asasi manusia dengan cara terang-
terangan.
Secara garis besar dapat
diklasifikasikan keruntuhan Dinasti Umayyah sebagai berikut :
- Potensi perpecahan antara suku,
etnis dan kelompok politik yang tumbuh semakin kuat, menjadi sebab utama
terjadinya gejolak politik dan kekacauan yang mengganggu stabilitas
negara.
- Adanya permasalahan suksesi
kepemimpinan. Tidak adanya aturan yang pasti dan tegas tentang peralihan
kekuasaan secara turun temurun mengakibatkan gangguan serius di tingkat
negara.[6]
- Sisa-sisa kelompok pendukung
Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang umumnya adalah kaum Syi’ah dan kelompok
Khawarij terus aktif menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka maupun
secara tersembunyi. Tentu saja gerakan oposisi ini sangat berpengaruh
sekali terhadap stabilitas pemerintahan Dinasti Umayyah.
- Sebagian
besar golongan Mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian
Timur lainnya, merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintahan Dinasti
Umayyah. Karena status tersebut menggambarkan inferioritas di tengah-tengah
keangkuhan bangsa Arab. Mereka tidak mendapat fasilitas dari penguasa
Dinasti Umayyah sebagaimana yang diperoleh oleh orang-orang Islam Arab.
- Sikap hidup mewah di lingkungan istana merupakan
salah satu faktor lemahnya pemerintahan Dinasti Umayyah, sehingga
keturunan Dinasti Umayyah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan
ketika mereka mewarisi kekuasaan.
- Terakhir,
penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya
kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-’Abbas bin Abd
al-Muthallib. Gerakan ini sepenuhnya memperoleh dukungan dari Bani Hasyim
dan kubu Syi’ah serta golongan
Mawali yang merasa dianggap sebagai masyarakat kelas dua oleh
pemerintahan Dinasti Umayyah.[7]
Oleh
karena itu logis kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan
gerakan rahasia untuk menumbangkan Dinasti Umayyah. Gerakan ini menghimpun:
1. Keturunan
Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah.
2. Keturunan
Abbas (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim Al- Iman.
3. Keturunan
bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al- Khurasany.
Mereka
memusatkan kegiatannya di Khurasan dengan usaha ini, pada tahun 132 H/ 750 M
tumbanglah Dinasti Umayyah dengan terbunuhnya Marwan bin Muhammad, khalifah
terakhir. Dengan terbunuhnya Marwan mulailah berdiri Dinasti Abbasiyah dengan
diangkatnya khalifah pertama, Abdullah bin Muhammad, dengan gelar Abu al- Abbas
al- Saffah.
Sejarah
mencatat bahwa Dinasti Abbasiyah
didirikan secara revolusioner dengan cara menggulingkan kekeuasaan Dinasti
Umayyah, hal ini dimungkinkan karena
adanya beberapa faktor yang mendukung,
diantaranya yaitu meningkatkan kekecewaan kelompok Mawalli terhadap Dinasti
Umayyah, pecahnya persatuan antar suku-suku Bangsa Arab dan timbulnya
kekecewaan masyarakat agamis untuk memiliki pemimpin yang kharismatik.
Golongan Agamis merasa kecewa terhadap pemerintahan Umayyah dengan coraknya
yang sekuler, sementara mereka menginginkan pemimpin yang memiliki integritas
antara keagamaan dan politik. Perpecahan yang kemudian timbul yaitu karena
fanatisme kesukuan Arab Utara yakni mudariyah
dan Himyariyyah yang merupakan suku Arab Selatan. Selain itu
juga didukung oleh bangkitnya gerakan Himyariyah.
Syi’ah
juga memiliki peranan penting dalam menyokong pendirian Dinasti Abbasiyah,
karena golongan ini tidak dapat melupakan tragedi Karbala dan perlakuan Umayyah
kepada keturunan Ali.
Gerakan
anti pemerintahan Dinasti Umayyah ini pada mulanya memang tidak mengatasnamakan
keluarga Hasyimiyah atau Abasiyah, melainkan mereka bergerak atas nama ummat
Islam, sehingga mereka berhasil dalam memojokan Dinasti Umayyah. Namun
demikian, gerakan ini diprakarsai oleh pihak-pihak yang merasa dikecewakan oleh
pemerintahan Umayyah yaitu persekutuan antara kelompok Bani Hasyim, Syi’ah dan
Mawalli,[8]
Abu Muslim al-Khurasani. Hal inilah yang kemudian memperuncing perseteruan
antara Dinasti Ummayyah dengan Abbasiyah yang kemudian diikuti dengan
peperangan sengit yang menjatuhkan kekuasaan Dinasti Umayyah. Dengan demikian,
bangkitlah Dinasti Abbasiyah yang
kemudian membuka lembaran baru Islam.
Berdirinya Dinasti Abbasiyah yang
merupakan peralihan dari Dinasti Umayyah mengadakan perubahan sosial politik
secara besar-besaran. Salah satunya yaitu munculnya kaum Mawalli dalam berbagai
aspek kehidupan dan pemerintahan, khususnya Persia -Irak. Selain itu juga,
orang-orang Khurasan mendukung pemerintahan Dinasti Abbasiyah karena pada
periode pemerintahan ini hampir tidak ada perbedaan etnis seperti sebelumnya
walaupun pucuk pimpinan tetap ada dalam genggaman Bani Hasyim etnis Arab.
Dinasti ini memperlihatkan pola penyatuan antara ras Arab dengan ras lainnya
dalam integritas dukungan terhadap pemerintahan Abasiyah.
Dengan
sendirinya, perubahan sosial politik ini membuka peluang seluas-luasnya kepada
potensi kecerdasan dan kesungguhan bangsa Persia. Hal ini pulalah yang kemudian
menyebabkan Abbasiyah pada periode ini sangat didominasi oleh pengaruh-pengaruh
Persia, hanya dua hal yang tersisa sebagai tradisi Arab, yaitu Islam sebagai
Agama resmi negara dan bahasa sebagai bahasa resmi negara.
- Para Pemimpin Dinasti Abbasiyah
Periode Pertama (750-847 M)
Masa ini diawali sejak Abu Abbas menjadi
Khalifah (132 H/750 M) dan berlangsung selama satu abad hingga meninggalnya
Khalifah al-Wasiq (232H/847 M). Masa ini dianggap sebagai zaman keemasan Abbasiyah,
antara lain karena keberhasilannya dalam memperluas wilayah kekuasaan . Wilayah
kekuasaan periode ini membentang dari Lautan Atlantik hingga Sungai Indus, dan dari Laut Kaspia hingga ke Sungai
Nil. Para Khalifah, disamping dikenal dekat dengan ulama dan bahkan turut
berfatwa atau berjihad, juga merupakan pemimpin seluruh peperangan yang ada.
Ada wilayah yang tidak berada dibawah kontrol kekuasaan Abbasiyah yaitu Andalusia,
sejak 5 tahun berdirinya kekhalifahan Abasiyah.
