Kamis, 28 Januari 2016

masa Ali

BAB I
PENDAHULUAN
            Setelah khalifah Umar Ibnu Khatab memerintah selama kurang lebih sepuluh tahun (!3 – 23 H/ 634 – 644). Maka suksesi kekhalifahan dilanjutkan oleh Utsman Ibnu Affan.
            Namun dalam proses pemilihan kholifah, umar tidak menempuh jalan sebagaimana yang dilakukan oleh pendahulunya, khalifah Abu Bakr. Pada periode Utsman ini terjadi malapetaka yang luar biasa hebatnya, yang dianggap oleh sebagian sahabat telah melanggar dari garis yang dibuat oleh Abu Bakr dan Umar. Perpecahan dikalangan kaum muslimin tidak dapat dibendung lagi. Banyak rakyat yang khawatir, kecewa dan tidak percaya atas kebijakan – kebijakan politik Utsman. Puncak dari kekecewaan itu mengakibatkan terbunuhnya Utsman.
            Tulisan ini membahas tentang islam pada masa Ali Bin Abi Thalib dari beberapa aspek saja. Setelah Utsman wafat maka tampuk pimpinan pemerintahan islam jatuh ke tangan Ali. Diangkatnya Ali menjadi khalifah keempat menggantikan Utsman menimbulkan pro dan kontra dikalangan sahabat dan sebagian kaum muslimin.
            Pada periode Ali Bin Abi Thalib kondisi sosial politik semakin tidak stabil. Pertikaian dan perpecahan dikalangan sahabat dan kaum muslimin semakin meruncing akibat hasutan, tipu daya dan propaganda yang intinya bermuatan politik.
            Instabilitas politik yang terjadi pada masa pemerintahan Ali dengan canggih dimanfaatkan oleh orang-orang hipokrit untuk mengadu-dombakan antara pendukung Ali dan rival politiknya. Akibatnya, timbullah pemberontakan dan perang saudara yang menelan ribuan kaum muslimin yang gugur.
Secara singkat dalam tulisan ini akan diungkap bagaimana proses pemilihan Ali menjadi khalifah, apa kebijakan politik yang ditempuhnya, apa yang melatarbelakangi terjadinya pemberontakan dan perang saudara sampai Ali terbunuh. .                















BAB II
PEMBAHASAN

A.   Sosok Ali Bin Abu Thalib
               Ali bin Abu Thalib bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdu Manaf, Al Quraisyi Al Hasyimi dilahirkan sepuluh tahun sebelum nabi Muhammad diutus menjadi Rasul. sejak kecil beliau berada dalam naungan tarbiyah nabi, masuk islam tatkala usianya belum mencapai sepuluh tahun.[1] Dengan demikian, Ali adalah orang yang pertama kali masuk islam dari kalangan anak-anak. Beliau tumbuh dan berkembang dengan nuansa keislaman yang kental. Saat Rasulullah Saw akan berhijrah, dia   bersama-sama hidup dan mengikuti be tidur diatas tempat tidur Rasul, menggantikan posisi Rasul, padahal dia tahu bahwa perbuatannya itu mengandung resiko kematian. Dengan demikian, ia menjadi orang yang pertama rela menjadi fida’ (tebusan) Rasulullah dalam islam. Dia menyerahkan semua titipan yang ada pada Rasulullah kepada para pemiliknya dan setelah itu barulah ia berhijrah ke madinah.[2] Berbagai peperangan beliau ikuti keculi perang tabuk. Menjadi khalifah keempat setelah wafat Rasul SAW. Beliau dikenal sebagai sosok yang pemberani, tangkas, perkasa, pandai, beliau juga menikah dengan Fatimah binti Muhammad dan dikaruniai putera Hasan dan Husen.
                 Pada masa pemerintahan Abu Bakr shiddik, dia selalu bersama dengan sang khalifah. Pada saat Abu Bakr meninggal, dia sangat mencintai Abu Bakr. Tatkala Umar menjadi kholifah, dia sangat dekat dengan umar. Umar selalu meminta nasihat-nasihatnya dalam banyak urusan. Tatkala umar mendekati kematiannya, Ali merupakan salah satu dari enam sahabat yang ditunjuk umar untuk melakukan musyawarah dalam pemilihan khalifah dari salah seorang yang enam itu. Kemudian Utsman menjabat sebagai kholifah. Ali selalu berada di samping Utsman dan membantunya dalam menjalankan roda pemerintahan. Pada saat terjadi pengepungan terhadap Utsman, anak-anak Ali adalah orang yang melakukan pembelaan terhadap Utsman.[3]
B.   Ali  terpilih menjadi Khalifah
               Setelah Utsman terbunuh, mayoritas masyarakat islam bersepakat memilih Ali sebagai pengganti utsman. pada waktu itu Ali dipandang sebagai kandidat yang paling layak diantara dewan syura bentukan umar yang masih hidup (Utsman bin affan, Ali bin Abu Thalib, zubair bin Al Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurahman bin Auf dan Talhah bin ‘Ubaidillah).[4] meskipun demikian Ali tidak langsung menerima untuk memangku jabatan kholifah, setelah didesak maka barulah Ali memenuhi permintaan mereka. setelah diangkat menjadi kholifah beliau berpidato sebagai berikut ;”Wahai manusia, kamu telah memba’iat saya sebagaimana yang telah kamu lakukan kepada khalifah-khalifah yang dahulu. saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan. apabila pilihan sudah jatuh, maka tidak boleh menolak. imam harus teguh dan rakyat harus patuh. baiat terhadap diriku ini adalah ba’iat umum, barangsiapa yang mungkir daripadanya  terpisahlah ia dari agama islam” [5].
               Para sejarawan bersepakat bahwa Ali adalah kholifah pertama dan satu-satunya yang terpilih secara umum dalam sejarah khulafaurosyidin. namun sejarawan berbeda pendapat tentang siapa diantara anggota dewan syuro yang benar-benar menyaksikan ba’iat Ali, karena sejumlah pemuka Quraisy telah meninggalkan madinah ketika pemberontakan terhadap utsman meningkat. ada kesepakatan umum dikalangan sejarawan bahwa talhah dan al zubair termasuk orang yang pertama-tama berbaiat kepada Ali dan menjamin baiat seluruh kaum Muhajirin setelah dipaksa oleh kaum mayoritas karena sebelumnya mereka tidak mau berbaiat. kemudian keduanya meminta ijin kepada Ali untuk pergi ke Mekah menunaikan ibadah haji, sementara Aisyah sudah lebih dulu pergi ke Mekkah untuk menunaikan umroh (saat Utsman sedang berada dalam kepungan). saat pengangkatan Ali berlangsung sikap kaum muslimin terbagi menjadi empat kelompok. kelompok pertama mendukung dan berbaiat kepada Ali secara suka rela (mayoritas kaum muslimin), kelompok kedua berbaiat secara terpaksa (seperti Talhah dan Al Zubair), kelompok ketiga belum mau mengakui Ali sebagai kholifah (Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, Abu Sa’id Al Khudori dan Muhamad bin Maslamah), kelompok keempat tidak menunjukan pendiriannya/blanco (Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Suhaib, Zaid bin Tsabit dan Usamah bin Zaid) [6].
