BAB I
PENDAHULUAN
Setelah khalifah Umar Ibnu Khatab
memerintah selama kurang lebih sepuluh tahun (!3 – 23 H/ 634 – 644). Maka
suksesi kekhalifahan dilanjutkan oleh Utsman Ibnu Affan.
Namun dalam proses pemilihan
kholifah, umar tidak menempuh jalan sebagaimana yang dilakukan oleh
pendahulunya, khalifah Abu Bakr. Pada periode Utsman ini terjadi malapetaka
yang luar biasa hebatnya, yang dianggap oleh sebagian sahabat telah melanggar
dari garis yang dibuat oleh Abu Bakr dan Umar. Perpecahan dikalangan kaum
muslimin tidak dapat dibendung lagi. Banyak rakyat yang khawatir, kecewa dan
tidak percaya atas kebijakan – kebijakan politik Utsman. Puncak dari kekecewaan
itu mengakibatkan terbunuhnya Utsman.
Tulisan ini membahas tentang islam
pada masa Ali Bin Abi Thalib dari beberapa aspek saja. Setelah Utsman wafat
maka tampuk pimpinan pemerintahan islam jatuh ke tangan Ali. Diangkatnya Ali
menjadi khalifah keempat menggantikan Utsman menimbulkan pro dan kontra
dikalangan sahabat dan sebagian kaum muslimin.
Pada periode Ali Bin Abi Thalib
kondisi sosial politik semakin tidak stabil. Pertikaian dan perpecahan
dikalangan sahabat dan kaum muslimin semakin meruncing akibat hasutan, tipu
daya dan propaganda yang intinya bermuatan politik.
Instabilitas politik yang terjadi
pada masa pemerintahan Ali dengan canggih dimanfaatkan oleh orang-orang
hipokrit untuk mengadu-dombakan antara pendukung Ali dan rival politiknya.
Akibatnya, timbullah pemberontakan dan perang saudara yang menelan ribuan kaum
muslimin yang gugur.
Secara singkat
dalam tulisan ini akan diungkap bagaimana proses pemilihan Ali menjadi
khalifah, apa kebijakan politik yang ditempuhnya, apa yang melatarbelakangi
terjadinya pemberontakan dan perang saudara sampai Ali terbunuh. .
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sosok Ali Bin Abu Thalib
Ali
bin Abu Thalib bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdu Manaf, Al Quraisyi Al
Hasyimi dilahirkan sepuluh tahun sebelum nabi Muhammad diutus menjadi Rasul. sejak
kecil beliau berada dalam naungan tarbiyah nabi, masuk islam tatkala usianya
belum mencapai sepuluh tahun.[1] Dengan demikian, Ali
adalah orang yang pertama kali masuk islam dari kalangan anak-anak. Beliau
tumbuh dan berkembang dengan nuansa keislaman yang kental. Saat Rasulullah Saw
akan berhijrah, dia bersama-sama hidup dan mengikuti be tidur
diatas tempat tidur Rasul, menggantikan posisi Rasul, padahal dia tahu bahwa
perbuatannya itu mengandung resiko kematian. Dengan demikian, ia menjadi orang
yang pertama rela menjadi fida’ (tebusan) Rasulullah dalam islam. Dia
menyerahkan semua titipan yang ada pada Rasulullah kepada para pemiliknya dan
setelah itu barulah ia berhijrah ke madinah.[2] Berbagai peperangan beliau
ikuti keculi perang tabuk. Menjadi khalifah keempat setelah wafat Rasul SAW. Beliau
dikenal sebagai sosok yang pemberani, tangkas, perkasa, pandai, beliau juga
menikah dengan Fatimah binti Muhammad dan dikaruniai putera Hasan dan Husen.
Pada masa pemerintahan Abu
Bakr shiddik, dia selalu bersama dengan sang khalifah. Pada saat Abu Bakr
meninggal, dia sangat mencintai Abu Bakr. Tatkala Umar menjadi kholifah, dia
sangat dekat dengan umar. Umar selalu meminta nasihat-nasihatnya dalam banyak
urusan. Tatkala umar mendekati kematiannya, Ali merupakan salah satu dari enam
sahabat yang ditunjuk umar untuk melakukan musyawarah dalam pemilihan khalifah
dari salah seorang yang enam itu. Kemudian Utsman menjabat sebagai kholifah.
Ali selalu berada di samping Utsman dan membantunya dalam menjalankan roda
pemerintahan. Pada saat terjadi pengepungan terhadap Utsman, anak-anak Ali
adalah orang yang melakukan pembelaan terhadap Utsman.[3]
B. Ali terpilih
menjadi Khalifah
Setelah
Utsman terbunuh, mayoritas masyarakat islam bersepakat memilih Ali sebagai
pengganti utsman. pada waktu itu Ali dipandang sebagai kandidat yang paling
layak diantara dewan syura bentukan umar yang masih hidup (Utsman bin affan, Ali
bin Abu Thalib, zubair bin Al Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurahman bin Auf
dan Talhah bin ‘Ubaidillah).[4] meskipun demikian Ali
tidak langsung menerima untuk memangku jabatan kholifah, setelah didesak maka
barulah Ali memenuhi permintaan mereka. setelah diangkat menjadi kholifah
beliau berpidato sebagai berikut ;”Wahai manusia, kamu telah memba’iat saya sebagaimana
yang telah kamu lakukan kepada khalifah-khalifah yang dahulu. saya hanya boleh
menolak sebelum jatuh pilihan. apabila pilihan sudah jatuh, maka tidak boleh
menolak. imam harus teguh dan rakyat harus patuh. baiat terhadap diriku ini
adalah ba’iat umum, barangsiapa yang mungkir daripadanya terpisahlah ia dari agama islam” [5].
Para
sejarawan bersepakat bahwa Ali adalah kholifah pertama dan satu-satunya yang
terpilih secara umum dalam sejarah khulafaurosyidin. namun sejarawan berbeda
pendapat tentang siapa diantara anggota dewan syuro yang benar-benar
menyaksikan ba’iat Ali, karena sejumlah pemuka Quraisy telah meninggalkan
madinah ketika pemberontakan terhadap utsman meningkat. ada kesepakatan umum
dikalangan sejarawan bahwa talhah dan al zubair termasuk orang yang
pertama-tama berbaiat kepada Ali dan menjamin baiat seluruh kaum Muhajirin
setelah dipaksa oleh kaum mayoritas karena sebelumnya mereka tidak mau
berbaiat. kemudian keduanya meminta ijin kepada Ali untuk pergi ke Mekah
menunaikan ibadah haji, sementara Aisyah sudah lebih dulu pergi ke Mekkah untuk
menunaikan umroh (saat Utsman sedang berada dalam kepungan). saat pengangkatan
Ali berlangsung sikap kaum muslimin terbagi menjadi empat kelompok. kelompok
pertama mendukung dan berbaiat kepada Ali secara suka rela (mayoritas kaum
muslimin), kelompok kedua berbaiat secara terpaksa (seperti Talhah dan Al
Zubair), kelompok ketiga belum mau mengakui Ali sebagai kholifah (Hasan bin
Tsabit, Ka’ab bin Malik, Abu Sa’id Al Khudori dan Muhamad bin Maslamah), kelompok
keempat tidak menunjukan pendiriannya/blanco (Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah
bin Umar, Suhaib, Zaid bin Tsabit dan Usamah bin Zaid) [6].