Abdurrahman,
salah seorang keluarga Umayyah yang
berhasil melarikan diri ke Cordova (Spanyol), mendirikan sebuah kerajaan yang
tidak berada dibawah kekuasaan Abbasiyah pada 756. Pada masa ini ada sepuluh
(10) orang khalifah Abbasiyah. Kesepuluh Khalifah tersebut yaitu Abu
al-Al-Abbas al-As-Saffah(750-754), al-Mansyur(754-775), al-Mahdi (775-785),
al-Hadi (785-786), Harun ar-Rasyid (786-809), al-Amin (809) al-Ma,mun
(813-833), Ibrahim(817), al-Mu’tasim (833-842), dan al-Wasiq (842-847)
Khalifah-
Khalifah Bani Abbasiyah[9]
NO
|
KHALIFAH
|
GELAR
|
MASA BERKUASA
|
1.
|
Abdul
Abbas Abdullah bin Muhammad
|
As-
Saffah
|
132-
136 H/ 749- 753 M
|
2.
|
Abu
Ja’far Abdullah bin Muhammad
|
Al-
Manshur
|
137-
158 H/ 753- 774 M
|
3.
|
Muhammad
bin Abdullah bin Muhammad
|
Al-
Mahdi
|
158-
169 H/ 774- 785 M
|
4.
|
Musa
bin Muhammad bin Abdullah
|
Al-
Hadi
|
169-
170 H/ 785- 786 M
|
5.
|
Harun
bin Muhammad bin Abdullah
|
Ar-
Rasyid
|
170-
193 H/ 786- 808 M
|
6.
|
Muhammad
bin Harun bin Muhammad
|
Al-
Amien
|
193-
198 H/ 808- 813 M
|
7.
|
Abdullah
bin Harun bin Muhammad
|
Al-
Makmun
|
198-
218 H/ 813- 833 M
|
8.
|
Muhammad
bin Harun bin Muhammad
|
Al
Mu’tasim
|
218-
227 H/ 833- 841 M
|
9.
|
Harun
bin Muhammad bin Harun
|
Al-
Watsiq
|
227-
232 H/ 841- 846 M
|
10.
|
Ja’far
bin Muhammad bin Harun
|
Al-
Mutawakkil
|
232-
247 H/ 846- 861 M
|
1.
Abu
Al-Abbas as- Safah(132 – 136 H/750- 754 M)
Abu
Al-Abbas as-Safah (the blood- shedder: penumpah darah) merupakan pendiri Dinasti
Abasiyah yang sejati. Sebelumnya, ia merupakan pemimpin pasukan yang
menghancurkan pasukan Marwan II dari Dinasti Umayyah. Dia mendeklarasikan
pemerintahannya di Masjid Khuffah pada bulan Rabiul Awwal tahun 132 H/ 749 M.
di hadapan para pengikutnya.[10] Pada
masa pemerintahannya, yang menjadi perioritas awal yaitu mengikis habis
keturunan Umayyah , lalu mengkonsolidasi kekuatan serta menjalankan landasan
yang kokoh bagi kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Kalau kita perhatikan maka akan
kita dapatkan bahwa pemerintahan yang dia pimpin bersandar pada tiga hal utama.
Pertama, pada keluarganya. Sebab,
dia memiliki paman, saudara- saudara dan anak- anak saudara dalam jumlah besar.
Mereka menyerahkan kepemimpinan dan pemerintahan wilayah kepadanya. Demikian
pula dalam masalah nasihat dan musyawarah.
Kedua, Abu Muslim Al-
Khurasany. Dia adalah panglima perang yang jempolan.
Dengan kekuatan dan tekadnya yang kokoh, dia mampu menaklukkan Khurasan dan
Irak. Sehingga, membuka jalan yang lapang bagi berdirinya pemerintahan
Abbasiyah.
Ketiga, fanatisme golongan. Dia
muncul pada akhir-akhir dan melemahnya pemerintahan Umawiyah. Peluang ini
ditangkap dengan manis oleh Bani Abbasiyah. Mereka bersama- sama dengan Yumaniyun
bergerak melawan Qasyiyun yang berpihak kepada Bani Umawiyah.
Sesuai dengan sumpahnya yang diucapkan semasa
diangkat menjadi khalifah, maka dia menjalankan sumpahnya dengan menghabiskan
keturunan Umayyah dan dengan sifatnya yang kejam ini menimbulkan pengaruh yang besar
hingga ke wilayah Asia, Mesir dan Afrika Utara. Masa pemerintahannya tidak
terlalu lama, hanya sekitar 4 tahun saja. Beliau meninggal pada tahun 754 M.dan
penggantinya Abu Ja’far al-Manshur.
2. Abu Ja’far Al Manshur
(137-159 H/754-775 M)
Sebelum Abu al- Abbas al-Saffah
wafat, ia menetapkan saudaranya Abu Ja’far sebagai penggantinya, oleh karena itu
tak lama kemudian Abu Ja’far segera menggantikan posisinya. Dia seorang yang
paling terkenal dari penguasa Bani Abbasiyah dengan keberanian, ambisi, keras
hati, cerdik, kuat kemauan dan bijak. Sebelum menjadi khalifah dia menjadi Gubernur
wilayah Armenia dan Azarbaijan.
Kekuasaan
al-Manshur ini diwarnai dengan berbagai pemberontakan yang dilancarkan oleh Abdullah ibn Ali, pamannya sendiri yang saat
itu menjabat sebagai gubernur di Daerah Syria tetapi kemudian pemborantakan ini
berhasil dilumpuhkan . Selain itu dia dengan keras menghadapi lawan-lawanya
dari Bani Umayyah , Khawarij , dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari
kekuasaan. Selain itu, pemberontakan juga terjadi di daerah Khurasan, Madinah, Basrah
dan sebagainya.
Al-Manshur
harus menghadangi pemberontakan-pemberontakan yang berbahaya yang bisa saja
menggoyangkan kursi kedudukan dan mengguncang jiwa. Namun, dia tidak bergeming
dengan semua pemberontakan tersebut. Dengan segala kecerdikan, keuletan,
kemahiran, dan siasatnya, dia berhasil membabat semua pemberontakan itu. Diantara
gerakan pemberontak yang penting adalah sebagai berikut :
- Pemberontakan
Ali bin Abdullah bin Ali
- Pembunuhan
Abu Muslim Khurasani
- Pemberontakan
Muhammad dan Ibrahim
- Khawarij
Setelah
berhasil mengamankan situasi politik, al-Manshur mencanangkan pembangunan di
Bagdad pada tahun 146 H, selama empat tahun dan menjadikannya Bagdad sebagai
pusat kota dari imperium Abbasiyah. Beliau juga mendirikan kota Rafiqoh dan
memperluas Masjidil Haram pada tahun 139 H/ 756 M. Al-Manshur yang memerintah
selama lebih kurang 21 tahun tersebut memiliki prestasi besar dalam
mengkonsolidasikan situasi politik. Ia merupakan pendiri Dinasti Abbasiyah ke
dua setelah Abu al-as-Saffah . Selain itu juga ia memiliki karakter yang bertentangan, ia seorang yang
alim dan shaleh, sementara di saat lain ia seorang yang keras dan tegas dalam
menegakkan kebenaran dan keadilan.