               Terdapat tiga orang Bani Umayyah yang menolak berbaiat ; Marwan ibn Al Hakam, Sa’Id ibn Al Ash, dan al Walid ibn Uqbah. keberatan mereka bukan karena alasan keagamaan atau moral, melainkan atas dasar masalah dendam pribadi terhadap Ali. mereka menyalahkan Ali karena telah membunuh ayah Sa’id dalam perang badar, mengeksekusi ayah Al Walid pada peristiwa pembebasan Mekkah, dan menghina marwan. syarat-syarat yang mereka kemukakan untuk membaiat juga tidak didasarkan pertimbangan keagamaan atau moral. Mereka mensyaratkan masalah-masalah kepentingan pribadi dan solidaritas kesukuan. ketiga orang itu menuntut supaya Ali memaafkan perilaku mereka yang salah, membiarkan mereka mempertahankan kekayaan mereka yang diperoleh dengan jalan yang salah, dan menuntut balas bagi Utsman. Jawaban Ali sebaliknya mencerminkan idealisme moral dan keagamaan: “tentang luka yang kuperbuat padamu, bukan aku, melainkan kebenaranlah yang melukaimu. adapun memaafkan perilaku kamu yang salah, bukan hakku untuk membatalkan hak tuhan. akan tetapi, aku dapat menjamin bahwa aku akan memperlakukanmu sesuai dengan kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya [7].
               Mengenai syarat yang terakhir ini, berbagai riwayat telah menceritakan sikap Ali terhadap para pembunuh Utsman. dalam riwayat yang baru saja dikutip,Ali menyatakan dengan marah :”jika pada hari ini aku umumkan bagi mereka, itu berarti aku harus berperang dengan mereka esok hari. ”menurut Ibn A’tsam Al Kufi, Ali menyatakan :”Jika aku harus membunuh mereka sekarang, seharusnya aku membunuh mereka pada hari yang memilukan itu”. argumen-argumen itu menunjukan bahwa Ali menganggap kematian Utsman sebagai suatu konsekuensi tak terelakkan dari berbagai peristiwa yang berujung pada tragedi itu dan melihat para pembunuh bukan sebagai individu-individu yang teridentifikasikan, melainkan sebagai kelompok massa yang berasal dari berbagai suku dan wilayah Muslim. dari perspektif ini, Ali tidak menghukum mereka meskipun Ali mampu mengidentifikasi para pembunuh Utsman, karena  menghukum mereka menyebabkan dirinya terlibat dalam konflik besar kesukuan.terbukti pembunuhan Utsman menjadi alasan untuk memercikan perang saudara berdarah pertama dalam masyarakat muslim. lebih jauh lagi, pembunuhan itu menjadi peristiwa politik dan keagamaan yang sangat berpengaruh, dalam sejarah peradaban islam.
               Para pendukung Ali melihat naiknnya Ali ke jabatan kholifah sebagai kemenangan atas aristokrasi Quraisy dan sebagai perwujudan dari penegakan kebenaran agama. keyakinan  ini disuarakan oleh Tsabit ibn Qais ibn Syammas yang mewakili kaum anshar : demi Allah, wahai Amir Al Mu’minin, meskipun mereka mendahului kamu dalam kekuasaan khilafah, mereka tidak dapat menandingimu dalam agama. kedudukanmu tidak pernah dapat ditutup-tutupi, juga derajatmu yang tinggi tak dapat diabaikan. mereka semua membutuhkanmu ketika menghadapi situasi yang tidak mereka kuasai ilmunya. namun, dengan pengetahuanmu, kamu tidak membutuhkan siapapun. [8]
C.   Kebijakan-kebijakan Ali pada awal kekuasaannnya
               Pada masa awal kekuasaannya Ali berusaha memperbaiki masalah internal seperti menghapus stratifikasi sosial yang telah dibangun Umar dan Utsman. Ali tidak hanya mendistribusikan kekayaan secara merata, tetapi juga menetapkan jabatan-jabatan pemerintahan berdasarkan kesalehan pribadi dan kejujuran administratif, bukan atas garis keturunan atau prestise social. Ali kemudian mencanangkan gerakan pemberhentian para gubernur yang diangkat pada Masa Utsman.[9]
               Selain itu, Ali juga mengembalikan semua kekayaan yang dikumpulkan oleh sebagian orang secara tidak sah selama pemerintahan Utsman. motonya adalah, “kalian semua adalah hamba Tuhan dan semua kekayaan Tuhan, yang harus dibagi rata kepada kalian.”sedangkan pandangan Ali terhadap orang-orang yang melihat  garis keturunan atau senioritas mereka dalam islam sebagai sebuah sumber kekuasaan dan status tinggi adalah : ”siapa saja yang menjawab seruan Tuhan dan Rasul serta menerima iman kita, memeluk agama kita, dan menghadap ke kiblat kita, berhak atas hak-hak dalam islam dan harus tunduk kepada sanksi agama dan hukumnya.[10]
               Sikap-sikap yang diambil Ali dalam masa kekusaannya mencerminkan bahwa Ali adalah sosok pemimpin  yang mempunyai idealisme tinggi. kebijakan-kebijakan Ali pada masa awal kekuasaannya mengundang timbulnya antipati dan ketidaksetujuan dari sebagian pihak kepada Ali. salah satu kebijakan yang mengundang pro kontra adalah pencopotan Muawiyah sebagai gubernur. Abd Allah ibn Abbas dan Al Mughirah ibn Syu’bah, seorang Quraisy memberi saran kepada Ali untuk mengukuhkan muawiyah sebagai gubernur, sehingga dengan kebijakan itu diharapkan Muawiyah dan pendukungnya tetap loyal kepada pemerintahan Ali. Tetapi Ali menolaknya, alasan mereka memberi saran begitu kepada Ali adalah jika Ali mengukuhkan jabatan Muawiyah, tidak akan memberikan konsekuensi apapun ke kholifah yang menggantikan Utsman. Tetapi kalau Muawiyah dipecat dari jabatannya, diprediksikan mereka akan mengklaim bahwa Ali telah memperoleh jabatan khilafah tanpa musyawarah yang benar dan menuduh Ali yang harus bertanggungjawab atas pembunuhan Utsman. Dengan demikian Muawiyah dan pendukungnya akan menghasut masyarakat Suriah dan irak untuk melawannya. Ali menanggapi saran Al Mughirah dan ibn Abbas sebagai berikut :
“Tentang saranmu agar aku mengukuhkan jabatan mereka, demi Allah, aku yakin bahwa hal ini baik dalam kaitannya dengan dunia yang fana ini. akan tetapi aku diwajibkan oleh kebenaran dan pengetahuanku tentang para gubernur yang diangkat Utsman untuk melakukan sebaliknya: demi Allah, aku tidak akan memperhatikan seorangpun dari mereka”.