Terdapat
tiga orang Bani Umayyah yang menolak berbaiat ; Marwan ibn Al Hakam, Sa’Id ibn
Al Ash, dan al Walid ibn Uqbah. keberatan mereka bukan karena alasan keagamaan
atau moral, melainkan atas dasar masalah dendam pribadi terhadap Ali. mereka
menyalahkan Ali karena telah membunuh ayah Sa’id dalam perang badar, mengeksekusi
ayah Al Walid pada peristiwa pembebasan Mekkah, dan menghina marwan. syarat-syarat
yang mereka kemukakan untuk membaiat juga tidak didasarkan pertimbangan
keagamaan atau moral. Mereka mensyaratkan masalah-masalah kepentingan pribadi
dan solidaritas kesukuan. ketiga orang itu menuntut supaya Ali memaafkan
perilaku mereka yang salah, membiarkan mereka mempertahankan kekayaan mereka
yang diperoleh dengan jalan yang salah, dan menuntut balas bagi Utsman. Jawaban
Ali sebaliknya mencerminkan idealisme moral dan keagamaan: “tentang luka yang
kuperbuat padamu, bukan aku, melainkan kebenaranlah yang melukaimu. adapun
memaafkan perilaku kamu yang salah, bukan hakku untuk membatalkan hak tuhan. akan
tetapi, aku dapat menjamin bahwa aku akan memperlakukanmu sesuai dengan kitab
Allah dan Sunnah Nabi-Nya [7].
Mengenai
syarat yang terakhir ini, berbagai riwayat telah menceritakan sikap Ali
terhadap para pembunuh Utsman. dalam riwayat yang baru saja dikutip,Ali
menyatakan dengan marah :”jika pada hari ini aku umumkan bagi mereka, itu
berarti aku harus berperang dengan mereka esok hari. ”menurut Ibn A’tsam Al
Kufi, Ali menyatakan :”Jika aku harus membunuh mereka sekarang, seharusnya aku
membunuh mereka pada hari yang memilukan itu”. argumen-argumen itu menunjukan
bahwa Ali menganggap kematian Utsman sebagai suatu konsekuensi tak terelakkan
dari berbagai peristiwa yang berujung pada tragedi itu dan melihat para
pembunuh bukan sebagai individu-individu yang teridentifikasikan, melainkan
sebagai kelompok massa yang berasal dari berbagai suku dan wilayah Muslim. dari
perspektif ini, Ali tidak menghukum mereka meskipun Ali mampu mengidentifikasi
para pembunuh Utsman, karena menghukum
mereka menyebabkan dirinya terlibat dalam konflik besar kesukuan.terbukti
pembunuhan Utsman menjadi alasan untuk memercikan perang saudara berdarah
pertama dalam masyarakat muslim. lebih jauh lagi, pembunuhan itu menjadi
peristiwa politik dan keagamaan yang sangat berpengaruh, dalam sejarah
peradaban islam.
Para
pendukung Ali melihat naiknnya Ali ke jabatan kholifah sebagai kemenangan atas
aristokrasi Quraisy dan sebagai perwujudan dari penegakan kebenaran agama. keyakinan ini disuarakan oleh Tsabit ibn Qais ibn
Syammas yang mewakili kaum anshar : demi Allah, wahai Amir Al Mu’minin, meskipun
mereka mendahului kamu dalam kekuasaan khilafah, mereka tidak dapat
menandingimu dalam agama. kedudukanmu tidak pernah dapat ditutup-tutupi, juga
derajatmu yang tinggi tak dapat diabaikan. mereka semua membutuhkanmu ketika
menghadapi situasi yang tidak mereka kuasai ilmunya. namun, dengan
pengetahuanmu, kamu tidak membutuhkan siapapun. [8]
C. Kebijakan-kebijakan Ali pada awal kekuasaannnya
Pada
masa awal kekuasaannya Ali berusaha memperbaiki masalah internal seperti
menghapus stratifikasi sosial yang telah dibangun Umar dan Utsman. Ali tidak
hanya mendistribusikan kekayaan secara merata, tetapi juga menetapkan
jabatan-jabatan pemerintahan berdasarkan kesalehan pribadi dan kejujuran
administratif, bukan atas garis keturunan atau prestise social. Ali kemudian
mencanangkan gerakan pemberhentian para gubernur yang diangkat pada Masa
Utsman.[9]
Selain
itu, Ali juga mengembalikan semua kekayaan yang dikumpulkan oleh sebagian orang
secara tidak sah selama pemerintahan Utsman. motonya adalah, “kalian semua
adalah hamba Tuhan dan semua kekayaan Tuhan, yang harus dibagi rata kepada
kalian.”sedangkan pandangan Ali terhadap orang-orang yang melihat garis keturunan atau senioritas mereka dalam
islam sebagai sebuah sumber kekuasaan dan status tinggi adalah : ”siapa saja
yang menjawab seruan Tuhan dan Rasul serta menerima iman kita, memeluk agama
kita, dan menghadap ke kiblat kita, berhak atas hak-hak dalam islam dan harus
tunduk kepada sanksi agama dan hukumnya.[10]
Sikap-sikap
yang diambil Ali dalam masa kekusaannya mencerminkan bahwa Ali adalah sosok
pemimpin yang mempunyai idealisme
tinggi. kebijakan-kebijakan Ali pada masa awal kekuasaannya mengundang
timbulnya antipati dan ketidaksetujuan dari sebagian pihak kepada Ali. salah
satu kebijakan yang mengundang pro kontra adalah pencopotan Muawiyah sebagai
gubernur. Abd Allah ibn Abbas dan Al Mughirah ibn Syu’bah, seorang Quraisy
memberi saran kepada Ali untuk mengukuhkan muawiyah sebagai gubernur, sehingga
dengan kebijakan itu diharapkan Muawiyah dan pendukungnya tetap loyal kepada
pemerintahan Ali. Tetapi Ali menolaknya, alasan mereka memberi saran begitu
kepada Ali adalah jika Ali mengukuhkan jabatan Muawiyah, tidak akan memberikan
konsekuensi apapun ke kholifah yang menggantikan Utsman. Tetapi kalau Muawiyah
dipecat dari jabatannya, diprediksikan mereka akan mengklaim bahwa Ali telah
memperoleh jabatan khilafah tanpa musyawarah yang benar dan menuduh Ali yang
harus bertanggungjawab atas pembunuhan Utsman. Dengan demikian Muawiyah dan
pendukungnya akan menghasut masyarakat Suriah dan irak untuk melawannya. Ali
menanggapi saran Al Mughirah dan ibn Abbas sebagai berikut :
“Tentang
saranmu agar aku mengukuhkan jabatan mereka, demi Allah, aku yakin bahwa hal
ini baik dalam kaitannya dengan dunia yang fana ini. akan tetapi aku diwajibkan
oleh kebenaran dan pengetahuanku tentang para gubernur yang diangkat Utsman
untuk melakukan sebaliknya: demi Allah, aku tidak akan memperhatikan seorangpun
dari mereka”.