Semasa
pemerintahannya, dikembangkan tata kehidupan pola Barat. Pakaian kebesaran yang
digunakan yaitu pakaian Persia. Para pakar dan tokoh ulama memiliki tempat yang
strategis dan dianggap sebagai seorang yang memiliki martabat paling tinggi
pada masa ini.
Selain
seorang khalifah, dia juga seorang ahli seni, dan cakap dalam berbagai ilmu
pengetahuan, disamping itu ia memiliki yayasan wakaf yang didirikannya untuk
mengembangkan keilmuan yang diantaranya berhubungan dengan kepustakaan,
sejarah, kedokteran dan astronomi.
Pada
tahun 158 H. al-Manshur berangkat untuk menunaikan haji. Tetapi ditengah
perjalanan beliau diserang penyakit dengan tiba-tiba sehingga membawa maut sebelum sempat memasuki
Kota Makkah. Yaitu pada tanggal 6 Zulhijjah 158 H.
3. Al-Mahdi (158-169
H/775-785 M)
Setelah ayahandanya al-Manshur meninggal
pada tahun 158 H, ia menggantikan ayahnya, al-Manshur. Ia merupakan pemimpin
yang sangat dermawan dan pemurah serta banyak memberikan hadiah. Hal ini
ditandai dengan membebaskan tahanan-tahanan yang dikurung semasa ayahnya masih
berkuasa. Ia sering membagi-bagikan pakaian kepada orang-orang miskin di
Mekkah, bahkan ia memberikan tunjangan kepada masyarakat miskin, membangun
sejumlah jalan yang dilengkapi dengan sumber mata air dan tempat berteduh untuk
kenyamanan para jemaah yang sedang melaksanakan ibadah haji dan al-Mahdi juga
memperluas Masjidil Haram.
Kekayaan
yang ditinggalkan ayahnya dipergunakan untuk membangun kota-kota di berbagai
daerah dengan megahnya sehingga kota-kota tersebut menjadi pusat perdagangan
dunia pada masa itu. Kemajuan sastra, musik dan filsafat mewarnai kemegahan
pemerintahan ini. Selain itu, ia juga melindungi keluarga dan keturunan Ali
yang sebelumnya diperlakukan secara tidak wajar oleh para pemimpin sebelumnya.
Pemerintahan
al-Mahdi merupakan masa yang penuh dengan kemakmuran. Dan kondisi dalam negeri
saat itu sangat stabil dan tidak ada satu gerakan penting dan signifikan di
masanya. [11] Ia
telah memajukan bidang pertanian dan perdagangan. Kemakmuran ini tercium hingga
ke wilayah daratan Timur Jauh. Kaisar China, Kaisar Tibet menjalin kerjasama
yang baik dengan khalifah yang satu ini. Dia meninggal pada tahun 169 H/ 785 M
dan memerintah selama 10 tahun beberapa bulan.
4. Al-Hadi (169-170 H/785-786 M)
Setelah mengangkat al-Mahdi, naiklah anaknya
yang tua bernama al-Hadi. Dia selalu mengincar orang-orang zindiq dan melakukan
tindakan yang tegas atas mereka sebagaimana yang dilakukan oleh ayahnya. Dinasti
Abbasiyah ini diduduki oleh al-Hadi. Pada masa pemerintahannya yang amat singkat, dia
tidak mampu memunculkan kemajuan yang berarti. Hanya saja pengaruh
Persia pada masa kekhalifahannya masih sangat dominan. Pada masa itu terjadi
pemberontakan oleh Husein bin Ali ibnul Husen ibnul hasan bin Ali di Mekkah dan
Madinah. Al- Hadi meninggal pada tahun 170 H/ 786 M. Beberapa sejarah
menyebutkan bahwa ibunya yang bernama Khairuzan merencanakan pembunuhannya.
Sebab, dia telah meminggirkan sang ibu dari pengaruh dan otoritas yang pernah
dimainkannya di masa pemerintahan suaminya, al-Mahdi. Masa pemerintahannya hanya
selama 1 tahun 3 bulan.
5. Harun al- Rasyid (171-194 H/789-809 M).
Setelah mengangkat al-Mahdi, naiklah
saudaranya Harun al- Rasyid, Ia menduduki jabatan sebagai khalifah selama lebih
23 tahun. Harun al-Rasyid merupakan pemimpin besar pada saat itu. Perkembangan
Dinasti Abbasiyah ini sebenarnya mengalami titik puncak kemasyhuran pada
kekhalifahan Harun. Ia mengundang seluruh ahli dari masing-masing bidang ilmu
pengetahuan untuk menggali sedalam-dalamnya dengan mendirikan lembaga
pendidikan.
Zaman Khalifah Harun ar-Rasyid merupakan
puncak kegemilangan pemerintahan Abbasiyah atau paling gemilang dalam sejarah
Islam. Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan
sosial, rumah sakit, Lembaga-lembaga pendidikan, kedokteran, dan farmasi . Pada
masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu,
pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi
terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial. Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan, dan Kebudayaan serta Kesusastraan , serta mendirikan Khizanat al-Hikmat yang berfungsi
sebagai perpustakaan , tempat penerjemah , dan penelitian. Pada masanya
berkembang ilmu pengetahuan , baik ilmu pengetahuan umum maupun ilmu
pengetahuan agama, seperti ilmu al-Quran , Hadits, Fiqh, Kalam, bahasa dan
sastra. Empat mazhab fiqh tumbuh dan berkembang pada masa Abasiyah ini.
Disamping itu berkembang pula ilmu filsafat, logika, metafisika, matematika ,
ilmu alam, geometri , aljabar, aritmatika, mekanika, astronomi, musik,
kedokteran dan kimia.ilmu-ilmu umummasukke dalam islam melalui terjemahan dari
Bahasa Yunani dan Persia ke dalam Bahasa
Arab.
Khalifah
Harun merupakan penguasa yang paling kuat di dunia pada masa itu, tidak ada
yang menyamainya dalam hal kekuasaan wilayah yang diperintahnya, dan kekuatan
pemerintahannya serta ketingian kebudayaan dan peradaban yang berkembang di
negaranya. Pada masa pemerintahannya berkumpul para seniman di Bagdad seperti
Abu Nawas , salah seorang penyair yang terkenal, dan dihasilkan pula karya seni sastra seperti
AfiLailah wa Lailah, “Seribu Satu Malam” yang diterjemahkan ke dalam Bahasa
Inggris menjadi The Arabian Night.
Baghdad
sebagai ibu kota kekhalifahan Abbasiyah yang didirikan oleh khalifah al-Mansyur
yang sebelumnya bertempat di kota Damaskus berpindah ke Hasyimiyah, kemudian di
pindahkan ke Baghdad, mencapai puncak kejayaannya di masa Harun Ar-Rasyid. Pada
masa inilah Negara Islam menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak
tertandingi.
Sebelum
meninggal dia mewariskan kekuasaannya kepada kedua anaknya, al- Amien dan al-
Makmun. Harun meninggal pada tahun 193 H/ 808 M.