               Percakapan antara Ali dan ibn Abbas menggambarkan bahwa Ali merupakan seorang politikus yang teguh memegang prinsipnya. tampaknya ia sadar bahwa idealismenya akan berbenturan dengan aristokrasi mapan yang digerakan oleh ideal lama kekuasaan khilafah yang bersipat moral dan keagamaan, dimotivasi oleh kepentingan baru sosial politik, ekonomi, dan militer, dalam suatu imperium yang berkembang cepat.
               Kalangan sahabat Ali tidak banyak yang memiliki idealisme seperti Ali dan lebih sedikit lagi yang menyetujui kebijakan-kebijakan Ali. Kasus Talhah dan Al Zubair adalah sangat khas dan menarik. keduanya diriwayatkan termasuk yang pertama kalangan sahabat yang membaiat Ali, tetapi kemudian mereka juga yang pertama berbalik memberontak.
               Ibn Qutaibah meriwayatkan bahwa Talhah dan Al Zubair bertanya kepada Ali,”tahukah kamu dengan syarat apa kami membaiatmu? ”Ali menjawab, ”ya,atas dasar mendengar dan menaati perintah, dan atas dasar itu pula kamu membaiat Abu Bakr, Umar dan Utsman. ”tidak”, jawab mereka,”tetapi dengan syarat kami menjadi sekutumu dalam urusan ini .”Al Zubair menginginkan menjadi gubernur Irak dan Talhah menginginkan menjadi gubernur Yaman.
               Menurut Ibn Abi Al-Hadid,Talhah dan Al Zubair dihasut oleh Muawiyah agar memberontak terhadap Ali dan menuntut balas atas kematian Utsman. Muawiyah konon sudah menulis surat kepada Al Zubair dengan menyebutnya sebagai amir al mu’minin. Setelah meyakinkan Al Zubair akan loyalitas masyarakat Suriah terhadapnya sebagai kholifah, muawiyah melanjutkan :“oleh karena itu, segeralah ke kufah dan Basrah sebelum Ali mendahuluimu kesana, karena kamu tidak akan memperoleh apa-apa setelah kamu kehilangan dua kota ini. lebih dari itu, aku telah membaiat Talhah sesudahmu. Jadi bangkitlah dengan tuntutan atas darah Utsman.”Ibn Abi Al Hadid melihat bahwa surat ini merupakan penyebab permusuhan Talhah dan Al Zubair terhadap Ali.[11]
D.   Perang Jamal (36 H / 656 M)
               Muawiyah bin Abu Sufyan yang menjabat sebagai Gubernur Syam, tidak membaiat Ali sebagai kholifah. Dia menuntut darah utsman pada Ali. Sedangkan Ali tidak menjadikan masalah ini sebagai prioritas karena kondisinya yang masih sangat labil. Oleh karenanya, orang-orang Syam tidak taat lagi pada kekhilafahan Ali dan Muawiyah menyatakan memisahkan diri dari kekhilafahannya. Maka, Ali segera menetapkan untuk memeranginya.  Berangkatlah Ali bersama pasukan dari kufah, dia  telah memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kufah. Pada saat itu, Aisyah yang disertai oleh Zubair dan Talhah serta kaum Muslimin yang berasal dari Mekah juga menuju Basrah untuk menetap disana. Bahkan, mereka berhasil meringkus para pembunuh Utsman. Mereka mengirimkan surat ke beberapa wilayah untuk melakukan hal yang sama.[12]
               Ali pun mengubah rute perjalanannya dari Syam ke Basrah. Dia mengirimkan beberapa utusan kepada Aisyah dan orang-orang yang bersamanya serta menerangkan dampak negative dari apa yang mereka lakukan. Mereka puas terhadap apa yang dikatakan oleh Ali dan mereka kembali ke base pasukan untuk melakukan kesepakatan damai.
            Keduanya hampir saja melakukan kesepakatan damai. Namun, Abdullah bin Saba’ dan pengikutnya yang menyimpang merasa ketakutan dan mereka melihat bahwa pertempuran harus terjadi antara kedua pasukan. Akhirnya mereka kembali berhasil mengobarkan api perang diantara kedua pasukan islam ini dengan sebab-sebab yang sebenarnya sangat sepele.
             Kedua pasukan terlibat pertempuran yang demikian sengit. Ali tidak berhasil menghentikan peperangan. Pertempuran terjadi demikian sengitnya di depan unta yang membawa tandu Aisyah. Sehingga, kemudian perang ini disebut dengan perang jamal (perang unta). Pasukan Basrah kalah dalam perang ini. Ali memperlakukan Aisyah    dengan sebaik-baiknya dan mengembalikannya ke mekah. Ini merupakan perang pertama yang terjadi antara dua kelompok kaum muslimin. Pada perang ini banyak kaum muslimin yang terbunuh. Sebagian sejarahwan menyebutkan ada sekitar 10.000 yang terbunuh. Maka, sejak itu Bashrah masuk secara penuh dalam pemerintahan Ali. Perang ini menunjukan kemorosotan tajam dalam konsepsi moral dan keagamaan, menandai awal kemenangan  politik pragmatis atas nilai-nilai yang dijadikan Nabi Muhammad sebagai dasar membangun persemakmuran islam pertama di Madinah. pada masa nabi, umat Muslim termotivasi oleh keimanan dan janji akan surga, namun penaklukan yang luas dan pemasukan yang berlimpah mendorong banyak diantara mereka menyimpang dari iman dan tujuan akhirat. hal ini juga menyebabkan sebagian dari mereka menjauhi dunia. perang jamal merupakan peristiwa lain yang menandai perang saudara. Perang jamal berlangsung sangat singkat tetapi menelan banyak korban. perang ini terjadi diluar kota basrah disebelah selatan irak, disekeliling unta aisyah, karena itu disebut perang jamal. Diantara orang-orang yang meninggal dalam konflik itu adalah Talhah dan Al Zubair, Talhah terbunuh oleh anak panah yang dibidikkan oleh marwan ibn Al Hakam. melihat nasib sekutunya Al Zubair segera meninggalkan medan perang. Namun, ia dibunuh oleh seorang suku tamim atas suruhan Al Ahnaf ibn Gais,,seorang pemuka anshar dan salah seorang pendukung setia Ali, yang mengecam Al Zubair dengan mengatakan :
“aku tidak pernah melihat orang seperti ini,ia menyeret isteri Rasulullah SAW yang tidak boleh diganggu keluar dari tempat perlindungannya,melanggar kesucian tabir yang diletakkan  Rasulullah diseputar isterinya di rumah beliau,kemudian ia menelantarkannya dan kabur begitu saja.tidak adakah orang yang akan menghukumnya dengan murka tuhan”.[13]
               Isteri nabi yang dimaksud adalah Aisyah. Dikisahkan dalam perjalanan pulang ke madinah ,Aisyah bertemu dengan Abd ibn Abi Salma, keluarga jauh dari pihak ibunya, menginformasikan kematian Utsman dan naiknya Ali sebagai kholifah. Ibn Abi Salma menceritakan bahwa masyarakat madinah telah menunggu selama delapan hari setelah kematian utsman, sebelum mereka dengan bijak bersepakat memilih Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Utsman. Aisyah  berkata : ”demi Allah Utsman terbunuh secara tidak sah, dan aku pasti akan menuntut balas atas darahnya.”