Percakapan
antara Ali dan ibn Abbas menggambarkan bahwa Ali merupakan seorang politikus
yang teguh memegang prinsipnya. tampaknya ia sadar bahwa idealismenya akan
berbenturan dengan aristokrasi mapan yang digerakan oleh ideal lama kekuasaan
khilafah yang bersipat moral dan keagamaan, dimotivasi oleh kepentingan baru
sosial politik, ekonomi, dan militer, dalam suatu imperium yang berkembang
cepat.
Kalangan
sahabat Ali tidak banyak yang memiliki idealisme seperti Ali dan lebih sedikit
lagi yang menyetujui kebijakan-kebijakan Ali. Kasus Talhah dan Al Zubair adalah
sangat khas dan menarik. keduanya diriwayatkan termasuk yang pertama kalangan
sahabat yang membaiat Ali, tetapi kemudian mereka juga yang pertama berbalik
memberontak.
Ibn
Qutaibah meriwayatkan bahwa Talhah dan Al Zubair bertanya kepada Ali,”tahukah
kamu dengan syarat apa kami membaiatmu? ”Ali menjawab, ”ya,atas dasar mendengar
dan menaati perintah, dan atas dasar itu pula kamu membaiat Abu Bakr, Umar dan
Utsman. ”tidak”, jawab mereka,”tetapi dengan syarat kami menjadi sekutumu dalam
urusan ini .”Al Zubair menginginkan menjadi gubernur Irak dan Talhah
menginginkan menjadi gubernur Yaman.
Menurut
Ibn Abi Al-Hadid,Talhah dan Al Zubair dihasut oleh Muawiyah agar memberontak
terhadap Ali dan menuntut balas atas kematian Utsman. Muawiyah konon sudah
menulis surat kepada Al Zubair dengan menyebutnya sebagai amir al mu’minin. Setelah
meyakinkan Al Zubair akan loyalitas masyarakat Suriah terhadapnya sebagai
kholifah, muawiyah melanjutkan :“oleh karena itu, segeralah ke kufah dan Basrah
sebelum Ali mendahuluimu kesana, karena kamu tidak akan memperoleh apa-apa
setelah kamu kehilangan dua kota ini. lebih dari itu, aku telah membaiat Talhah
sesudahmu. Jadi bangkitlah dengan tuntutan atas darah Utsman.”Ibn Abi Al Hadid
melihat bahwa surat ini merupakan penyebab permusuhan Talhah dan Al Zubair
terhadap Ali.[11]
D. Perang Jamal (36 H / 656 M)
Muawiyah
bin Abu Sufyan yang menjabat sebagai Gubernur Syam, tidak membaiat Ali sebagai
kholifah. Dia menuntut darah utsman pada Ali. Sedangkan Ali tidak menjadikan
masalah ini sebagai prioritas karena kondisinya yang masih sangat labil. Oleh
karenanya, orang-orang Syam tidak taat lagi pada kekhilafahan Ali dan Muawiyah
menyatakan memisahkan diri dari kekhilafahannya. Maka, Ali segera menetapkan
untuk memeranginya. Berangkatlah Ali
bersama pasukan dari kufah, dia telah
memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kufah. Pada saat itu, Aisyah
yang disertai oleh Zubair dan Talhah serta kaum Muslimin yang berasal dari
Mekah juga menuju Basrah untuk menetap disana. Bahkan, mereka berhasil
meringkus para pembunuh Utsman. Mereka mengirimkan surat ke beberapa wilayah
untuk melakukan hal yang sama.[12]
Ali pun mengubah rute
perjalanannya dari Syam ke Basrah. Dia mengirimkan beberapa utusan kepada
Aisyah dan orang-orang yang bersamanya serta menerangkan dampak negative dari
apa yang mereka lakukan. Mereka puas terhadap apa yang dikatakan oleh Ali dan
mereka kembali ke base pasukan untuk melakukan kesepakatan damai.
Keduanya hampir saja melakukan
kesepakatan damai. Namun, Abdullah bin Saba’ dan pengikutnya yang menyimpang
merasa ketakutan dan mereka melihat bahwa pertempuran harus terjadi antara
kedua pasukan. Akhirnya mereka kembali berhasil mengobarkan api perang diantara
kedua pasukan islam ini dengan sebab-sebab yang sebenarnya sangat sepele.
Kedua pasukan terlibat pertempuran
yang demikian sengit. Ali tidak berhasil menghentikan peperangan. Pertempuran
terjadi demikian sengitnya di depan unta yang membawa tandu Aisyah. Sehingga, kemudian
perang ini disebut dengan perang jamal (perang unta). Pasukan Basrah kalah
dalam perang ini. Ali memperlakukan Aisyah
dengan sebaik-baiknya dan mengembalikannya ke
mekah. Ini merupakan perang pertama yang terjadi antara dua kelompok kaum
muslimin. Pada perang ini banyak kaum muslimin yang terbunuh. Sebagian
sejarahwan menyebutkan ada sekitar 10.000 yang terbunuh. Maka, sejak itu
Bashrah masuk secara penuh dalam pemerintahan Ali. Perang ini menunjukan
kemorosotan tajam dalam konsepsi moral dan keagamaan, menandai awal
kemenangan politik pragmatis atas
nilai-nilai yang dijadikan Nabi Muhammad sebagai dasar membangun persemakmuran
islam pertama di Madinah. pada masa nabi, umat Muslim termotivasi oleh keimanan
dan janji akan surga, namun penaklukan yang luas dan pemasukan yang berlimpah
mendorong banyak diantara mereka menyimpang dari iman dan tujuan akhirat. hal
ini juga menyebabkan sebagian dari mereka menjauhi dunia. perang jamal
merupakan peristiwa lain yang menandai perang saudara. Perang jamal berlangsung
sangat singkat tetapi menelan banyak korban. perang ini terjadi diluar kota
basrah disebelah selatan irak, disekeliling unta aisyah, karena itu disebut
perang jamal. Diantara orang-orang yang meninggal dalam konflik itu adalah
Talhah dan Al Zubair, Talhah terbunuh oleh anak panah yang dibidikkan oleh
marwan ibn Al Hakam. melihat nasib sekutunya Al Zubair segera meninggalkan
medan perang. Namun, ia dibunuh oleh seorang suku tamim atas suruhan Al Ahnaf
ibn Gais,,seorang pemuka anshar dan salah seorang pendukung setia Ali, yang
mengecam Al Zubair dengan mengatakan :
“aku tidak pernah melihat orang
seperti ini,ia menyeret isteri Rasulullah SAW yang tidak boleh diganggu keluar
dari tempat perlindungannya,melanggar kesucian tabir yang diletakkan Rasulullah diseputar isterinya di rumah
beliau,kemudian ia menelantarkannya dan kabur begitu saja.tidak adakah orang yang
akan menghukumnya dengan murka tuhan”.[13]
Isteri nabi yang dimaksud adalah
Aisyah. Dikisahkan dalam perjalanan pulang ke madinah ,Aisyah bertemu dengan
Abd ibn Abi Salma, keluarga jauh dari pihak ibunya, menginformasikan kematian
Utsman dan naiknya Ali sebagai kholifah. Ibn Abi Salma menceritakan bahwa
masyarakat madinah telah menunggu selama delapan hari setelah kematian utsman, sebelum
mereka dengan bijak bersepakat memilih Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti
Utsman. Aisyah berkata : ”demi Allah Utsman
terbunuh secara tidak sah, dan aku pasti akan menuntut balas atas darahnya.”