6. Al-Amien (194-198
H/809-813 M)
Ia merupakan putra mahkota yang ditunjuk
oleh Harun al-Rasyid selain al-Ma’mun, satu perbedaan yang mencolok yaitu sifat
diantara keduanya. Al- Amin cenderung suka berpesta pora dan foya-foya sehingga
lengah dalam urusan pemerintahannya. Sementara itu al-Ma’mun yaitu seorang yang
memiliki gairah menuntut ilmu yang tinggi dan cenderung intelek. Sifat yang
kontra ini kemudian mengakibatkan timbulnya dukungan yang melahirkan dua kubu
yang masing-masing memiliki dukungan terhadap salah satu pihak.
Secara
asasi, sebenarnya keberpihakan diantara masing-masing pengikut mereka
disebabkan oleh keturunan kedua putra mahkota ini. Al-Amin merupakan putra
Zubaydah, permaisuri Harun Ar-Rasyid dari keturunan Arab, sementara al-Ma’mun merupakan
putra dari permaisuri yang berasal dari keturunan Persia. Hal inilah yang
kemudian menyebabkan permusuhan diantara keduanya yang berujung pada peperangan
saudara.
Masa
pemerintahan al-Amin berjalan selama lebih kurang 4 tahun yang diwarnai dengan
berbagai kekacauan. Al-Amin sebagai
khalifah sama sekali tidak menjalankan urusan pemerintahan yang semestinya
menjadi tanggung jawabnya selaku pemimpin dinasti ini. Al Amien dibunuh pada
tahun 198 H/ 813 M.
7. Al-Ma’mun (198-218
H/813-833)
Al-Ma’mun merupakan salah seorang tokoh
Khalifah Abbasiyah yang terkemuka. Ia seorang intelek dan kecintaannya kepada
ilmu pengetahuan, serta jasa-jasanya di bidang
tersebut yang meletakkan dirinya di puncak daftar khalifah-khalifah
Abbasiyah. Pada pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan, ia
banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting yaitu Bait al-Hikmah. Di Baitul Hikmah beliau mengumpulkan
berbagai ilmu pengetahuan asing, pada masa itulah, muncul Filsuf Arab yang
agung, yaitu al-Kindi yang telah menulis
mengenai beberapa ilmu pengetahuan, al-Hajaj
bin Yusuf bin Mart telah menterjemahkan
untuk al-Ma’mun beberapa buah buku karya Euclides dan buku Ptolemy.
Khalifah
al-Ma’mun yang berbasis pengikut dari Persia mengalami kemajuan di berbagai
bidang , baik ilmu agama maupun ilmu umum. Ketika al-Ma’mun memerintah timbul
masahah agama yang pelik, yakni faham apakah al-Quran itu mahluk atau bukan.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa
al-Quran itu mahluk, dan itu pulalah pendapat Khalifah, sehingga ia menggunakan
kekerasan untuk mempertahankan pendapatnya itu. Kalangan ahlus sunnah dan ahlul
hadist yang dipimpin oleh Imam Ahmad ibnu Hambal menolak pendapat itu, maka
mereka mendapat tekanan dan penderitaan di masa itu.
Peristiwa-
peristiwa penting pada masa pemerintahannya antara lain[12] :
- Pemberontakan
Baghdad dan penunjukan Ibrahim Al-Mahdi sebagai Khalifah.
- Al-
Khurramiyah (salah satu madzhab kaum zindiq)
- Fitnah
bahwa Al Qur’an adalah makhluk.
Al-
Makmun meninggal pada tahun 218 H/ 833 M setelah berkuasa 20 tahun.
8. Al-Mu’tasim (218-227
H/833-845 M)
Pada masa pemerintahannya, ia memberi
peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan,
keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa
daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan.
Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti Tentara dibina
secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan
militer dinasti Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Walau
demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari
kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar . Gerakan-gerakan itu seperti
gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan
internal Bani Abbasiyah, revolusi al-Khawarijdi Afrika Utara, gerakan
Zindik di Persia, gerakan Syi’ah,dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan.
Semuanya dapat dipadamkan.
Khalifah
al-Mu’tasim wafat pada tahun 227 H. Setelah beliau melantik anaknya al-Watsiq
sebagai putra mahkota, bakal penggantinya.setelah memerintah selama 9 tahun.
9. AL-Watsiq (227-232 H).
Setelah
al-Mu’tasim meninggal, maka kekhalifahan diganti oleh putranya bernama Harun
al-Watsiq Billah. Khalifah ini meneladani ayahnya tentang memberikan kelebihan
kepada bangsa Turki. Di zamannya terjadi pemberontakan kaum khawarij di Hizaz dan
bangsa kurdi di Mosul. Di beberapa negeri di tanah Arab dan Syria timbul pula
huru hara. Maka oleh kekacauan yang berjangkit di mana-mana itu, lahirlah satu
gerakan di Baghdad menuntut turunya al-Wasiq dari tahta khalifah.
Pada
masa al-Watsiq orang-orang Turki menambah kekuataanya didalam tubuh
pemeritahan. Tindak kejahatan korupsi merajalela pada masa tersebut. Ia tidak
mau menetapkan putra mahkota sebagaimana para khalifah terdahulu sebelum
meninggal tahun 232 H/ 846 M. Dengan wafatnya al-Watsiq, maka berakhirlah
periode pertama Bani Abbasiyah yang didalamnya terjadi masa kejayaan. Beliau
memerintah selama 5 tahun.
10. Al- Mutawakkil (232- 247 H/ 846- 861 M)
Dia
bernama Ja’far bin Muhammad al-Mu’tasim. Diangkat sebagai khalifah setelah
saudaranya al-Watsiq. Dia didudukkan oleh orang- orang Turki dimana saat itu
kunci kekuasaan telah berada di tangan mereka. Ja’far Al- Mutawakkil melarang
keras pendapat bahwa Al Qur’an adalah makhluk. Dia menghapus bid’ah ini dan
sangat menaruh hormat kepada Imam Ahmad bin Hanbal.
Al-
Mutawakkil dibunuh pada tahun 247 H/ 861 M. Dia menjadi khalifah selama lima
belas tahun.
C. Kemajuan Dinasti Abbasiyah.
Masa
kekuasaan Dinasti Abbasiyah merupakan zaman keemasan peradaban Islam. Berkembangnya
pemikiran intelektual dan keagamaan pada periode ini antara lain karena
kesiapan ummat Islam untuk menyerap budaya dan khazanah peradaban dan
mengembangkannya secara kreatif.
Pada
periode ini sikap ummat islam yang terbuka terhadap seluruh ummat manusia
mendorong orang-orang non Arab (mawalli)
untuk masuk Islam. Kelompok ini ikut memberikan sumbangan bagi kemajuan
peradaban. Para ilmuwan pada masa ini menduduki posisi penting. Perluasan Islam tidak saja telah memperbanyak
penganut Islam, tetapi ikut juga membangun sebuah bentuk peradaban Islam .