               Muncul dua penjelasan apologetic tentang peran Aisyah dalam peristiwa yang mengarah kepada perang jamal yang tragis. Pertama, ia hanya ingin membuat perdamaian dikalangan kaum muslim. kedua, ia adalah korban tak berdaya dari permainan politik Talhah dan Al Zubair. Kenyataannya tampaknya Aisyah memiliki pemikiran sendiri, dan jelas ia adalah pemain kunci dalam gerakan oposisi itu. Aisyah dikenal sebagai perempuan yang aktif bernegoisasi, menulis surat, dan memberikan ceramah memikat yang menarik masyarakat untuk bergabung dalam upayanya m enegakan kebenaran.
               Di mekkah, dengan kehendak sendiri Aisyah menjalin persekutuan dengan Abd Allah ibn Amir, gubernur yang diangkat Utsman dikota itu. Aisyah membakar emosi masyarakat di kota suci dengan berkata :”masalah ini tidak akan pernah terselesaikan selama kegemparan ini terus berlangsung. Tuntutlah balasan atas darah Utsman dan dengan demikian kalian akan mempertahankan islam. karena itu, bangkitlah dan bergabunglah dengan masyarakat Bashrah. Masyarakat suriah mendukungmu, Semoga Allah akan menuntut balas bagi Utsman dan kaum muslim”.
               Dari berbagai faktor itulah terjadilah perang jamal, perang antara Aisyah, Talhah, Zubair melawan Ali. Perangpun meletus, dikedua belah pihak menimbulkan banyak korban, dan pasukan Ali keluar sebagai pemenang. bagaimanapun, karena perang meletus, sesungguhnya seluruh umat Muslim kalah. dalam teori, islam adalah sebuah komunitas agama yang didasarkan atas prinsip persaudaraan seluruh kaum muslimin atas dasar keimanan. lebih jauh, karakteristik komunitarian dari keimanan ini dinyatakan melampaui semua perbedaan sectarian, sosial dan politik. Perang jamal merupakan pelanggaran mencolok terhadap ajaran islam yang sangat mendasar itu. Tidak hanya melanggar prinsip kesatuan muslim, perang itu juga membenarkan penggunaan kekerasan dan bahkan pertumpahan darah sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Perang jamal menimbulkan krisis moral dan politik bagi orang-orang muslim yang saleh, mengangkat pertanyaan serius tentang integritas kepemimpinan beberapa sahabat nabi, memunculkan kembali masalah lama tentang loyalitas kesukuan dalam kitab suci, membangkitkan permusuhan lama berdarah yang telah merusak masyarakat Arab pra-islam dan yang ingin diberantas oleh islam.
               Konsekuensi yang paling serius dari perang jamal adalah Ali kehilangan otoritas moral dan politik, atau otoritas sebagai imam kaum muslim. Karena itu, sejumlah gubernurnya dengan terpaksa gagal memangku jabatan.dan ketika Ali menulis surat ke muawiyah yang menuntut kesetiaannya, surat yang dikirim sebagai jawaban adalah selembar kertas kosong, hanya bertuliskan ucapan basmalah. Muawiyah meningkatkan penghinaan menjadi ancaman dengan memerintahkan kepada wakilnya supaya memberitahukan Ali bahwa di Damaskus enam puluh ribu orang pemuka berkabung atas kematian Utsman di bawah baju berlumuran darah yang dipertontonkan kepada mereka diatas mimbar mesjid utama kota itu.
E.    Perlawanan Muawiyah
               Konflik antara Ali dan Muawiyah terletak pada keyakinan Ali atas keabsahan otoritas kekhilafahannya yang tak perlu dipertanyakan lagi dan tuntutan Muawiyah yang semakin meningkat atas haknya sendiri sebagai ahli waris (wali) Utsman dalam menuntut balas atas darahnya. lebih dari itu, klaim ini menjadi dasar tuntutan Muawiyah atas jabatan kholifah.
               Titik-titik pertikaian diungkap dengan sangat jelas dalam sebuah surat panjang yang ditulis Ali kepada Muawiyah, seperti yang diceritakan oleh Nashr ibn Muzahim,salah seorang sejarawan paling awal
 Tentang perang saudara di Shiffin.Ali berargumentasi:
“Baiatku dari masyarakat Madinah tetap mengikatmu, meskipun kamu berada di Suriah. ini karena merekalah orang-orang yang juga membaiat Abu Bakr, Umar, dan Utsman. karena itu, orang lain yang hadir tidak memiliki pilihan dalam masalah ini dan orang-orang yang jauh tidak berhak keberatan, karena hak prerogratif syura (musyawarah) hanya menjadi milik kaum Muhajirin dan Anshar. Jika mereka telah menyepakati mengangkat seseorang sebagai imam dan menyebutkan namanya, keputusan mereka harus diterima. Jika ada orang yang menyimpang dari keputusan mereka. baik dengan menolaknya atau mendambakan (jabatan kholifah bagi dirinya sendiri) mereka harus membawanya kembali.jika orang itu menolak,mereka harus memeranginya,karena ia tidak mengikuti jalan kaum mukmin.”
               Ali kemudian menceritakan nasib yang menimpa Talhah dan Al Zubair setelah mereka mencabut baiat mereka. Beralih ke tuntutan balas utsman, Ali menasehati Muawiyah agar bergabung dengan kaum muslimin dengan memberikan baiat dan berjanji akan menghakimi para pembunuh sesuai dengan kitab Allah.“tentang keinginanmu terhadap jabatan kholifah, ”lanjut Ali, ini seperti diputuskannya bayi  dari susu ibunya. Karena, Jika kamu memandang masalah ini dengan akal sehatmu, bukan dengan hasrat sia-siamu, kamu akan melihat diriku sebagai orang Quraisy yang paling tak bersalah atas darah Utsman. Ali mengakhiri dengan peringatan bahwa Muawiyah termasuk diantara orang-orang yang dimaafkan nabi pada waktu penaklukan mekkah dan tidak memiliki klaim sah atas jabatan kholifah. bagi kebanyakan orang ketaatan Ali yang teguh terhadap ajaran agama tentang kesetaraan merupakan sebuah kekuatan besar. Tetapi bagi sebagian lagi sikap seperti itu merupakan kebodohan dan pengkhianatan.muawiyah memanfaatkan ketegangan ini demi keuntungan politiknya.selain menyadari kedudukan Ali yang tinggi dalam umat islam serta keabsahan baiat Ali.