Muncul
dua penjelasan apologetic tentang peran Aisyah dalam peristiwa yang mengarah
kepada perang jamal yang tragis. Pertama,
ia hanya ingin membuat perdamaian dikalangan kaum muslim. kedua, ia adalah korban tak berdaya dari permainan politik Talhah
dan Al Zubair. Kenyataannya tampaknya Aisyah memiliki pemikiran sendiri, dan
jelas ia adalah pemain kunci dalam gerakan oposisi itu. Aisyah dikenal sebagai
perempuan yang aktif bernegoisasi, menulis surat, dan memberikan ceramah
memikat yang menarik masyarakat untuk bergabung dalam upayanya m enegakan
kebenaran.
Di
mekkah, dengan kehendak sendiri Aisyah menjalin persekutuan dengan Abd Allah
ibn Amir, gubernur yang diangkat Utsman dikota itu. Aisyah membakar emosi
masyarakat di kota suci dengan berkata :”masalah ini tidak akan pernah
terselesaikan selama kegemparan ini terus berlangsung. Tuntutlah balasan atas
darah Utsman dan dengan demikian kalian akan mempertahankan islam. karena itu, bangkitlah
dan bergabunglah dengan masyarakat Bashrah. Masyarakat suriah mendukungmu, Semoga
Allah akan menuntut balas bagi Utsman dan kaum muslim”.
Dari
berbagai faktor itulah terjadilah perang jamal, perang antara Aisyah, Talhah, Zubair
melawan Ali. Perangpun meletus, dikedua belah pihak menimbulkan banyak korban, dan
pasukan Ali keluar sebagai pemenang. bagaimanapun, karena perang meletus, sesungguhnya
seluruh umat Muslim kalah. dalam teori, islam adalah sebuah komunitas agama yang
didasarkan atas prinsip persaudaraan seluruh kaum muslimin atas dasar keimanan.
lebih jauh, karakteristik komunitarian dari keimanan ini dinyatakan melampaui
semua perbedaan sectarian, sosial dan politik. Perang jamal merupakan
pelanggaran mencolok terhadap ajaran islam yang sangat mendasar itu. Tidak
hanya melanggar prinsip kesatuan muslim, perang itu juga membenarkan penggunaan
kekerasan dan bahkan pertumpahan darah sebagai sarana untuk mencapai
tujuan-tujuan politik. Perang jamal menimbulkan krisis moral dan politik bagi
orang-orang muslim yang saleh, mengangkat pertanyaan serius tentang integritas
kepemimpinan beberapa sahabat nabi, memunculkan kembali masalah lama tentang
loyalitas kesukuan dalam kitab suci, membangkitkan permusuhan lama berdarah
yang telah merusak masyarakat Arab pra-islam dan yang ingin diberantas oleh
islam.
Konsekuensi
yang paling serius dari perang jamal adalah Ali kehilangan otoritas moral dan
politik, atau otoritas sebagai imam kaum muslim. Karena itu, sejumlah
gubernurnya dengan terpaksa gagal memangku jabatan.dan ketika Ali menulis surat
ke muawiyah yang menuntut kesetiaannya, surat yang dikirim sebagai jawaban
adalah selembar kertas kosong, hanya bertuliskan ucapan basmalah. Muawiyah
meningkatkan penghinaan menjadi ancaman dengan memerintahkan kepada wakilnya
supaya memberitahukan Ali bahwa di Damaskus enam puluh ribu orang pemuka
berkabung atas kematian Utsman di bawah baju berlumuran darah yang
dipertontonkan kepada mereka diatas mimbar mesjid utama kota itu.
E. Perlawanan Muawiyah
Konflik
antara Ali dan Muawiyah terletak pada keyakinan Ali atas keabsahan otoritas
kekhilafahannya yang tak perlu dipertanyakan lagi dan tuntutan Muawiyah yang
semakin meningkat atas haknya sendiri sebagai ahli waris (wali) Utsman dalam
menuntut balas atas darahnya. lebih dari itu, klaim ini menjadi dasar tuntutan
Muawiyah atas jabatan kholifah.
Titik-titik
pertikaian diungkap dengan sangat jelas dalam sebuah surat panjang yang ditulis
Ali kepada Muawiyah, seperti yang diceritakan oleh Nashr ibn Muzahim,salah
seorang sejarawan paling awal
Tentang perang saudara di Shiffin.Ali
berargumentasi:
“Baiatku
dari masyarakat Madinah tetap mengikatmu, meskipun kamu berada di Suriah. ini
karena merekalah orang-orang yang juga membaiat Abu Bakr, Umar, dan Utsman. karena
itu, orang lain yang hadir tidak memiliki pilihan dalam masalah ini dan
orang-orang yang jauh tidak berhak keberatan, karena hak prerogratif syura
(musyawarah) hanya menjadi milik kaum Muhajirin dan Anshar. Jika mereka telah
menyepakati mengangkat seseorang sebagai imam dan menyebutkan namanya, keputusan
mereka harus diterima. Jika ada orang yang menyimpang dari keputusan mereka. baik
dengan menolaknya atau mendambakan (jabatan kholifah bagi dirinya sendiri) mereka
harus membawanya kembali.jika orang itu menolak,mereka harus
memeranginya,karena ia tidak mengikuti jalan kaum mukmin.”
Ali
kemudian menceritakan nasib yang menimpa Talhah dan Al Zubair setelah mereka
mencabut baiat mereka. Beralih ke tuntutan balas utsman, Ali menasehati
Muawiyah agar bergabung dengan kaum muslimin dengan memberikan baiat dan
berjanji akan menghakimi para pembunuh sesuai dengan kitab Allah.“tentang
keinginanmu terhadap jabatan kholifah, ”lanjut Ali, ini seperti diputuskannya
bayi dari susu ibunya. Karena, Jika kamu
memandang masalah ini dengan akal sehatmu, bukan dengan hasrat sia-siamu, kamu
akan melihat diriku sebagai orang Quraisy yang paling tak bersalah atas darah Utsman.
Ali mengakhiri dengan peringatan bahwa Muawiyah termasuk diantara orang-orang
yang dimaafkan nabi pada waktu penaklukan mekkah dan tidak memiliki klaim sah
atas jabatan kholifah. bagi kebanyakan orang ketaatan Ali yang teguh terhadap
ajaran agama tentang kesetaraan merupakan sebuah kekuatan besar. Tetapi bagi
sebagian lagi sikap seperti itu merupakan kebodohan dan pengkhianatan.muawiyah
memanfaatkan ketegangan ini demi keuntungan politiknya.selain menyadari
kedudukan Ali yang tinggi dalam umat islam serta keabsahan baiat Ali.