Perluasan wilayah Islam ini dalam waktu yang begitu singkat memberikan
kesempatan bagi ummat Islam untuk belajar dari bebagai kelompok masyarakat yang
telah memiliki tradisi keilmuan yang maju. Dalam waktu yang bersamaan. Hal ini
juga menjadi tantangan bagi para ulama untuk mempertahankan dan membela
agamanya. Serangan dan tantangan berbagai agama yang telah lama berkembang
sebelum Islam, dengan sistem teologi dan tradisi keagamaanya yang khas, telah
mendorong para ulama untuk menyusun dasar-dasar keyakinan (teologi) dan hukum
Islam , fiqh, ushul fiqh mengalami perkembangan . Kontak ummat Islam dengan
ummat yang memiliki peradaban lain yang sangat maju, seperti India, Mesir, dan
Yunani, mendorong ummat Islam untuk
menyerap khasanah peradaban tersebut.
Faktor
ajaran Islam sendiri juga menjadi penting bagi pengembangan peradaban. Al-Quran
sebagai sumber normatif, memiliki posisi yang sangat khusus dan memainkan
peranan sentral dalam kehidupan kaum muslimin, karena senantiasa menjadi sumber
inspirasi keagamaan dan keilmuan. Disamping itu, pada abad ke-9. Hadits juga
telah mendapatkan kedudukan penting dalam kehidupan keagamaan muslim.
Kehidupan intelektual di Zaman Dinasti Abbasiyah diawali dengan
berkembangnya perhatian pada perumusan dan penjelasan panduan keagamaan
terutama dari dua sumber (al-Qur’an dan Hadits). Dari dua sumber utama ini,
ilmu-ilmu lain kemudian berkembang. Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Ilmu-ilmu Hadits
adalah serangkai seri pengetahuan yang menjadi
pokok perhatian dan fokus pendidikan
ketika itu. Ilmu Tafsir merupakan ilmu yang sangat penting bagi perkembangan keagamaan dan keilmuan umat Islam. Diantara buku-buku
Tafsir yang ditulis pada periode ini dan masih menjadi rujukan hingga sekarang
yaitu kitab al-Jami al-Bayan yang
ditulis oleh at-Tabari (225 H/839 M-310-310 H/923 M), al-Kassyaf oleh
az-Zamakhsyari (467H/1075M-538 H/1144M), dan Mafatih al-Gaib oleh Fakhruddin
ar-Razi (543 H/1149 M-606 H/1189M. Disamping itu, berbagai koleksi hadits juga
dilakukan oleh para ulama. Pada awalnya, hadits dikumpulkan berdasarkan pada
perawinya. Metode pengumpulan hadist seperti ini disebut al-Musnad yang paling
terkenal yaitu yang dihimpun oleh Ahmad bin Hambal, kemudian hadits juga
disusun sesuai dengan isinya dan dibagi
atas bab-bab tertentu yang terkait dengan pembahasan fiqh. Kumpulan seperti ini
sering disebut Musannaf. Ada enam dari
kitab jenis ini yang secara umum diakui oleh mayoritas umat Islam yang dikenal
al-Kutub as-Sittah (kitab yang enam). Keenam pengumpul hadits yang hidup di
zaman Dinasti Abbasiyah ini yaitu Bukhari (256H/870M), Muslim (261H/875M) Abu
Dawud (275H/888M). at-Tirmizi (279H/892M),an-Nasa’I (303H/915M), dan Ibnu Majah
(273H886M)
Sejak itu bangunan peradaban Islam
era Abbasiyah antara lain sangat diwarnai oleh pesatnya perkembangan berbagai
cabang Ilmu Pengetahuan. Secara terperinci di bawah ini sejumlah cabang ilmu
pengetahuan yang berkembang saat itu Sastra dan Sejarah
Masyarakat Arab sangat membanggakan
kesusastraan dan asal-usul mereka . Oleh karena itu, untuk memahami sumber
ajaran agama , ada dua cabang ilmu pengetahuan yang menjadi fokus perhatian,
yaitu Ilmu Bahasa Arab dan Sejarah.
Disamping kepada sastra, perhatian
kepada sejarah juga sudah membudaya di kalangan bangsa Arab bahkan
sejak era sebelum Islam. Bagian sejarah yang paling penting yaitu
riwayat Nabi Muhammad SAW. Sebagian besar sejarawan periode Abbasiyah
mempelajari dan menulis tentang sejarah hidup Nabi SAW (Sirah). Salah satu sirah
yang terkenal yaitu yang ditulis oleh Muhammad bin Ishaq (w.150H/767M).
Ilmu-
ilmu Agama
Ilmu-Ilmu
Agama, kemajuan peradaban Islam era Abbasiyah ini juga ditandai dengan
berkembangnya ilmu-ilmu keislaman lain yang meliputi teologi /Ilmu Kalam dan
Fiqh. Para Khalifah dan pembesar lain mendorong bahkan mensponsori aliran
teologi yang sesuai dengan pemahamannya .Disamping itu pada tahun 143 H,
barulah para ulama Islam menyusun hadits, Fiqh, Tafsir, buku-buku Arab, dan
Sejarah. Diantara penyusun yang terkemuka yaitu Imam Malik yang menyusun buku
al-Muwatta, dan Abu Hanifah yang menyusun fiqh. Khalifah Abu Ja’far al-Mansur
yang telah memainkan peranan penting di dalam mengarahkan para ulama di bidang
ini.
Di antara buku-buku yang paling baik
mengenai tasyri, fiqh, dan pemerintahan
yaitu buku al-Kharaj, yang disusun oleh Abu Yusuf. Di dalam buku ini,
penyusunannya membicarakan tentang:
- Keterangan mengenai sumber-sumber
pendapatan Negara menurut ajaran Islam.
- Cara yang paling ideal mengutip
sumber-sumber tasri dan fiqh
- Tugas-tugas yang wajib dijalankan oleh Baitul
Mal.
Dari
aspek hukum, pada periode ini juga timbul puluhan aliran atau mazhab .Ada empat
(4) mazhab besar yang bertahan di kalangan Suni yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’I
dan Hambali. Mazhab ini lebih diatributkan
kepada tokoh pemikir terbesarnya yaitu Imam Abu Hanifah (699-767), Imam
Malik bin Anas(715-795), Imam Muhammad Idris as-Syafi’I (820), dan Imam Ahmad
bin Hambal (855). Disamping itu, juga dikenal Abu Yusuf (798), murid Imam Abu
Hanifah,dan Dawud bin Khallaf (833), yang menjadi pelopor aliran tekstualis
(Mazhab Zahiri).
Ilmu Kedokteran
Salah
satu ilmu yang sangat menarik perhatian umat Islam yaitu ilmu kedokteran (at-Tabib).
Lembaga Pelatihan Perobatan peninggalan Bizantium di Antiokia dan Harran di Suriyah
serta di Iskandariyah dibangkitkan kembali. Semakin banyaknya kitab
kedokteran yang diterjemahkan ke dalam
Bahasa Arab bermuncullanlah dokter muslim yang secara terus menerus mendalami
dan mengembangkannya. Diantara para dokter tersebut yaitu Muhammad bin Zakaria ar-Razi (Rhases) .