               Muawiyah juga menyadari kelemahan klaimnya sebagai penuntut balas darah utsman yang sah,mewakili para ahli pewaris sah utsman.pertama-tama ia membuat langkah hati-hati dengan menyuarakan klaim ini dan kemudian menantang kekuasaan kholifah Ali secara perlahan-lahan. Muawiyah semakin percaya diri dengan adanya ketaatan mutlak tentaranya di suriah, serta dukungan dan loyalitas masyarakat suriah. sebaliknya, sebagian besar tentara Ali adalah orang-orang semi-nomadik dan independen yang tak terbiasa dengan kekuasaan seorang kepala atau penguasa tunggal yang tak boleh dibantah.perbedaan tajam antara masyarakat urban Suriah dan masyarakat Irak yang sangat bersipat kesukuan diungkapkan secara dramatis oleh Al Hajjaj ibn Khuzaimah,yang mendatangi Muawiyah bersamaan dengan berita kematian utsman,dengan menuduh orang-orang bani Hasyimlah yang bertanggung jawab atas kejadian itu. Konon Al Hajjaj merupakan orang pertama yang memanggil Muawiyah dengan sebutan Amirul mu’minin. ia berkata”
“Aku memberi tahu anda,wahai amir Al mu’minin, bahwa anda mempunyai sumber kekuatan untuk melawan Ali, yang tidak dimilikinya untuk melawan anda. Anda memiliki masyarakat yang tidak akan berkata apapun ketika anda berbicara,atau bertanya ‘mengapa? ketika anda memerintah sesuatu.akan tetapi, bersama Ali terdapat orang-orang yang berbicara ketika ia berbicara dan mempertanyakannya ketika ia memerintah. Oleh karena itu, sedikit orang yang bersamamu lebih baik daripada banyak orang yang bersamanya.”
               Terlepas dari permusuhan mendalam antara Ali dan Muawiyah, tampaknya keduanya lebih suka menyelesaikan pertikaian mereka melalui perantara dan diplomasi daripada melalui pertumpahan darah. oleh karena itu, terjadilah pertukaran sejumlah delegasi dan surat menyurat dalam rangka meredakan situasi. Jarir ibn Abd Allah Al Bajli, seorang pemuka arab Yaman dan gubernur Ali atas wilayah hamadzan adalah delegasi Ali pertama untuk Muawiyah .Misinya adalah meyakinkan Muawiyah dan para pendukungnya dari suriah agar memberikan baiat kepada Ali dan menerima penjelasannya mengenai pembunuhan Utsman dan para pelakunya.
               Jarir menyerukan orang-orang suriah dan gubernur mereka agar membaiat Ali dengan menyatakan bahwa agama ini tidak dapat menoleransi pemberontakan dan bangsa Arab tidak dapat menoleransi pedang.sehubungan dengan kematian utsman,jarir menambahkan,peristiwa ini menggugat orang-orang yang menyaksikannya, apalagi orang-orang yang bahkan tidak hadir. tambahan lagi, masyarakat membaiat Ali tanpa menyalahakan siapapun atau menuntut balas. sementara itu, Muawiyah mempertahankan haknya atas pemerintahan suriah dengan alasan bahwa ia telah diangkat oleh Umar dan dikukuhkan oleh Utsman sehingga Ali tidak memilki kewenangan atasnya. Jarir menolak argument ini dan menjawab praktik semacam itu, jika dibolehkan akan membuat seorang penguasa tidak bisa mencabut keputusan pendahulunya dan akan membuatnya tidak memiliki kekuasaan nyata. lebih jauh, tidak terelakkan lagi hal itu mendorong pada kekacauan dan kekuasaan yang tidak sah. Muawiyah tidak memberikan jawaban kepada jarir sambil meminta waktu lebih lama lagi untuk memikirkannya. Sambil menunggu Jarir, diam-diam Muawiyah berupaya mengonsolidasikan kekutannya. untuk tujuan ini, ia mengumpulkan para pemuka rakyatnya di suriah untuk mempertegas loyalitas mereka dan untuk melihat pendirian mereka dalam masalah kematian Utsman dan tentang haknya untuk menuntut balas atas darah Utsman. ia berbicara kepada mereka dengan mengatakan :
“Segala puji bagi Allah yang telah mengukuhkan tiang-tiang islam dan menjadikan hukum suci sebagai bukti iman-iman yang suluhnya akan selalu menyala di tanah suci, yang dijadikannya sebagai tempat tinggal para nabiNya dan hambaNya yang soleh. kemudian Allah menjadikan masyarakat suriah hidup diwilayah ini.               ia memperkenankan wilayah itu bagi mereka dan mereka bagi wilayah itu. Sebab, sejak azali Dia mengetahui ketaatan dan nasihat mereka yang tulus kepada para kholifahNya yang memegang teguh perintahNya dan melindungi agamaNya dan hukum-hukumNya yang tidak boleh dilanggar”
               Muawiyah kemudian mengingatkan orang-orang yang berkumpul bahwa ia adalah wakil (kholifah) Umar dan Utsman atas mereka, bahwa ia adalah ahli waris Utsman dan utsman telah dibunuh secara tidak adil. Muawiyah kemudian menuntut : “aku ingin tahu apa sesungguhnya yang kalian simpan dalam hati kalian tentang pembunuhan utsman. mereka semua membaiatnya dengan syarat bahwa ia harus menuntut balas atas darah Utsman.
               Dampak orasi penting ini melampaui tujuan langsung yaitu mengonsolidasikan kekuatan Muawiyah di Suriah. Signifikansi luasnya terletak pada fakta bahwa orasi itu menandai permulaan sebuah upaya sadar dari kaum yang kemudian menjadi Dinasti Umayah untuk  membangun, di tanah suci Suriah, tempat alternative bagi haji ke Mekah dan Madinah. tujuan upaya ini ada dua : pertama, untuk meningkatkan signifikansi Suriah dan konsekuensinya Damaskus sebagai ibu kota baru khilafah. Kedua ,untuk mengalihkan umat dari jazirah Arab, karena diwilayah itu kekuasaan Umayyah secara umum tidak popular. Keberhasilan strategi ini dapat dilihat pada fakta bahwa ziarah ke bait al maqdis di yerusalem, menjadi bagian integral dari haji itu sendiri.
               Muawiyah semakin memperkuat peluang meraih kekuasaan dengan membujuk Amr ibn Al Ash untuk menjadi sekutu dekatnya dalam perlawanan terhadap Ali. Amr adalah seorang sahabat terhormat dari Quraisy, ahli strategi militer terkemuka dan politisi yang lihai. riwayat penerimaan Amr  terhadap ajakan Muawiyah kemungkinan sangat diragukan kebenarannya. meskipun demikian, riwayat tersebut mengandung banyak pelajaran, karena menggambarkan secara gambling persepsi umum tentang karakter konflik antara Ali dan Muawiyah, disamping kedudukan kedua orang ini dalam system nilai moral dan politik islam.
               Oleh karena tidak dapat menentukan sikap,Amr konon meminta nasihat dua putranya, Abd Allah seorang sahabat yang soleh dan ahli hadis terhormat, berkata :
“Aku melihat Nabi wafat dan ridha kepadamu, demikian pula dua kholifah sesudah beliau (Abu Bakr dan Umar). Terlebih lagi, Utsman terbunuh saat anda jauh darinya. karena itu, tinggallah di rumah, karena anda tidak akan terpilih menjadi kholifah. Juga janganlah menjadi sekutu Muawiyah demi bagian kecil dari dunia ini, yang mungkin menjadi sebab kemalangan dan kehancuran anda.”