Muawiyah
juga menyadari kelemahan klaimnya sebagai penuntut balas darah utsman yang
sah,mewakili para ahli pewaris sah utsman.pertama-tama ia membuat langkah
hati-hati dengan menyuarakan klaim ini dan kemudian menantang kekuasaan
kholifah Ali secara perlahan-lahan. Muawiyah semakin percaya diri dengan adanya
ketaatan mutlak tentaranya di suriah, serta dukungan dan loyalitas masyarakat
suriah. sebaliknya, sebagian besar tentara Ali adalah orang-orang semi-nomadik
dan independen yang tak terbiasa dengan kekuasaan seorang kepala atau penguasa
tunggal yang tak boleh dibantah.perbedaan tajam antara masyarakat urban Suriah
dan masyarakat Irak yang sangat bersipat kesukuan diungkapkan secara dramatis
oleh Al Hajjaj ibn Khuzaimah,yang mendatangi Muawiyah bersamaan dengan berita
kematian utsman,dengan menuduh orang-orang bani Hasyimlah yang bertanggung
jawab atas kejadian itu. Konon Al Hajjaj merupakan orang pertama yang memanggil
Muawiyah dengan sebutan Amirul mu’minin. ia berkata”
“Aku
memberi tahu anda,wahai amir Al mu’minin, bahwa anda mempunyai sumber kekuatan
untuk melawan Ali, yang tidak dimilikinya untuk melawan anda. Anda memiliki
masyarakat yang tidak akan berkata apapun ketika anda berbicara,atau bertanya
‘mengapa? ketika anda memerintah sesuatu.akan tetapi, bersama Ali terdapat
orang-orang yang berbicara ketika ia berbicara dan mempertanyakannya ketika ia
memerintah. Oleh karena itu, sedikit orang yang bersamamu lebih baik daripada
banyak orang yang bersamanya.”
Terlepas
dari permusuhan mendalam antara Ali dan Muawiyah, tampaknya keduanya lebih suka
menyelesaikan pertikaian mereka melalui perantara dan diplomasi daripada
melalui pertumpahan darah. oleh karena itu, terjadilah pertukaran sejumlah
delegasi dan surat menyurat dalam rangka meredakan situasi. Jarir ibn Abd Allah
Al Bajli, seorang pemuka arab Yaman dan gubernur Ali atas wilayah hamadzan
adalah delegasi Ali pertama untuk Muawiyah .Misinya adalah meyakinkan Muawiyah
dan para pendukungnya dari suriah agar memberikan baiat kepada Ali dan menerima
penjelasannya mengenai pembunuhan Utsman dan para pelakunya.
Jarir
menyerukan orang-orang suriah dan gubernur mereka agar membaiat Ali dengan
menyatakan bahwa agama ini tidak dapat menoleransi pemberontakan dan bangsa
Arab tidak dapat menoleransi pedang.sehubungan dengan kematian utsman,jarir
menambahkan,peristiwa ini menggugat orang-orang yang menyaksikannya, apalagi
orang-orang yang bahkan tidak hadir. tambahan lagi, masyarakat membaiat Ali
tanpa menyalahakan siapapun atau menuntut balas. sementara itu, Muawiyah mempertahankan
haknya atas pemerintahan suriah dengan alasan bahwa ia telah diangkat oleh Umar
dan dikukuhkan oleh Utsman sehingga Ali tidak memilki kewenangan atasnya. Jarir
menolak argument ini dan menjawab praktik semacam itu, jika dibolehkan akan
membuat seorang penguasa tidak bisa mencabut keputusan pendahulunya dan akan
membuatnya tidak memiliki kekuasaan nyata. lebih jauh, tidak terelakkan lagi
hal itu mendorong pada kekacauan dan kekuasaan yang tidak sah. Muawiyah tidak
memberikan jawaban kepada jarir sambil meminta waktu lebih lama lagi untuk
memikirkannya. Sambil menunggu Jarir, diam-diam Muawiyah berupaya
mengonsolidasikan kekutannya. untuk tujuan ini, ia mengumpulkan para pemuka
rakyatnya di suriah untuk mempertegas loyalitas mereka dan untuk melihat
pendirian mereka dalam masalah kematian Utsman dan tentang haknya untuk
menuntut balas atas darah Utsman. ia berbicara kepada mereka dengan mengatakan
:
“Segala
puji bagi Allah yang telah mengukuhkan tiang-tiang islam dan menjadikan hukum
suci sebagai bukti iman-iman yang suluhnya akan selalu menyala di tanah suci, yang
dijadikannya sebagai tempat tinggal para nabiNya dan hambaNya yang soleh. kemudian
Allah menjadikan masyarakat suriah hidup diwilayah ini. ia memperkenankan wilayah itu
bagi mereka dan mereka bagi wilayah itu. Sebab, sejak azali Dia mengetahui
ketaatan dan nasihat mereka yang tulus kepada para kholifahNya yang memegang
teguh perintahNya dan melindungi agamaNya dan hukum-hukumNya yang tidak boleh
dilanggar”
Muawiyah
kemudian mengingatkan orang-orang yang berkumpul bahwa ia adalah wakil
(kholifah) Umar dan Utsman atas mereka, bahwa ia adalah ahli waris Utsman dan
utsman telah dibunuh secara tidak adil. Muawiyah kemudian menuntut : “aku ingin
tahu apa sesungguhnya yang kalian simpan dalam hati kalian tentang pembunuhan
utsman. mereka semua membaiatnya dengan syarat bahwa ia harus menuntut balas
atas darah Utsman.
Dampak
orasi penting ini melampaui tujuan langsung yaitu mengonsolidasikan kekuatan
Muawiyah di Suriah. Signifikansi luasnya terletak pada fakta bahwa orasi itu
menandai permulaan sebuah upaya sadar dari kaum yang kemudian menjadi Dinasti
Umayah untuk membangun, di tanah suci
Suriah, tempat alternative bagi haji ke Mekah dan Madinah. tujuan upaya ini ada
dua : pertama, untuk meningkatkan
signifikansi Suriah dan konsekuensinya Damaskus sebagai ibu kota baru khilafah.
Kedua ,untuk mengalihkan umat dari
jazirah Arab, karena diwilayah itu kekuasaan Umayyah secara umum tidak popular.
Keberhasilan strategi ini dapat dilihat pada fakta bahwa ziarah ke bait al
maqdis di yerusalem, menjadi bagian integral dari haji itu sendiri.
Muawiyah
semakin memperkuat peluang meraih kekuasaan dengan membujuk Amr ibn Al Ash
untuk menjadi sekutu dekatnya dalam perlawanan terhadap Ali. Amr adalah seorang
sahabat terhormat dari Quraisy, ahli strategi militer terkemuka dan politisi
yang lihai. riwayat penerimaan Amr
terhadap ajakan Muawiyah kemungkinan sangat diragukan kebenarannya. meskipun
demikian, riwayat tersebut mengandung banyak pelajaran, karena menggambarkan
secara gambling persepsi umum tentang karakter konflik antara Ali dan Muawiyah,
disamping kedudukan kedua orang ini dalam system nilai moral dan politik islam.
Oleh
karena tidak dapat menentukan sikap,Amr konon meminta nasihat dua putranya, Abd
Allah seorang sahabat yang soleh dan ahli hadis terhormat, berkata :
“Aku
melihat Nabi wafat dan ridha kepadamu, demikian pula dua kholifah sesudah
beliau (Abu Bakr dan Umar). Terlebih lagi, Utsman terbunuh saat anda jauh
darinya. karena itu, tinggallah di rumah, karena anda tidak akan terpilih
menjadi kholifah. Juga janganlah menjadi sekutu Muawiyah demi bagian kecil dari
dunia ini, yang mungkin menjadi sebab kemalangan dan kehancuran anda.”