Disamping itu dikenal juga Ali Abbas , yang wafat 944. Ia menyusun sejenis
ensiklopedi kedokteran yang disebutnya Kitab al-Maliki . Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan
judul Liber Regius dan ke Bahasa
Inggris dengan judul The Whole Medical
Art. Buku ini menjadi buku rujukan di Barat hingga menjelang zaman modern.
Ketenaran buku ini hanya bisa ditandingi oleh karya Ibnu Sina (Avicena:980-1037)
yang berjudul al-Qanun fi at-Tibb (Canon
of Medicine).
Ilmu
kedokteran bukan saja diterapkan untuk pribadi dan golongan elit, akan tetapi juga diterapkan
melalui berbagai rumah sakit yang tersedia. Harun ar-Rasyid juga pernah
mendirikan rumah sakit megah di Kota Bagdad. Pada abad berikutnya di Bagdad
terdapat lima rumah sakit. Beberapa darsa warsa
kemudian, terdapat klinik berjalan (mobil hospital). Rumah sakit ini
bukan saja tempat merawat orang sakit,
tetapi juga berfungsi sebagai sekolah
tinggi Ilmu Kedokteran dan perobatan. Rumah sakit dan sekolah kedokteran atau perobatan ini merupakan bagian sistem
pendidikan Islam yang berkembang pesat pada masa ini.
Matematika dan Astronomi.
Pada
masa ini matematika dan astronomi juga berkembang. Karya Laudius Ptolemaeus
(ahli astronomi sekitar 100-178), Megale
Syintaxis, diterjemahkan atas
perintah Khalifah al-Ma’mun oleh al-Hajaj bin Yusuf yang sebelumnya juga menghadiahkan terjemahan kitab Elements karya Euclides (ahli matematika sekitar 300SM kepada
khalifah Harun ar-Rasyid. Pengetahuan umat Islam dalam bidang ini juga
diperkaya dengan warisan ilmu dari India. Muhammad bin Ibrahim al-Fazari,
penerjemah pada masa khalifah al-Ma’mun, misalnya menyadur buku astronomi India
terkenal Zij as-Sindhind (table
astronomi). dan mempersembahkannya kepada khalifah al-Mansur. Adapun
ringkasannya, yang disampaikan kepada khalifah
al-Ma’mun, disusun oleh Muhammad
bin Musa al-Khawarizmi (780-850), seorang ahli matematika dan geografi
terkemuka, yang juga menyadur kitab Geografhike
Hypogesisnya Laudius Ptolemaeus. Setelah
menguasai ilmu-ilmu warisan Yunani dan India ini, al-Khawarizmi
menuangkan hasil penelitian dan pemikiran yang gemilang dalam bidang aljabar,
yang menebalkan namanya hingga saat ini dalam istilah al-goritma. Ia juga
berhasil memperbaiki tabel astronomi Ptolemaeus atas dasar pengamatannya di
Bagdad dan di Damaskus.
Berkembangnya cabang ilmu
pengetahuan tersebut di atas tampak semakin pesat antara lain karena memang
khalifah menyediakan fasilitas yang memadai. Usaha pengumpulan naskah asing dan
penerjemahannya ke Bahasa Arab terus digalakkan. Meluasnya usaha ini banyak
disebabkan oleh dukungan khalifah al-Ma’mun dan khalifah sesudahnya al-Ma’mun
mengembangkan lembaga Baitul hikmah atau graham kebijaksanaan, yang sudah
dirintis oleh khalifah Harun ar-Rasyid, menjadi pusat segala kegiatan keilmuan.
Di lembaga ini para penerjemah, baik muslim maupun non muslim, bekerja mengalih
bahasakan berbagai naskah kuno dan
menyusun berbagai penjelasan serta komentarnya. Di lembaga ini juga, Abu Yusuf
Ya’kub al-Kindi (801-869), menggali dan menyiarkan kembali Filsafat Yunani dan
juga memperluas horizon pemikiran umat Islam. Perhatian keilmuannya mencakup
bidang yang sangat luas, tidak saja masalah logika, tetapi juga sejarah alam,
meteorology serta kimia, bahkan ilmu kemiliteran.
Pemikiran al-Kindi, satu-satunya
filsuf muslim yang berasal dari Arab yang menonjol hingga sering dijuluki the Philosopher of the Arabs,
dikembangkan lebih lanjut oleh Abu Bakar
ar-Razi (864-926). Pemikir muslim lain yang terkenal yaitu Abu Nasr al-Farabi
(870-950). Ia merintis bahasa Arab menjadi wacana filosofis, termasuk memasukan
unsur-unsur logika Aristoteles. Dalam bukunya al-madinah Fadilah (kota utama) ia berupaya mensintensakan filsafat
politik Plato dengan pemikiran politik Islam. Filsafat Islam mencapai perkembangan yang menakjubkan pada
pemikiran Ibnu Sina (980-1037). Ia
disamping seorang filsuf, dikenal juga sebagai seorang dokter yang andal.
Pada era ini, tidak sedikit sarjana
muslim yang memiliki pengetahuan ensiklopedi bermunculan. Misalnya Abu Raihan
al-Biruni (973-1048) tidak saja dikenal sebagai seorang ahli agama, tetapi juga
sebagai arsitek yang berhasil merancang pengaturan aliran Sungai Nil untuk
menanggulangi bahaya banjir tahunan. Ia juga seorang ahli matematika dan
kedokteran. Hasil penemuannya dalam bidang oftika diciptakannya lensa dan
mikroskop pada masa berikutnya. Albiruni juga dikenal sebagai filsuf muslim
yang menggali pemikiran filsafat India. Sarjana lain yang cukup terkenal yaitu
Ibnu Maskawaih (w.421H/1030M) yang mengupas masalah moral bukan terutama
sebagai bagian dari ilmu akhlak, Tasawuf, dan Fiqh,melainkan sebagai persoalan filsafat.
Hal ini bisa dijumpai dalam bukunya Tahzib
al-Akhlaq (Pemurnian Moral).
Selanjutnya selain Baitul Hikmah
juga disediakan berbagai lembaga yang diharapkan bisa menunjang kegiatan
keilmuan. Diantara lembaga tersebut yaitu Pendidikan, masjid, yang ditemukan di
setiap sudut kota dan dalam komunitas
muslim, juga merupakan pusat pendidikan. Masjid utama (masjid jami) di setiap
kota, disamping merupakan pusat kegiatan ibadah, juga merupakan lembaga
pendidikan tinggi yang menyediakan sarana pendidikan ,termasuk asrama dan
beasiswa bagi para penuntut ilmu. Selain itu mengingat pentingnya ilmu
astronomi bagi umat Islam, Khalifah al-Ma’mun juga mendirikan observatorium di
Sinjar. Beberapa tahun kemudian, fasilitas yang sama juga didirikan di Bagdad
dan Jundishapur. Atas jasa al-Ma’mun ini, para astronomi muslim mempersembahkan
hasil penelitian mereka yang dikenal dengan Daftar al-Ma’mun kepada Khalifah.