               Muhammad, putra Amr yang lebih muda dan berorientasi duniawi, menasehati ayahnya agar bergabung dengan masyarakat suriah dalam menuntut balas atas darah Utsman, sehingga ia dapat menjadi kepala ketimbang sekedar ekor dalam segala upaya penyelesaian masalah. Amr mengamati, kau, Abd Allah telah menasehatiku agar melakukan apa yang terbaik bagiku di dunia ini. masih belum dapat memutuskan pendiriannya, Amr pertama-tama memerintahkan Wardan, seorang pembantunya yang soleh dan cerdas, Untuk berangkat dan kemudian memerintahkannya agar berhenti dan menurunkan barang bawaan, melihat kebingungan tuannya, wardan:
               Dunia ini dan akhirat sedang berperang berkomentar dalam hati anda dan anda bingung diantara keduanya. anda mengatakan bahwa bersama Ali terdapat akhirat, tetapi bukan dunia ini, melainkan akhirat dapat memberikan ganti yang lebih besar daripada kehilangan harta di dunia ini, tetapi dunia ini bukanlah ganti akhirat.
               Wardan kemudian menasehati tuannya agar tidak pergi. ”karena” tegasnya, ”jika kaum beragama menang, anda akan hidup dalam ampunan iman mereka. Namun,jika orang-orang duniawi menang, mereka pasti akan meminta nasihatmu.
               Tidak diragukan lagi, Amr melihat upayanya bersama Muawiyah murni sebagai kesempatan untuk memperoleh kembali kekuasaan atas mesir dan kekayaannya yang melimpah, setelah ia sendiri menaklikan wilayah itu pada masa pemerintahan khilafah umar. mungkin karena ingin meneguhkan strategi negosiasi dengan Amr ,Muawiyah berkata :”Wahai Abu Abd Allah, aku mengajakmu untuk berjihad terhadap orang yang tidak menaati tuhanNya, membunuh kholifah, menebar perselisihan dan menimbulkan perpecahan dalam umat, serta memutuskan hubungan dengan keluarga dekatnya. jihad melawan siapa?”Tanya Amr. melawan Ali. Jawab Muawiyah. akan tetapi, Amr mengatakan, ”kamu dan Ali tidak sebanding dalam keutamaan dan kehormatan. Kamu tidak pernah hijrah seperti dia,iak pertama masuk islam, bersahabat dengan Nabi, berjihad, dan memiliki ilmu pengetahuan.”Amr lalu bertanya,”Apa yang akan kamu berikan kepadaku jika aku bekerja sama denganmu dalam perang melawan Ali?”aku akan memberimu mesir, jawab Muawiyah.
               Konflik antara Ali dan Muawiyah telah menimbulkan perpecahan dalam tubuh umat Muslim, perpecahan yang melatarbelakangi terjadinya perang saudara, yang dikenal dengan perang Shiffin.
F.    Perang Shiffin (37 H / 657 M)
               Perang shiffin adalah peperangan antara pendukung Ali dan pendukung Muawiyah. Karena Muawiyah menolak untuk mendukung Ali sebagai kholifah dan menolak untuk meletakan jabatan gubernur. Ia juga tampil menuntut bela atas pembunuhan utsman sebagai legitimasi penentangannya terhadap Ali.[14] Delegasi yang diutus antara Ali dan Muawiyah semuanya tidak menghasilkan apa-apa sehingga akhirnya keduanya menempatkan pasukannya di Shiffin. Muawiyah mempersiapkan lasykar tentaranya dan menghasut kaum muslimin supaya memusuhi Ali. Dia meyakinkan kepada orang-orang bahwa Ali lah yang melindungi  pembunuh Utsman sehingga mereka menolak Ali yang dari Bani Hasyim sebagai khalifah. Oleh karena itu mereka mendukung Muawiyah, Amr bin Ash, politikus yang terkenal licin dan pintar.
               Dari Kuffah Ali mengerahkan pasukannya ke syiria, dan pasukan secara Muawiyah pun sudah siap siaga. Kedua pasukan tersebut bertemu disebuah tempat dekat sungai Eufrat yang bernama Shiffin. Ali berkali – kali mengajak berunding secara damai untuk menghindari pertumpahan darah, tetapi muawiyah tetap menolaknya. Pasukan Ali sudah hampir menang dan pasukan Muawiyah semakin tersisih, maka disaat itulah Muawiyah atas nasihat Amr bin Ash mengangkat Al Qur:an sebagai tanda perang harus berhenti. Ali melihat bahwa hal itu merupakan kelicikan, tetapi tentaranya meminta untuk menghentikan perang. Dengan demikian, muawiyah selamat dari kekalahan. Dua orang perunding dari kedua belah pihak (Amru bin ash dari pihak Muawiyah dan Abu Musa al asyari dari pihak Ali) bertemu. Dalam perundingan disepakati untuk memberhentikan kedua pimpinan yang bertikai, yaitu Ali dan Muawiyah. Tradisi yang terkuat dari bangsa arab mengharuskan Abu Musa al Asyari sebagai yang tertua terlebih dahulu berdiri mengumumkan putusan kepada khalayak untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amru bin Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali dan menolak penjatuhan Muawiyyah.
             Dengan demikian terjadilah kedudukan yang terbalik dan merugikan Ali. Yang sebenarnya Ali lah yang resmi sebagai khalifah, sedangkan Muawiyyah tidak lebih dari hanya sebagai gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada Ali malah ditetapkan sebagai khalifah. Dengan peristiwa ini kedudukan muawiyyah naik menjadi kholifah yang tidak resmi. Bagaimanapun juga peristiwa ini merugikan Ali dan menguntungkan Muawiyyah. Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak oleh Ali dan ia tidak meletakkan jabatannya sampai ia mati terbunuh pada tahun 661 M.[15]peristiwa ini dikenal dengan tahkim
               Namun dari tahkim yang dilakukan oleh kedua belah pihak jelas tidak menyelesaikan masalah dan tidak menguntungkan posisi Ali, karena sebagian kelompok menerima dan sebagian lagi menolak. Peristiwa tahkim inilah yang kemudian menjadi cikal bakal tumbuhnya pemikiran ilmu kalam dalam sejarah islam. Sekelompok orang terutama para pengikut setia Ali bin Abi Thalib yang kecewa dengan  Situasi seperti ini menyebabkan timbulnya golongan ketiga yaitu golongan khawarij (orang – orang yang tipu muslihat tahkim itu, menganggap bahwa orang yang telah menyetujui tahkim harus dituntut, bahkan dibunuh karena mereka sudah termasuk orang kafir. sekelompok orang yang kemudian dinamakan khawarij tersebut berkembang menjadi paham yang beranggapan bahwa orang yang berbuat dosa besar termasuk kafir. dari sinilah timbul aliran-aliran teologi islam seperti Murji’ah, Mu’tazilah, asy’ariyah dan Maturidiyah. Masing-masing  aliran memiliki pokok pikiran yang khas satu sama lain saling bertentangan.