Muhammad,
putra Amr yang lebih muda dan berorientasi duniawi, menasehati ayahnya agar
bergabung dengan masyarakat suriah dalam menuntut balas atas darah Utsman, sehingga
ia dapat menjadi kepala ketimbang sekedar ekor dalam segala upaya penyelesaian
masalah. Amr mengamati, kau, Abd Allah telah menasehatiku agar melakukan apa yang
terbaik bagiku di dunia ini. masih belum dapat memutuskan pendiriannya, Amr
pertama-tama memerintahkan Wardan, seorang pembantunya yang soleh dan cerdas, Untuk
berangkat dan kemudian memerintahkannya agar berhenti dan menurunkan barang
bawaan, melihat kebingungan tuannya, wardan:
Dunia
ini dan akhirat sedang berperang berkomentar dalam hati anda dan anda bingung
diantara keduanya. anda mengatakan bahwa bersama Ali terdapat akhirat, tetapi
bukan dunia ini, melainkan akhirat dapat memberikan ganti yang lebih besar
daripada kehilangan harta di dunia ini, tetapi dunia ini bukanlah ganti
akhirat.
Wardan
kemudian menasehati tuannya agar tidak pergi. ”karena” tegasnya, ”jika kaum
beragama menang, anda akan hidup dalam ampunan iman mereka. Namun,jika orang-orang
duniawi menang, mereka pasti akan meminta nasihatmu.
Tidak
diragukan lagi, Amr melihat upayanya bersama Muawiyah murni sebagai kesempatan
untuk memperoleh kembali kekuasaan atas mesir dan kekayaannya yang melimpah, setelah
ia sendiri menaklikan wilayah itu pada masa pemerintahan khilafah umar. mungkin
karena ingin meneguhkan strategi negosiasi dengan Amr ,Muawiyah berkata :”Wahai
Abu Abd Allah, aku mengajakmu untuk berjihad terhadap orang yang tidak menaati
tuhanNya, membunuh kholifah, menebar perselisihan dan menimbulkan perpecahan
dalam umat, serta memutuskan hubungan dengan keluarga dekatnya. jihad melawan
siapa?”Tanya Amr. melawan Ali. Jawab Muawiyah. akan tetapi, Amr mengatakan, ”kamu
dan Ali tidak sebanding dalam keutamaan dan kehormatan. Kamu tidak pernah
hijrah seperti dia,iak pertama masuk islam, bersahabat dengan Nabi, berjihad,
dan memiliki ilmu pengetahuan.”Amr lalu bertanya,”Apa yang akan kamu berikan
kepadaku jika aku bekerja sama denganmu dalam perang melawan Ali?”aku akan
memberimu mesir, jawab Muawiyah.
Konflik
antara Ali dan Muawiyah telah menimbulkan perpecahan dalam tubuh umat Muslim, perpecahan
yang melatarbelakangi terjadinya perang saudara, yang dikenal dengan perang
Shiffin.
F. Perang Shiffin (37 H / 657 M)
Perang
shiffin adalah peperangan antara pendukung Ali dan pendukung Muawiyah. Karena
Muawiyah menolak untuk mendukung Ali sebagai kholifah dan menolak untuk
meletakan jabatan gubernur. Ia juga tampil menuntut bela atas pembunuhan utsman
sebagai legitimasi penentangannya terhadap Ali.[14] Delegasi yang diutus
antara Ali dan Muawiyah semuanya tidak menghasilkan apa-apa sehingga akhirnya
keduanya menempatkan pasukannya di Shiffin. Muawiyah mempersiapkan lasykar
tentaranya dan menghasut kaum muslimin supaya memusuhi Ali. Dia meyakinkan
kepada orang-orang bahwa Ali lah yang melindungi pembunuh Utsman sehingga mereka menolak Ali
yang dari Bani Hasyim sebagai khalifah. Oleh karena itu mereka mendukung
Muawiyah, Amr bin Ash, politikus yang terkenal licin dan pintar.
Dari
Kuffah Ali mengerahkan pasukannya ke syiria, dan pasukan secara Muawiyah pun
sudah siap siaga. Kedua pasukan tersebut bertemu disebuah tempat dekat sungai
Eufrat yang bernama Shiffin. Ali berkali – kali mengajak berunding secara damai
untuk menghindari pertumpahan darah, tetapi muawiyah tetap menolaknya. Pasukan
Ali sudah hampir menang dan pasukan Muawiyah semakin tersisih, maka disaat
itulah Muawiyah atas nasihat Amr bin Ash mengangkat Al Qur:an sebagai tanda
perang harus berhenti. Ali melihat bahwa hal itu merupakan kelicikan, tetapi
tentaranya meminta untuk menghentikan perang. Dengan demikian, muawiyah selamat
dari kekalahan. Dua orang perunding dari kedua belah pihak (Amru bin ash dari
pihak Muawiyah dan Abu Musa al asyari dari pihak Ali) bertemu. Dalam
perundingan disepakati untuk memberhentikan kedua pimpinan yang bertikai, yaitu
Ali dan Muawiyah. Tradisi yang terkuat dari bangsa arab mengharuskan Abu Musa
al Asyari sebagai yang tertua terlebih dahulu berdiri mengumumkan putusan
kepada khalayak untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan
dengan apa yang telah disetujui, Amru bin Ash mengumumkan hanya menyetujui
penjatuhan Ali dan menolak penjatuhan Muawiyyah.
Dengan demikian terjadilah
kedudukan yang terbalik dan merugikan Ali. Yang sebenarnya Ali lah yang resmi
sebagai khalifah, sedangkan Muawiyyah tidak lebih dari hanya sebagai gubernur
daerah yang tidak mau tunduk kepada Ali malah ditetapkan sebagai khalifah.
Dengan peristiwa ini kedudukan muawiyyah naik menjadi kholifah yang tidak
resmi. Bagaimanapun juga peristiwa ini merugikan Ali dan menguntungkan
Muawiyyah. Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak oleh Ali dan ia tidak
meletakkan jabatannya sampai ia mati terbunuh pada tahun 661 M.[15]peristiwa ini dikenal
dengan tahkim
Namun
dari tahkim yang dilakukan oleh kedua belah pihak jelas tidak menyelesaikan
masalah dan tidak menguntungkan posisi Ali, karena sebagian kelompok menerima
dan sebagian lagi menolak. Peristiwa tahkim inilah yang kemudian menjadi cikal
bakal tumbuhnya pemikiran ilmu kalam dalam sejarah islam. Sekelompok orang
terutama para pengikut setia Ali bin Abi Thalib yang kecewa dengan Situasi seperti ini menyebabkan timbulnya
golongan ketiga yaitu golongan khawarij (orang – orang yang tipu muslihat
tahkim itu, menganggap bahwa orang yang telah menyetujui tahkim harus dituntut,
bahkan dibunuh karena mereka sudah termasuk orang kafir. sekelompok orang yang
kemudian dinamakan khawarij tersebut berkembang menjadi paham yang beranggapan
bahwa orang yang berbuat dosa besar termasuk kafir. dari sinilah timbul
aliran-aliran teologi islam seperti Murji’ah, Mu’tazilah, asy’ariyah dan
Maturidiyah. Masing-masing aliran
memiliki pokok pikiran yang khas satu sama lain saling bertentangan.