Filsafat Islam
Bagi
orang Arab, filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran dalam arti yang
sebenarnya. Secara khusus, nuansa filsafat mereka berakar pada tradisi filsafat
Yunani, yang dimodifikasi dengan pemikiran para penduduk di wilayah taklukan,
serta pengaruh- pengaruh lainnya, yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam,
dan diungkapkan dengan bahasa Arab. Orang Arab percaya bahwa karya-karya
Aristoteles merupakan kodifikasi filsafat Yunani yang lengkap.
Filosof
pertama, al- Kindi, atau Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq, lahir di Kufah sekitar
801, lalu tinggal dan meninggal di Baghdad tahun 873. Al- Kindi lebih dari
sekedar seorang filosof. Ia ahli perbintangan, kimia, ahli mata, dan musik.
Tidak kurang dari 361 buah karya dinisbatkan kepadanya, namun sayangnya
kebanyakan dari karya-karyanya itu tidak bisa ditemukan. Karya utamanya tentang
ilmu optic geometris dan fisiologis, yang didasarkan pada buku optics karya
Euclid, digunakan secara luas di barat dan timur, sehingga akhirnya digantikan
oleh buku karya Ibn al- Haytsam.
Proyek
harmonisasi antara filsafat Yunani dengan Islam, yang dimulai oleh Al- Kindi,
seorang keturunan Arab, dilanjutkan oleh al-Farabi, seorang keturunan Turki,
dan disempurnakan di dunia Timur oleh Ibnu Sina, seorang keturunan Suriah. Nama
lengkapnya, Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan Abu Nashr al- Farabi dilahirkan
di Transoxiana, dididik oleh seorang dokter Kristen dan penerjemah Kristen
Baghdad, dan hidup sebagai seorang sufi di Aleppo dalam istana sayf al-Dawlah al-Hamdani. Ia meninggal di Damaskus tahun 950 pada usia sekitar 80
tahun.
D.
Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Berakhirnya
kekuasaan dinasti Saljuk atas Baghdad atau khalifah Abbasiyah merupakan awal
dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada
dibawah kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam
berdiri. Ada diantaranya dinasti yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah
dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali,
tetapi hanya di Baghdad sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini
menunjukan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan tatar
menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan
yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini adalah awal
babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Fase
kemunduran ini dimulai pada masa Abbasiyah I dimana pada masa ini sudah banyak
daerah- daerah yang sudah tidak menghiraukan lagi pemerintahan pusat kecuali
pengakuan secara politis saja dan juga kekuasaan militer sudah berkurang
pengarunya karena para panglima di daerah sudah sendiri dan bahkan mereka sudah
membentuk tentara sendiri- sendiri sehingga pada masa itu sudah putus ikatan
politik antara daerah- daerah dengan pemerintahan pusat. Di antara daerah-
daerah yang memisahkan diri ialah:
1.
Afrika Utara yang
bermadzhab syi’ah isma’iliyyah telah membentuk kerajaannya dengan nama dinasti
Fathimiyah dengan pemimpinnya Ubaidillah al- mahdi dan kota Mahdiah sebagai
pusat kerajaan.
2.
Mesir, dikuasai oleh
Muhammad Ikhsid yang berkuasa atas nama dinasti Abbas dari unsur Turki,
kemudian disaingi oleh dinasti Hamdaniyah dari unsur Arab yang kemudian
dikuasai oleh dinasti Buwaiyyah dari unsur Persia.
3.
Yaman, yang dikuasai
oleh aliran Syi’ah Zaidiyah berhasil memisahkan diri dan memperkokoh posisinya
di kota tersebut.
4.
Bukhara, dikuasai
oleh dinasti Samaniyah.
5.
Maghribi, dikuasai
oleh dinasti Idrisiyah dari unsur Arab.
6.
Kurdistan, dikuasai
oleh dinasti Dulafiyyah dari unsur Arab.
7.
Persia, dikuasai oleh
dinasti Syafariyah dari unsur Persia.
8.
Jarjan, dikuasai oleh
dinasti Ziariyyah dari unsur Turki.
9.
Afghanistan dan
India, dikuasai oleh dinasti Khazanawiyah dari Unsur Turki.
Selain
daerah-daerah tersebut yang memisahkan diri dari pemerintahan pusat masih
banyak lagi sebab-sebab kemunduran Dinasti Abbasiyah yaitu berebutnya pengaruh
dari para mawally yang pada saat itu banyak dijadikan sebagai pengawal
khalifah. Diantara para mawally yang berpengaruh tersebut ialah:
1.
Turuna Persia, yang
pada masa Abbasiyah I sudah banyak yang memegang jabatan dalam pemerintahan.
2.
Turunan Ruum, yaitu
unsur-unsur bangsa Arab yang terdapat pada kerajaan Romawi Timur yang
berbatasan dengan Dinasti Abbasiyah.
3.
Turunan Turki, pada
masa Abbasiyah II banyak dijadikan sebagai tentara perang bahkan panglima
perang oleh para khalifah sampai banyak para khalifah yang tergantung pada
turunan Turki ini.
4.
Turunan Zanji, yaitu
bangsa kulit hitam yang datang dari pantai Afrika Timur.
Sebagaimana
dalam periodisasi khalifah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode
kedua, namun demikian faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara
tiba-tiba, benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya khalifah
pada saat periode ini sangat kuat, benih-benih ini tidak sempat berkembang.
Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbasiyah terlihat bahwa apabila khalifah kuat,
para menteri cenderung berperan sebagai pegawai sipil, tetapi jika khalifah
lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan. Disamping kelemahan
khalifah, banyak faktor yang menyebabkan dinasti Abbasiyah menjadi mundur,
masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa adalah
sebagai berikut :[13]
1. Persaingan Antar Bangsa
Khilafah
Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia.
Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa
Dinasti Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah
Abbasiyyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu.[14]
2. Kemerosotan Ekonomi
Dinasti
Abbasiyyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonomi bersamaan dengan
kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Dinasti Abbasiyah
merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar,
sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh
dari al-Kharaj, semacam pajak dan hasil bumi.[15]
Setelah
dinasti memasuki periode kemunduran, pendapatan Negara menurun, sementara pengeluaran
meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan Negara itu disebabkan oleh makin
menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu
perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil
yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran
membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat
semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam, dan para pejabat melakukan
korupsi.
3. Konflik Keagamaan[16]
Fanatisme
keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang
Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Gerakan ini
dikenal dengan gerakan Zindiq yang menyebabkan menurut para khalifah dan
orang-orang yang beriman harus diberantas, sehingga menyebabkan konflik
diantara keduanya, mulai polemik tentang ajaran hingga berlanjut kepada konflik
bersenjata yang menumpahkan darah dari kedua belah pihak.
Pada
saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung dibalik ajaran
Syi`ah, sehingga banyak aliran syi`ah yang dipandang ghulat (ekstrem) dan
dianggap menyimpang oleh penganut Syi`ah sendiri. Aliran Syi`ah memang dikenal
sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan faham Ahlussunnah wal
Jama`ah.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindik atau ahlussunnah dengan syi`ah saja, tetapi juga antaraliran dalam Islam. Mu`tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bidah oleh golongan salaf.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:
“Agama Muhammad Saw. seperti juga Agama Isa as., terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia soal kehendak bebas manusia telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam, pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah, menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga”.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindik atau ahlussunnah dengan syi`ah saja, tetapi juga antaraliran dalam Islam. Mu`tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bidah oleh golongan salaf.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:
“Agama Muhammad Saw. seperti juga Agama Isa as., terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia soal kehendak bebas manusia telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam, pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah, menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga”.