G.   Runtuhnya Kekuasaan Ali
               Berakhirnya arbitrase yang tak menentu dan karenanya  juga konflik Shiffin, menciptakan suatu kevakuman kekuasaan. Dengan kekuatan yang belum pernah muncul sebelumnya dan kelicikan politik, Muawiyah segera mengisinya. Ali, prajurit agung memiliki keistemewaan tak pernah kalah dalam perang bersenjata. Akan tetapi, Ali, orang yang memiliki idealisme teguh, kalah berperang dalam memperjuangkan kredebilitas politis dan kekuasaan khilafahnya oleh orang-orang yang jahat yang tidak memiliki kesalehan dan idealisme.
               Ada sejumlah faktor yang mendorong akhir kehgidupan Ali yang tragis. Pertama, peristiwa pembunuhan Utsman terus membayangi khilafahnya hingga wafatnya.. Kedua, keterlibatan Ali dalam perang saudara pertama dalam sejarang muslim, membuat kaum muslim yang tulus menjauhinya dan pada akhirnya merugikan otoritas politik dan moralnya. Ketiga, sebagaimana telah ditunjukkan, meskipun kejujuran Ali yang tak kenal kompromi dalam menangani urusan negara dan pemerataannya yang tegas dalam pembagian kekuasaan menjadikan dirinya suri teladan dalam keadilan dan perilaku yang saleh, hal itu mencerabutnya dari dukungan dan loyalitas masyarakat rakyat Arab, terutama orang-orang Quraisy. Ketiga faktor di atas dapat dilihat dengan jelas dalam kegagalan berulang-ulang upaya Ali untuk memulihkan kekuasaan politiknya sesudah perang Shiffin.
               Telah jelas bahwa Ali tidak terlibat langsung dalam pembunuhan Utsman. Akan tetapi, fakta bahwa ia bisa jadi membenarkannya dan karenanya tidak berbuat banyak untuk menghalanginya atau melakukan tindakan untuk menghukum pelakunya, membuatnya, dalam beberapa hal, di mata banyak sahabat Nabi bertanggung jawab atas kematian tragis imam Muslim.
               Terlebih lagi konflik berdarah antara Ali dan aristokrasi Quraisy  disatu sisi, dan antara dirinya dan beberapa pendukung setianya yang kecewa disisi lain, dianggap oleh banyak orang sebagai akibat tindakan kejinya yang memecah belah ini. Pandangan ini terungkap dengan jelas dalam suatu perdebatan tajam antara Ali dan beberapa pemuka Quraisy yang mendatanginya sesudah perang Shiffin untuk menuntut gaji mereka. Diantara mereka adalah Abd Allah ibn Umar,Sa’id ibn Abi Waqqash dan Al Mughirah ibn Syu’bah.
               Dengan marah Ali bertanya, “Apa yang membuatmu menjauhiku selama ini?”pembunuhan Utsman,” jawab mereka.karena kami tidak tahu apakah darahnya sah untuk ditumpahkan atau tidak.”Mereka melanjutkan :
“Tentu Utsman melakukan kesalahan, tetapi kamu (Ali dan para pendukungnya) memaksanya bertobat dan ia melakuakn. Namun, kamu terlibat dalam pembunuhannya. Kami tidak tahu apakah kamu melakukan ha; yanmg benar atau tidak. Tentu kami mengakui sepenuhnya keutamaanmu, kedahukluanmu (menerima Islam), dan hijrahmu, wahai Amir Al Mu’minin
               Ali mengingatkan mereka akan dictum Alquran, “jika dua kel;ompok muslim berperang satu sama lain, maka perangilah kelompok yang memberontak hingga mereka tunduk kepada perintah Tuhan” (QS, Al Hujarat:9). Lalu ia menegaskan, “Kamu tidak melakukan amar ma’ruf sebagaimana  diperintahkan Tuhan.” Sa’ad menjawab, “Wahai Ali, berikan kepadaku pedang yang dapat membedakan orang yang beriman dengan orang yang m,enolak iamn. Aku takut membunuh seorang muslim dan dengan begitu masuk neraka.” Akan tetapi Ali menjawab, jika mereka mengetahui Utsman adalah imam sah yang harus ditaati dan ia berada dalam kebenaran, mengapa mereka meninggalkannya? Sebaliknya, jika ia berada dalam kesalahan, mengapa mereka tidak memranginya? Ali mengakhiri :
“Jika Utsman benar tindakannya, maka kamu berdosa dengan tidak mendukung imam kamu. Namun, jika ia salah, kamu juga berdosa kareana tidak mendukung orang-orang yang melakuakan amar ma’ruf nahi mungkar. Bagaimanapun, kamu berdosa tidak ikut campur dalam urusan antara kami dan musuh kami sebagaimana Tuhan memerintahkan kamu melakukannya, karena Dia berfirman, “Perangilah kelompok yang memberontak hingga mereka tunduk kepada perintah Allah””
               Terlihat dari uraian di atas bahwa masyarakat Suriah menganggap Mu’awiyah sebagai satu-satunya penguasa mereka sebelum Perang Shiffin. Dengan demikian, ketika ia kembali ke Damaskus setelah Amr mengukuhkannya sebagai pengganti Utsman, mereka memberikan penghoirmatan sebagai khalifah terhadapnya. Di samping itu, kelompok Yaman pro-Utsman bangkit memberontak gubernur yang diangkat Ali, Ubaid Allah ibn  Abbas, dengan menuntut balas atas darah Utsman. Mereka menulis surat kepada Mu’awiyah yang memeintanya agar mengirim seseorang untuk menerima baiat mereka; jika tidak, mereka akan minta maaf kepada Ali atas perilaku mereka yang salah dan membaiatnya.
               Para penduduk provinsi-provinsi terpencil juga mencoba memisahklan diri dari kekuasaan pusat negara. Thabari meriwayatkan bahwa ketika kondisi Ali semakin tidak stabil, masyarakat  provinsi Fars dan Kirman di Iran berhenti membayar pajak tanah mereka (kharaj). Ali menyuruh gubernurnya yang cakap dari Persia, Ziyad ibn Abih, mengembalikan mereka kepada negara. Selain itu, masyarakat Bahrain yang baru saja memeluk Islam kembali ke keimanan Kristen mereka.
               Kekuasaan Ali semakin terkikis oleh lepasnya provinsi penting Mesir. Hal ini membawa malapetaka baginya, bersamaan dengan lepasnya dua pendukung setianya. Tak lama setelah menjadi khalifah, Ali telah mengangkat Qais ibn Sa’d ibn Ubadah dari Anshar sebagai Gubernur Mesir. Qais diterima dengan baik karena ia adalah gubernur yang cinta damai, toleran, dan bijaksana. Namun, penduduk sebuah kota yang disebut Khirbittah sangat terganggu oleh kematian Utsman dan meminta Qais agar tidak memaksa mereka membaiat Ali sampai mereka menyaksikan keputusan orang tentang para pembunuh Utsman. Qais mengabulkan tuntutan mereka, karena ia yakin bahwa mereka tidak bfermaksud memberontak.
               Namun, Muawiyah takut dirinya harus mengahdapi tentara gabungan Irak dan Mesir di Shiffin.  Oleh karena itu, ia memasukkan sebuah surat dari Qais, yang menyatakan bahwa Qais memberikan kepadanya dan meminta bantuan militer untuk menuntut balas darah Utsman. Muawiyah kemudian sengaja menyebarluaskan kabar palsu ini, sehingga Ali pasti akan mendengarnya. Ali menjadi curiga atas motif Qais dan memintanya memerangi masyarakat Khirbittah. Namun, Qais menolak dan melepaskan jabatannnya. Bangga dengan keberhasilan strateginya, Muawiyah menyatakan di hadapan sekelompok masyarakat Quraisy, “Aku tidak pernah merencanakan suatu siasat yang begitu mengagumkan seperti strategi yang aku gunakan untuk memerdayakan Ali melawan Qais”
               Ali kemudian mengutus Muhammad ibn Abu Bakr sebgai gubernur Mesir. Bersamaan dengan itu, Muawiyah mengutus Amr ibn Al-Ash sebagai komandan pasukan besar, termasuk para prajurit kesatuan polisi pribadinya, untuk merebut provinsi tersebut. Amr mengalahkan Muhammad ibn Abu Bakr dan berkuasa atas mesir. Ia kemudian membunuh putra sesama sahabat Nabi itu dan membakar jasadnya dengan terbungkus kulit bangkai keledai.
H.   Akhir Hayat Ali Bin Abi Thalib
               Posisi barisan Ali semakin lemah karena harus berhadapan dengan kaum khawarij di satu pihak dan barisan pendukung Muawiyah di pihak lain yang semakin kuat. Dalam situasi seperti ini posisi Ali terancam, puncak dari ancaman itu adalah terjadinya pembunuhan Ali oleh seorang khawarij yang bernama Abdur Rahman bin Muljam. Sewaktu dia akan shalat subuh di mesjid. pembunuhan ini terjadi pada tanggal 17 Ramadhan 40 H/661 M di Kuffah.[16]













BAB III
PENUTUP
               Berakhirnya kekhalifahan Ali berarti berakhir pula kepemimpinan al khulafaur Rasyidin yang berdasarkan musyawarah. kemudian pemerintahan islam dilanjutkan dengan system daulah yang turun menurun. Kita  akui bahwa segala yang terjadi pada masa kekhalifahan Ali sarat dengan pertikaian, pertentangan dan tindakan kekerasan yang mengakibatkan terbunuhnya Ali dan juga menimpahkan darah ribuan kaum muslimin. Memang hal ini Nampak lebih mencolok jika diingat masa – masa tersebut merupakan masa permulaan penerapan ajaran islam sepeninggal nabi. Bahkan masa – masa setelahnya mungkin jauh lebih parah kagi. Peristiwa ini merupakan fakta sejarah yang tidak bias diingkari adanya dalam peradaban islam.
               Yang penting bagi kita adalah bagaimana bisa sampai pada persepsi yang benar mengenai yang terjadi pada masa pertikain tersebut. Hal ini tidak bermaksud untuk mencari cacat seorang sahabat, bukan pula untuk fanatic pada golongan tertentu dengan mencocok – cocokkan berbagai indikasi peristiwa agar sejalan dengan selera kita. Lagi pula bukan untuk memancing pertikaian baru yang tidak bermanfaat sama sekali, tetapi yang kita inginkan adalah mengetahui peristiwa yang benar – benar terjadi, agar kita mengetahui pula dampak yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut.
               Langkah positip untuk menyikapi peristiwa yang terjadi diperlukan sebuah kajian dengan menggunakan metode ilmiah dalam menggali riwayat – riwayat yang saling bertentangan untuk mendapatkan hasil – hasil yang rasional tentang berbagai peristiwa yang terjadi. Wallohu a’lam.  

DAFTAR PUSTAKA                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        
 Amin, Ahmad Islam dari Masa ke Masa. Penerjemah Abu Laila dan Mohammad Tohir.     Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 1993
Al amini, Husain Abdul. Ali Bin Abu Thalib sang Putra Ka’bah. penerjemah Hasyimi Muhammad Alatas. Jakarta : Al Huda. 2003
Al Usairy, Ahmad. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad xx. Jakarta : Akbar Media Eka Sarana. 2004      
Al Hasby, Ali Umar. Keluarga suci Nabi SAW ,penerjemah N. Yuman. Jakarta : Ilya Mozaik Mutiara Islam.  2004
Basri, Hasan et all. Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-aliran. Bandung : Azkia Pustaka Utama. 2006
Horrie, Chris et al. What is islam ? a Comprehensive Intrduction, Britain : Virgin books. 1997
Elias j.jamal. Islam, London : Routledge. 1999
Hamidullah, Muhamad. Introduction to islam, International Islamic Book Center. 1957
Kholid, Muhammad. Khulafa’au rasul. Daaru Tsaabit
Kholil, Munawar. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad .Jakarta : Gema Insani. 2001
Tabatabai, Alamah, husyain, Muhammad, sayyid. Basic teaching of islam,Islamic Republik of Iran : international Publishing cotehran. 2002
Ya’qub, Husain, ahmad. keadilan sahabat sketsa Politik Islam, penerjemah nashirul haq et al. Jakarta : Al Huda. 2003                                                                                                                                                                                                                                                                                    



[1] Ahmad al Husairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana. 2004), hal 172
[2] Munawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad jilid 1 (Jakarta : Gema Insani. 2001). Hal 431
[3] Ahmad al Husairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX  (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana.2004), 173
[4] Ahmad Amin, Islam dari masa ke masa (Bandung :PT Remaja Rosdakarya.1993), hlm 86
[5] The Crisis of muslim history ,hal 236
[6]  The Crisis of Muslim History , hal 129
[7] The crisis of muslim history, hal 130
[8] The Crisis Of Muslim History, hal 132
[9] Ahmad al  Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana. 2004), hal 173
[10] The Crisis of Muslim History, hal 134
[11] The Crisis of Muslim History, hal 134
[12] Ahmad al Husairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana.2004), hal 174
[13] The Crisis of Muslim History, hal 136
[14] Hasan Basri, Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran (Bandung : Azkia Pustaka Utama, 2006), hal 5
[15] Hasan Basri et al, Ilmu Kalam Sejarah Pokok Pikiran Aliran-Aliran (Bandung : Azkia Pustaka Utama. 2006), hal 6
[16] Syekh Mahmudnasir, Islam its Concept and History (India : Kitab Bahavan, 1978), hal 148

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Virus Corona: Penyebab, Cara Pencegahan dan Dampaknya Pada Ekonomi Global

 – Pada akhir tahun 2019 kemarin, dunia telah dihebohkan oleh COVID-19 atau yang dikenal sebagai wabah virus corona. Virus ini pertama k...