G. Runtuhnya Kekuasaan Ali
Berakhirnya
arbitrase yang tak menentu dan karenanya
juga konflik Shiffin, menciptakan suatu kevakuman kekuasaan. Dengan
kekuatan yang belum pernah muncul sebelumnya dan kelicikan politik, Muawiyah
segera mengisinya. Ali, prajurit agung memiliki keistemewaan tak pernah kalah
dalam perang bersenjata. Akan tetapi, Ali, orang yang memiliki idealisme teguh,
kalah berperang dalam memperjuangkan kredebilitas politis dan kekuasaan
khilafahnya oleh orang-orang yang jahat yang tidak memiliki kesalehan dan
idealisme.
Ada
sejumlah faktor yang mendorong akhir kehgidupan Ali yang tragis. Pertama, peristiwa pembunuhan Utsman terus membayangi khilafahnya hingga wafatnya.. Kedua, keterlibatan Ali dalam perang
saudara pertama dalam sejarang muslim, membuat kaum muslim yang tulus
menjauhinya dan pada akhirnya merugikan otoritas politik dan moralnya. Ketiga, sebagaimana telah ditunjukkan, meskipun kejujuran Ali yang tak kenal kompromi
dalam menangani urusan negara dan pemerataannya yang tegas dalam pembagian
kekuasaan menjadikan dirinya suri teladan dalam keadilan dan perilaku yang
saleh, hal itu mencerabutnya dari dukungan dan loyalitas masyarakat rakyat
Arab, terutama orang-orang Quraisy. Ketiga faktor di atas dapat dilihat dengan
jelas dalam kegagalan berulang-ulang upaya Ali untuk memulihkan kekuasaan
politiknya sesudah perang Shiffin.
Telah
jelas bahwa Ali tidak terlibat langsung dalam pembunuhan Utsman. Akan tetapi,
fakta bahwa ia bisa jadi membenarkannya dan karenanya tidak berbuat banyak
untuk menghalanginya atau melakukan tindakan untuk menghukum pelakunya,
membuatnya, dalam beberapa hal, di mata banyak sahabat Nabi bertanggung jawab
atas kematian tragis imam Muslim.
Terlebih
lagi konflik berdarah antara Ali dan aristokrasi Quraisy disatu sisi, dan antara dirinya dan beberapa
pendukung setianya yang kecewa disisi lain, dianggap oleh banyak orang sebagai
akibat tindakan kejinya yang memecah belah ini. Pandangan ini terungkap dengan
jelas dalam suatu perdebatan tajam antara Ali dan beberapa pemuka Quraisy yang
mendatanginya sesudah perang Shiffin untuk menuntut gaji mereka. Diantara
mereka adalah Abd Allah ibn Umar,Sa’id ibn Abi Waqqash dan Al Mughirah ibn
Syu’bah.
Dengan
marah Ali bertanya, “Apa yang membuatmu menjauhiku selama ini?”pembunuhan
Utsman,” jawab mereka.karena kami tidak tahu apakah darahnya sah untuk
ditumpahkan atau tidak.”Mereka melanjutkan :
“Tentu
Utsman melakukan kesalahan, tetapi kamu (Ali dan para pendukungnya) memaksanya
bertobat dan ia melakuakn. Namun, kamu terlibat dalam pembunuhannya. Kami tidak
tahu apakah kamu melakukan ha; yanmg benar atau tidak. Tentu kami mengakui
sepenuhnya keutamaanmu, kedahukluanmu (menerima Islam), dan hijrahmu, wahai Amir Al Mu’minin”
Ali
mengingatkan mereka akan dictum Alquran, “jika dua kel;ompok muslim berperang
satu sama lain, maka perangilah kelompok yang memberontak hingga mereka tunduk
kepada perintah Tuhan” (QS, Al Hujarat:9). Lalu ia menegaskan, “Kamu tidak
melakukan amar ma’ruf sebagaimana diperintahkan
Tuhan.” Sa’ad menjawab, “Wahai Ali, berikan kepadaku pedang yang dapat
membedakan orang yang beriman dengan orang yang m,enolak iamn. Aku takut
membunuh seorang muslim dan dengan begitu masuk neraka.” Akan tetapi Ali
menjawab, jika mereka mengetahui Utsman adalah imam sah yang harus ditaati dan
ia berada dalam kebenaran, mengapa mereka meninggalkannya? Sebaliknya, jika ia
berada dalam kesalahan, mengapa mereka tidak memranginya? Ali mengakhiri :
“Jika
Utsman benar tindakannya, maka kamu berdosa dengan tidak mendukung imam kamu.
Namun, jika ia salah, kamu juga berdosa kareana tidak mendukung orang-orang
yang melakuakan amar ma’ruf nahi mungkar. Bagaimanapun, kamu berdosa tidak ikut
campur dalam urusan antara kami dan musuh kami sebagaimana Tuhan memerintahkan
kamu melakukannya, karena Dia berfirman, “Perangilah kelompok yang memberontak
hingga mereka tunduk kepada perintah Allah””
Terlihat
dari uraian di atas bahwa masyarakat Suriah menganggap Mu’awiyah sebagai
satu-satunya penguasa mereka sebelum Perang Shiffin. Dengan demikian, ketika ia
kembali ke Damaskus setelah Amr mengukuhkannya sebagai pengganti Utsman, mereka
memberikan penghoirmatan sebagai khalifah terhadapnya. Di samping itu, kelompok
Yaman pro-Utsman bangkit memberontak gubernur yang diangkat Ali, Ubaid Allah
ibn Abbas, dengan menuntut balas atas
darah Utsman. Mereka menulis surat kepada Mu’awiyah yang memeintanya agar
mengirim seseorang untuk menerima baiat mereka; jika tidak, mereka akan minta
maaf kepada Ali atas perilaku mereka yang salah dan membaiatnya.
Para
penduduk provinsi-provinsi terpencil juga mencoba memisahklan diri dari
kekuasaan pusat negara. Thabari meriwayatkan bahwa ketika kondisi Ali semakin
tidak stabil, masyarakat provinsi Fars
dan Kirman di Iran berhenti membayar pajak tanah mereka (kharaj). Ali menyuruh
gubernurnya yang cakap dari Persia, Ziyad ibn Abih, mengembalikan mereka kepada
negara. Selain itu, masyarakat Bahrain yang baru saja memeluk Islam kembali ke
keimanan Kristen mereka.
Kekuasaan
Ali semakin terkikis oleh lepasnya provinsi penting Mesir. Hal ini membawa
malapetaka baginya, bersamaan dengan lepasnya dua pendukung setianya. Tak lama
setelah menjadi khalifah, Ali telah mengangkat Qais ibn Sa’d ibn Ubadah dari
Anshar sebagai Gubernur Mesir. Qais diterima dengan baik karena ia adalah
gubernur yang cinta damai, toleran, dan bijaksana. Namun, penduduk sebuah kota
yang disebut Khirbittah sangat terganggu oleh kematian Utsman dan meminta Qais
agar tidak memaksa mereka membaiat Ali sampai mereka menyaksikan keputusan
orang tentang para pembunuh Utsman. Qais mengabulkan tuntutan mereka, karena ia
yakin bahwa mereka tidak bfermaksud memberontak.
Namun,
Muawiyah takut dirinya harus mengahdapi tentara gabungan Irak dan Mesir di
Shiffin. Oleh karena itu, ia memasukkan
sebuah surat dari Qais, yang menyatakan bahwa Qais memberikan kepadanya dan
meminta bantuan militer untuk menuntut balas darah Utsman. Muawiyah kemudian
sengaja menyebarluaskan kabar palsu ini, sehingga Ali pasti akan mendengarnya.
Ali menjadi curiga atas motif Qais dan memintanya memerangi masyarakat
Khirbittah. Namun, Qais menolak dan melepaskan jabatannnya. Bangga dengan
keberhasilan strateginya, Muawiyah menyatakan di hadapan sekelompok masyarakat Quraisy,
“Aku tidak pernah merencanakan suatu siasat yang begitu mengagumkan seperti
strategi yang aku gunakan untuk memerdayakan Ali melawan Qais”
Ali
kemudian mengutus Muhammad ibn Abu Bakr sebgai gubernur Mesir. Bersamaan dengan
itu, Muawiyah mengutus Amr ibn Al-Ash sebagai komandan pasukan besar, termasuk
para prajurit kesatuan polisi pribadinya, untuk merebut provinsi tersebut. Amr
mengalahkan Muhammad ibn Abu Bakr dan berkuasa atas mesir. Ia kemudian membunuh
putra sesama sahabat Nabi itu dan membakar jasadnya dengan terbungkus kulit
bangkai keledai.
H. Akhir Hayat Ali Bin Abi Thalib
Posisi
barisan Ali semakin lemah karena harus berhadapan dengan kaum khawarij di satu
pihak dan barisan pendukung Muawiyah di pihak lain yang semakin kuat. Dalam
situasi seperti ini posisi Ali terancam, puncak dari ancaman itu adalah
terjadinya pembunuhan Ali oleh seorang khawarij yang bernama Abdur Rahman bin
Muljam. Sewaktu dia akan shalat subuh di mesjid. pembunuhan ini terjadi pada
tanggal 17 Ramadhan 40 H/661 M di Kuffah.[16]
BAB III
PENUTUP
Berakhirnya
kekhalifahan Ali berarti berakhir pula kepemimpinan al khulafaur Rasyidin yang
berdasarkan musyawarah. kemudian pemerintahan islam dilanjutkan dengan system
daulah yang turun menurun. Kita akui
bahwa segala yang terjadi pada masa kekhalifahan Ali sarat dengan pertikaian,
pertentangan dan tindakan kekerasan yang mengakibatkan terbunuhnya Ali dan juga
menimpahkan darah ribuan kaum muslimin. Memang hal ini Nampak lebih mencolok
jika diingat masa – masa tersebut merupakan masa permulaan penerapan ajaran
islam sepeninggal nabi. Bahkan masa – masa setelahnya mungkin jauh lebih parah
kagi. Peristiwa ini merupakan fakta sejarah yang tidak bias diingkari adanya
dalam peradaban islam.
Yang
penting bagi kita adalah bagaimana bisa sampai pada persepsi yang benar
mengenai yang terjadi pada masa pertikain tersebut. Hal ini tidak bermaksud
untuk mencari cacat seorang sahabat, bukan pula untuk fanatic pada golongan
tertentu dengan mencocok – cocokkan berbagai indikasi peristiwa agar sejalan
dengan selera kita. Lagi pula bukan untuk memancing pertikaian baru yang tidak
bermanfaat sama sekali, tetapi yang kita inginkan adalah mengetahui peristiwa
yang benar – benar terjadi, agar kita mengetahui pula dampak yang ditimbulkan dari
peristiwa tersebut.
Langkah
positip untuk menyikapi peristiwa yang terjadi diperlukan sebuah kajian dengan
menggunakan metode ilmiah dalam menggali riwayat – riwayat yang saling
bertentangan untuk mendapatkan hasil – hasil yang rasional tentang berbagai
peristiwa yang terjadi. Wallohu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad Islam dari Masa ke Masa. Penerjemah Abu Laila dan Mohammad Tohir. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 1993
Al amini, Husain Abdul. Ali Bin Abu Thalib sang Putra Ka’bah. penerjemah
Hasyimi Muhammad Alatas. Jakarta : Al Huda. 2003
Al Usairy, Ahmad. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad xx. Jakarta : Akbar
Media Eka Sarana. 2004
Al Hasby, Ali Umar. Keluarga suci Nabi SAW ,penerjemah N.
Yuman. Jakarta : Ilya Mozaik Mutiara Islam.
2004
Basri, Hasan et all. Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok Pikiran
Aliran-aliran. Bandung : Azkia Pustaka Utama. 2006
Horrie, Chris et al. What is islam ? a Comprehensive Intrduction,
Britain : Virgin books. 1997
Elias j.jamal. Islam, London : Routledge. 1999
Hamidullah, Muhamad. Introduction to islam, International
Islamic Book Center. 1957
Kholid, Muhammad. Khulafa’au rasul. Daaru Tsaabit
Kholil, Munawar. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad .Jakarta : Gema Insani. 2001
Tabatabai, Alamah, husyain, Muhammad,
sayyid. Basic teaching of islam,Islamic
Republik of Iran : international Publishing cotehran. 2002
Ya’qub, Husain, ahmad. keadilan sahabat sketsa Politik Islam, penerjemah
nashirul haq et al. Jakarta : Al Huda. 2003
[1]
Ahmad al Husairy, Sejarah Islam Sejak
Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana. 2004),
hal 172
[2]
Munawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi
Muhammad jilid 1 (Jakarta : Gema Insani. 2001). Hal 431
[3]
Ahmad al Husairy, Sejarah Islam Sejak
Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana.2004), 173
[4]
Ahmad Amin, Islam dari masa ke masa
(Bandung :PT Remaja Rosdakarya.1993), hlm 86
[5] The Crisis of muslim history ,hal 236
[6] The
Crisis of Muslim History , hal 129
[7] The crisis of muslim history, hal 130
[8] The Crisis Of Muslim History, hal 132
[9]
Ahmad al Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta : Akbar
Media Eka Sarana. 2004), hal 173
[10] The Crisis of Muslim History, hal 134
[11] The Crisis of Muslim History, hal 134
[12]
Ahmad al Husairy, Sejarah Islam Sejak
Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana.2004), hal
174
[13] The Crisis of Muslim History, hal 136
[14]
Hasan Basri, Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok
Pikiran Aliran-Aliran (Bandung : Azkia Pustaka Utama, 2006), hal 5
[15]
Hasan Basri et al, Ilmu Kalam Sejarah
Pokok Pikiran Aliran-Aliran (Bandung : Azkia Pustaka Utama. 2006), hal 6
[16]
Syekh Mahmudnasir, Islam its Concept and
History (India : Kitab Bahavan, 1978), hal 148
Tidak ada komentar:
Posting Komentar