4.
Ancaman
dari luar
Apa
yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula
faktor-faktor eksternal yang menyebabkan Dinasti Abbasiyah lemah dan akhirnya
hancur. Pertama, perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode
dan menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan
Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk
ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya.
Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang
berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen
Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan dengan Perang
Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.[17]
Pengaruh
Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu
Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak
dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen
berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti-Islam itu dan diperkeras di
kantong-kantong ahli al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat
Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.
Berbagai
faktor yang telah menyokong tegaknya Dinasti Abbasiyah, yakni kalangan elite
imperium dan bentuk-bentuk kulturnya, sekaligus juga menyokong kehancuran dan
transformasi imperium tersebut. Bahkan kemerosotan Abbasiyah telah berlangsung
disaat berlangsung konsolidasi. Ketika rezim ini sedang memperkuat militernya
dan institusi pemerintahan, dan sedang mendorong sebuah kemajuan ekonomi dan
kultur, terjadi beberapa peristiwa yang pada akhirnya mengharubirukan nasib Dinasti
Abbasiyah.
Semenjak
awal pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) problem suksesi menjadi sangat
kritis. Harun telah mewasiatkan tahta kekhalifahan kepada putra tertuanya,
al-Amin, dan kepada putranya yang lebih muda yang bernama al-Makmun, seorang
gubernur Khurasan dan orang yang berhak menjabat tahta khilafah sepeninggal
kakaknya. Setelah kematian Harun, al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan
menunjuk anak laki-lakinya sebagai penggantinya kelak. Akibatnya pecahlah
perang sipil. al-Amin didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad, sementara
al-Makmun harus berjuang untuk memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk
mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-Makmun berhasil
mengalahkan saudara tuanya, al-Amin , dan mengklaim khilafah pada tahun 813.
Namun peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer
Abbasiyah melainkan juga melemahkan warga Iraq dan sejumlah propinsi lainnya.
Al-Makmun
berusaha menghadapi musuh-musuhnya dan sejumlah warga yang tidak mau berdamai
dengan sebuah kebijakan ganda. Satu sisi kebijakan tersebut bertujuan untuk
mempertahankan legitimasi kekhilafan dengan menguasai seluruh urusan keagamaan.
Kebijakan ini, sebagaimana yang telah kita lihat, tidak membawa hasil dan
gagal. Kebijakan ini justru menghilangkan dukungan masyarakat umum terhadap
sang khalifah. Al-Makmun juga mengambil sebuah kebijakan politik, untuk
menguasai kekhilafahan secara mutlak, al-Makmun menggantungkan dukungan seorang
panglima khurasan, yang bernama Thahir, yang diberikan imbalan sebagai gubernur
khurasan (820-822) dan menjadi jenderal militer Abbasiyah diseluruh imperium
dan disertai janji bahwa jabatan-jabatan tersebut dapat diwariskan kepada
keturunannya, selain mendatangkan manfaat yang bersifat sementara konsesi atas
sebuah jabatan gubernur yang dapat diwariskan menggagalkan tujuan Abbasiyah
untuk menyatukan sebuah wilayah propinsi besar menjadi sebuah sistem
pemerintahan politik yang memusat ditangan pemerintahan pusat. Upaya untuk
menyatukan kalangan elit dibawah arahan khalifah tidak akan terwujud dan
sebagai gantinya imperium dikuasai oleh sebuah persekutuan khalifah dengan
kuasa gubernur besar.
E.
Keruntuhan Dinasti Abbasiyah
Pada
masa khalifah al-Mu’tasim datanglah pasukan Tartar dibawah pimpinan Hulako pada
10 Februari 1258 masehi yang memporakporandakan dan menghancurkan kota Baghdad
sebagai pusat pemerintah, bahkan buku-buku yang ada di Bait Al- Hikmah (centre of Library) dibakar dan sebagian
lagi dibawa oleh Hulako dan para tentaranya, mulai saat itulah dinasti
abbasiyah mengalami kehancuran, dan kota Baghdad mulai saat itu dipimpin oleh
Dinasti Illkhan, Ilkhan adalah gelar dari Hulako.
Beberapa
keturunan Hulako yang tercatat pernah menjadi penguasa di kota Baghdad adalah:
- Abaga beragama Keristen (1265- 1281 M)
- Tagudar beragama Islam (1281- 1294 M)
- Ghosan Mahmud beragama Islam (1294-
1304 M)
- Uljaitu Khudabanda beragama Islam (1304- 1316 M)
Setelah
Uljaitu berkuasa kerajaan yang dibentuk oleh Hulako itu akhirnya pecah menjadi
beberapa kerajaan kecil yaitu:
1. Kerajaan
Jaylardengan Baghdad sebagai ibukotanya.
2. Kerajaan
salghari di Fars.
3. Kerajaan
Muzaffari di Fars.
Dengan
berkuasanya Hulako dan para keturunannya, maka habislah sudah kekuasaan Daulah
Abbasiyah.
[1] Kahar Muzakkar Hasbi, Sejarah
perkembangan Kebudayaan Dan Peradaban Islam.
[2] Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat
Islam,(Jakarta : Rajawali Pers 1999)
[3] A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1979)
[4]Ahmad
Al- Khusairy, Sejarah Islam,
Akarmedia, Jakarta 2009
[5] C. E. Boswort, Dinasti- Dinasti Islam, Mizan, Bandung: 1980
[6] Philip K. Hitti, History of The
Arabs,
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam.PT Rajagrafindo Persada, Jakarta 2008.
[8] Kelompok Mawalli
yaitu orang-orang non Arab yang telah memeluk Islam, mereka diperlakukan
sebagai masyarakat kelas dua, sementara orang
Arab dipelakukan sebagai
bangsawan. Mereka selalu tersingkir dalam urusan pe-merintahan dan dalam
kehidupan sosial, bahkan para penguasa Arab selaluMemperlihatkan sikap
bermusuhan terhadap mereka.
[9] Ahmad Al- Khusairy, Sejarah Islam, Akarmedia Jakarta 2009
[10] Syed Mahmudunnasir, Islam Is Concept, Kitab Bavar, New
Delhi, India 1994
[11] Ahmad Al- Khusairy, Sejarah Islam, Akarmedia Jakarta 2009
[12] Ahmad Al- Khusairy, Sejarah Islam, Akarmedia Jakarta 2009
[13] Diambil dari http://afirmanto.blogspot.com/2010/04/peradaban-islam-pada-masa-daulah-bani.html
dan http://en.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbas
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam.PT Rajagrafindo Persada, Jakarta 2008.
[15]
Ibid hal. 82
[16] Ibid hal. 83
[17] Ibid hal. 85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar